DILEMA UNTUK MEMILIH

Suasana menegangkan sudah terlewati 4 tahun Tasya menjalankan pendidikan formalnya di universitas ternama. Dan hari ini adalah hari yang sangat dinantikan olehnya, di mana tali panjang berwarna kuning itu akan berpindah posisi dari kiri ke kanan. Kebaya coklat susu dengan warna kain senada sebagai bawahannya serta rambut yang disanggul modern membuat Tasya terlihat cantik mempesona, tak lupa juga toga yang ia kenakan sebagai pakaian resmi bahwa Tasya mengikuti acara wisuda hari ini.

"Sayang, ayo! Papa udah nunggu di mobil itu!" Fitri mengetuk pintu karena Tasya tak kunjung keluar dari kamarnya.

"Iya, Ma. Sebentar." Sekali lagi Tasya mematut dirinya di cermin, cantik.

Fitri lebih dulu berlalu menyusul Azka yang sudah menunggu di mobil. Kini tinggal menunggu Tasya, tak berapa lama terlihatlah dia ke luar rumah dan langsung naik ke mobil.

"Kamu ini lama amat dandannya, udah jam 7 ini. Nanti macet malah telat sampai ballroom gimana," omel Fitri duduk di samping Azka.

"Iya, Ma. Ayo berangkat. Tadi Tasya telepon Hito dulu, mastiin apa dia bisa datang, atau nggak. Tapi, malah dia bilang nggak bisa datang karena ada kerjaan," ucap Tasya kecewa.

"Ya sudah, mungkin memang Hito lagi sibuk." Fitri memasang sitbelt-nya. "Ayo Pa, berangkat!" tambahnya.

Azka segera melajukan mobilnya, membelah jalanan yang lumayan padat setiap hari. Tasya memandangi topi toga yang ada di pangkuannya. Ini hari yang sangat membahagiakan baginya, tapi tak memungkiri ada yang mengganjal dalam hati, yaitu ketidak hadiran Hito di hari pentingnya dan menghilangnya Rey dari hidupnya. Dua laki-laki itu selalu saja memenuhi hati dan pikiriannya, apa itu salah?

Sepanjang jalan Tasya terus melamun, suasana di dalam mobil menjadi hening, dia sibuk memerhatikan rutinitas ibu kota yang selalu padat saat jam sibuk seperti ini, beberapa kali mereka terjebak macet walaupun tidak lama. Sekian menit menempuh perjalanan, akhirnya mobil yang dikendarai Azka dapat terparkir di pelataran kampus.

"Ayo sayang turun! Itu Febri datang sama orangtuanya." Fitri menunjuk Febri dan keluarganya di parkiran.

Tasya menatap wajanya dari spion tengah sebelum turun dari mobil. Fitri justru sudah bertegur sapa dengan orangtua Febri. Saat melihat Febri dan Ranggaz selalu bersama, ada rasa yang tak biasa di dalam hati Tasya. Rasa yang sulit untuk dimengerti, antara senang karena hubungan mereka awet dan masih baik-baik saja sampai saat ini, tapi ada juga rasa iri, mengapa dia dan Rey tak bisa sebahagia mereka? Dia menarik napasnya dalam, lantas keluar dari mobil dan menghampiri mereka yang sudah berbincang. Senyuman simetris tersungging di bibir tipisnya.

"Pagi, Tante, Om." Tasya menyalami orangtua Febri bergantian.

"Pagi, Sya," balas mereka tersenyum lebar.

Tasya langsung beralih ke sebelah orangtua Febri, di sana sudah ada sejoli yang selalu menempel.

"Hei, Feb, Nggaz. Kalian ke mana-mana berduaan mulu, udah kaya perangko sama amplop aja," goda Tasya yang sebenarnya sedikit iri sekaligus bahagia dengan kedelatan mereka.

"Makanya cari amplop dong, Sya. Biar bisa ada yang ditempeliin terus." Febri menimpali Tasya dengan gurauan, ada sedikit rasa teriris di hatinya ketika Febri berucap seperti itu.

"Udah-udah sana kalian masuk! Nanti aku sama Om dan Tante duduk di bangku undangan." Ranggaz melerai Febri dan Tasya.

