8. Sesal itu Telah Tiba
Menjelang acara berakhir, Mitha belum juga menampakkan wajahnya di antara para tamu. Saat bu Nisa menanyakan hal itu pada Wira, wanita itu hanya mendapat jawaban yang sungguh mengecewakan hatinya. Wira menceritakan apa yang baru saja Mitha lihat. Pantas saja menantunya menghilang, pasti Mitha meringkuk di kamarnya sambil menangis. Kebiasaan yang sudah bu Nisa hafal namun tak diketahui oleh sang menantu.
Begitu acara berakhir dan semua keluarga sudah meninggalkan rumah mereka, bu Nisa segera mendatangi kamar anaknya. Ia juga heran putra sulungnya juga menghilang entah kemana. Meskipun tadi Wira memberitahu jika sang kakak telah mendapatkan sebuah pukulan di wajahnya, namun bu Nisa sama sekali tak mencemaskannya. Anaknya layak mendapatkan itu semua.
"Mitha, kamu istirahat ya, nak?" bu Nisa mengetuk pintu kamar anaknya pelan. Ia tak mau mengganggu jika menantunya ternyata sudah tidur. Namun ternyata dugaannya salah. Dari dalam terdengar sahutan pelan suara Mitha. Ia pun segera membuka pintu untuk memastikan menantunya baik-baik saja.
Dan selanjutnya pemandangan yang membuatnya mengelus dada kembali terlihat. Meskipun wajah menantunya terlihat segar karena sepertinya ia baru selesai mandi namun mata tuanya jelas melihat bahwa raut sedih juga mata memerah menantunya menunjukkan jika Mitha sedang tidak baik-baik saja.
Perlahan didekati menantunya itu "Siang-siang gini kok mandi?" ia mencoba menggali informasi.
"Gerah, ma. Mungkin bawaan bayi aja ya. Mitha jadi cepat berkeringat," Mitha mengulas senyum yang justru terlihat mengerikan di mata ibu mertuanya.
"Kamu nggak apa-apa kan? Matanya bengkak tuh. Ada apa? Cerita ke mama." senyum Mitha seketika luntur. Namun ia tak akan membuka ulah suaminya di depan mertuanya. Dia bukanlah seorang pengadu.
"Mitha nggak apa-apa kok, ma. Mungkin bawaan habis tidur aja. Tadi Mitha ngantuk banget jadi langsung tidur" bu Nisa mengulas senyum maklum. Ia sudah menduga jika menantunya tak akan semudah itu membuka mulut.
"Sudah waktunya makan siang, ayo makan sekarang ya."
"Mitha masih kenyang, ma. Kan barusan makan buah sama mas Wira." Bu Nisa mendesah, sepertinya Mitha masih belum bisa merubah panggilannya pada adik iparnya yang usianya tujuh tahun di atasnya itu.
"Jangan bilang masih kenyang. Kamu butuh banyak nutrisi untuk kamu juga cucu mama. Biar sehat dan kuat saat melahirkan nanti. Tinggal sekitar dua bulan lagi lo kamu melahirkan." Mitha akhirnya pasrah mengikuti kemauan ibu mertuanya.
Mitha memang terbiasa selalu menuruti perkataan setiap orang. Ia tak biasa berdebat. Wanita lemah lembut itu sangat jarang untuk mampu mengungkapkan keinginan hatinya. Sifat itulah yang akhirnya membuatnya terjebak bersama Yoga. Yoga yang selalu dominan sangat mampu mengintimidasi Mitha yang lemah.
Begitu Mitha mendudukkan pantatnya di kursi ruang makan, ibu mertuanya sudah sibuk menyiapkan makan siangnya. Sebenarnya Mitha tak mau diperlakukan seperti saat ini. Apapun kebutuhannya selalu dilayani. Ia masih sangat mampu jika hanya mengambil dan menyiapkan makanannya sendiri.
Yah, setidaknya dari semua kesedihannya ia patut bersyukur masih menjadi menantu di keluarga ini. Bu Nisa yang tak mempunyai anak perempuan sepertinya begitu tergila-gila dengan kehadiran menantunya yang masih belia. Ia begitu protektif mengalahkan perhatiannya pada anak-anaknya sendiri.
"Yoganya mana, Tha. Kok nggak ikut makan?" pak Pandu bertanya sesaat setelah ia memasuki ruang makan. Pria yang tak tahu apa-apa itu seketika mendapatkan pelototan tajam dari istrinya. Untungnya pria baya itu segera menangkap maksud istrinya meskipun belum faham betul apa yang terjadi di antara mereka.
"Mas Yoga tadi sepertinya ada di taman belakang, pa, tadi Mitha lihat terakhir dia di sana. Tapi nggak tahu lagi sekarang ada di mana," jawab Mitha lembut.
Wira yang juga sedang menikmati makan siangnya sampai hampir tersedak mendengar ucapan kakak iparnya itu. Bagaimana mungkin wanita ini masih bisa berucap lembut saat beberapa waktu yang lalu ia mendapati kenyataan menyakitkan ketika suaminya merayu wanita lain. Bukan hanya merayu, tapi juga mengatakan akan menceraikan dirinya. Wira berdecak menggelengkan kepalanya. Kakaknya benar-benar brengsek. Sudah beruntung