"Yaudah, kita masuk dulu ya. Ayo, Sya!" Febri sudah menarik Tasya. Apa ia lupa kalau saat ini mereka sedang memakai kebaya? Mungkin saja.

"Feb, pelan-pelan dong, kesrimpet nih gue jalannya," protes Tasya.

Acara wisuda dimulai pukul 08.30 tepat. Dimulai dari sambutan rektor dan para dekan, serta perwakilan dari seluruh fakultas. Semua terasa hikmat dan haru. Inilah akhir dari perjalan panjang seluruh mahasiswa menempuh pendidikan formal. Dan ini pula awal kehidupan baru di mana kehidupan nyata terkadang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan di bangku kuliah.

"Hito nggak dateng, Sya?" tanya Febri di sela-sela pidato.

"Katanya sibuk," jawabnya singkat.

"Udah hampir setahun lebih Hito terus nemenin lo, Sya. Apa nggak ada kemajuan dari hubungan kalian?" tanya Febri.

Walaupun di dalam hatinya ada rasa yang entah bagaimana, sukar digambarkan dengan kata. Di sisi lain, dia tahu jika Rey masih sangat mencintai Tasya, namun di sisi lainnya juga, Rey meminta kepadanya agar membujuk Tasya menerima Hito.

"Feb, lo tahu kenapa gue belum bisa nerima Hito sepenuhnya, lo tahu apa yang buat gue terus bertahan sendiri sampai saat ini. Gue cuma nggak mau Hito berpikir kalau gue cuma manfaatin dia sebagai pelarian aja." Tasya menjelaskan apa yang sebenarnya memang ia rasakan.

"Hito nggak gitu, Sya. Lo lihat selama ini dia selalu ada buat lo, walaupun dia tahu lo belum bisa menyampingkan pikiran lo soal Rey. Kasih dia kesempatan buat mencintai lo, dengan cara dia sendiri. Dia tulus, Sya. Gue lihat dari matanya saat dia mandang lo. Ada cinta disetiap tatapan matanya ke lo. Buka hati lo, Sya. Hito laki-laki yang baik," ucap Febri.

Tasya tak membalas ucapan Febri karena para wisudawan sudah dipanggil namanya satu per satu untuk acara pemindahan tali dan penyerahan piagam.

Acara berlangsung sampai jam 12, semua berjalan lancar dan normal. Febri dan Tasya ikut bergabung bersama orangtua mereka.

"Selamat ya Sayang udah lulus kuliahnya." Ranggaz mencium kening Febri sebagai ucapan selamatnya.

"Makasih ya, Sayang." Febri membalasnya dengan memeluk Ranggaz.

"Duh, banyak orang kali, malu peluk-peluk di tempat umum." Tasya memutar bola matanya jengah.

"Selamat juga buat kamu My Queen atas kelulusannya." Tasya memutar tubuhnya saat sebuah buket bunga tiba-tiba ada di hadapan mata.

"Hito?" Tasya terkejut dengan kedatangan Hito, dengan reflek Tasya memeluk Hito erat.

"Eehhmm ... Malu kali tempat umum peluk-peluk gitu." Febri menyindir Tasya. Tapi Ranggaz menyenggolnya untuk menahan ucapannya itu.

Tasya reflek kembali melepasnya. Hito hanya tersenyum dan kembali memberikan buket bunga yang belum diterima Tasya.

"Ini hadiah buat kamu, maaf aku datang telat, kerjaanku baru selesai. Aku juga udah buru-buru tadi ngerjainnya." Hito memberikan laporan apa yang baru saja dikerjakannya.

"Nggak apa-apa," ucap Tasya.

Mereka kembali merasakan kebahagiaan yang luar biasa setelah perjuangan mereka selama ini. Tak lupa momen penting seperti ini diabadikan dalam lensa kamera. Tak hanya sekali, bahkan berkali-kali gambar yang mereka abadikan. Sejenak Tasya melupakan masalahnya dan kebahagiaannya terasa lengkap sekali hari ini.

***

Hito tak kembali ke rumahnya, ia justru seharian menghabiskan waktu bersama Tasya. Berbagi canda tawa bersama. Bahkan seharian ini Hito menemukan senyum ketulusan di wajah Tasya. Bahagianya saat ia berhasil menciptakan senyum itu, senyum yang beralasan dirinya.

"Ini udah hadiah ketiga dari kamu buat kelulusan ku, To." Tasya mengangkat tas cantik berwarna hitam pemberian Hito.

"Ini nggak sebanding sama perjuangan kamu selama ini." Hito mengusap kepala Tasya sayang.

"Makasih ya, To. Ini juga berkat kamu yang udah berhasil buka mata aku lagi, kalau pendidikan itu penting, apalagi perjuangan orang tua yang mati-matian cari uang untuk sekolah anaknya."

"Nah itu tahu. Udah malem juga tuh." Hito menunjuk jam dinding yang jarum pendeknya berhenti diangka sembilan.

"Aku pulang ya, kamu juga istirahat jangan begadang. Kan sekarang nggak ada tugas yang perlu kamu begadangin," ucap Hito.

Perhatian Hito yang seperti ini membuat Tasya merasa dimengerti. Hito lebih membiarkan Tasya melakukan apa yang dia inginkan dan membiarkannya dia mandiri tapi tetap dalam pengawasan. Perhatian yang berbeda sekali dari seorang Raihan, yang membuat Tasya lebih bergantung padanya. Bahkan Tasya seakan tak bisa jauh dari Rey.

"Iya, aku tidur. Udah capek juga. Makasih ya, To, buat hari ini, menyenangkan sekali."

"Sama-sama. Aku pamit ya. Kayaknya Om sama Tante udah tidur dari tadi. Aku titip salam aja buat mereka ya?" Hito melirik ke dalam dan di sana terlihat sepi.

"Yaudah, ayo aku antar ke depan."

Bahagia saat melihat seseorang yang dicintai tersenyum tulus, bahkan rasanya sangat menyejukkan hati. Sederhana.

***

Tasya masuk ke kamar, ia benar-benar belum bisa tidur. Ada rasa yang bergejolak di dalam hatinya dan sangat mengganjal. Rasa itu sangat mengganggu dan kadang membuatnya sesak.

Tasya memilih mengambil gitarnya dan duduk di teras kamar. Ditemani malam, ia mulai memetik senar-senar gitar dengan jemarinya yang lentik itu.

Ketika malam penuh bintang
di antara cahya temaram
kau beri aku kesejukan
tapi hatiku bimbang

Aku ingin tapi ku tak bisa
apakah ini nyata atau mimpi belaka
kutakut rindu bila tak lagi bertemu
haruskah kuterima cinta yang dilema

Kau tanya apakah kubisa
membuka hatiku untukmu
kutak bisa berkata kata
air mata yang bicara

Sesungguhnya kuingin dirimu
tuk cairkan hatiku yang beku
tapi aku belum siap
aku jadi dilema

Aku tak mau menyakitimu
karena hati ini masih ragu
tapi aku butuh cinta
aku jadi dilema

Aku ingin tapi ku tak bisa
apakah ini nyata atau mimpi belaka
kutakut rindu bila tak lagi bertemu
haruskah kuterima cinta yang dilema

By. Intan nuraini - dilema

Bayangan tentang Rey belum bisa ia hilangkan, tapi ia tak memungkiri kehadiran Hito sudah merubah hidupnya. Kembali menjadi Tasya yang dulu, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Ya Allah, bantu aku menentukan jawaban atas kebimbanganku ini. Aku harus bisa memberikan kepastian pada Hito. Mantapkan pilihanku pada seseorang jika memang itu yang terbaik dari Engkau, Ya Allah."

Tasya menatap malam yang semakin gelap dan bintang semakin gemerlap bagaikan kerlap-kerlip lampu indah yang menerangi malam. Berharap setelah malam ini akan ada kepastian dalam hidupnya.

***

"Gimana wisudanya? Lancar?" tanya Rey dengan suaranya yang parau.

"Lancar semua. Gimana keadaan lo, Rey?" Hito merapikan selimut Hito yang sedikit berantakan.

"Seperti yang lo lihat sekarang. Gue selalu akan lebih baik kalau ada di antara kalian."

"Lo harus sembuh, Rey. Semua kangen sama lo."

"Udah deh, nggak usah ngeliatin muka jelek lo itu." Rey menarik kedua sudut bibir adiknya. "Nah, gini kan bagus kalau senyum."

Hito memang tidak bisa menyembunyikan kesedihannya saat melihat Rey. Tapi ia sudah berjanji untuk tidak membuat Rey sedih karenanya.

"Sayang ya," ucap Rey murung.

"Kenapa?" tanya Hito.

"Kalau gue kuliah juga, pasti hari ini gue juga diwisuda. Kan gue pengen juga ngerasain pakai toga terus foto di antara Papa dan Mama." Rey menatap langit-langit kamar yang telah menemaninya selama ini.

"Makanya lo harus sembuh, terus lanjutin kuliah lo, biar cepet wisuda dan wujudin semua kemauan lo." Hito menggenggap bagu Rey memberikan dorongan untunya.

"Nggak perlu, To. Lo udah mewujudkan sebagian mimpi-mimpi gue," balasnya tulus.

Dorongan dari keluarga mampu memberikan kekuatan tersendiri dalam hidup. Berjuang meraih apa yang diinginkan tak akan selancar jalan tol, karena setiap perjuangan yang tulus akan diikuti dengan jalan yang berliku sebagai bukti keyakian akan sebuah keseriusan niat dan tekad yang kuat.

"Tapi lebih puas kalau lo sendiri yang mewujudkannya, Rey," bantah Hito menunduk duduk di tepi ranjang Rey, kakinya menjuntai ke lantai.

Hito memerhatikan kakinya yang ia ayun-ayunkan. Kadang ada perasaan aneh saat ingin membicarakan Tasya kepada Rey. Tapi ini harus dia katakan.

"Rey," panggil Hito masih menunduk.

Rey menoleh, melihat wajahnya yang tertekuk.

"Ada apa? Jangan minta yang macam-macam. Gue nggak bisa ngasih lo apa-apa lagi," sahut Rey menerka sendiri, menyadari kondisinya yang sudah tak dapat lagi memanjakan adik kesayangannya itu.

"Bukan itu," terang Hito menatapnya sendu.

"Terus?" tanya Rey mengerutkan dahinya.

"Sampai saat ini, Tasya masih belum bisa terima gue. Gue sudah berusaha," ujarnya sungkan.

Rey menepuk bahunya, dia hanya tersenyum kecil. Meski di dalam hatinya pedih, namun dia tahan, demi menjaga perasaan Hito yang sudah mencintai Tasya.

"Sabar, nanti juga pasti bisa. Dia hanya butuh waktu untuk meyakinkan pilihannya. Gue yakin, pasti nanti dia akan menerima lo." Ucapan Rey itu mampu menenangkan perasaan Hito.

Rey selalu bisa membangkitkan semangatnya, menaikkan suasana hatinya dan menenangkan perasaannya, saat dia sedang gundah. Tapi, siapa yang tahu isi hati Rey, yang sejujurnya menahan perih? Adakah seseorang yang dapat menenangkan perasaannya? Hanya Mora, yang selalu bisa membuatnya tenang. Ibu, adalah tempat ternyaman, bagaimanapun situasi perasaan anaknya.

"Dia terus mendesak gue, Rey. Tasya pengen mengenal keluarga kita. Gue jadi bingung," ujar Hito.

Rey menghela napas dalam, dia ikut berpikir, bagaimana caranya agar Tasya tak selalu mendesak Hito untuk mengenal keluarga mereka. Itu pasti akan lebih mempercepat pembongkaran dirinya kepada Tasya. Rey belum siap untuk itu semua.

"Kita pikirkan nanti, sekarang tolong bantu gue. Gue mau bangun sebentar," pinta Rey meringis menahan sakit.

Hito langsung mengarahkan tangan Rey agar melingkar di tengkuknya. Lantas dia membantu Rey bangkit dari rebahannya.

"Mau ke mana?" tanya Hito saat Rey menurunkan kakinya di lantai.

"Mau coba kencing di kamar mandi. Bantuin!" Hito terkekeh, lalu membantu Rey berjalan setapak demi setapak ke kamar mandi dalam ruangan ini.

Begitulah mereka, Hito adalah sandaran raga Rey, yang saat ini sudah sangat rapuh. Tak hanya raga saja yang rapuh, sebenarnya hati Rey juga rapuh tanpa Tasya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top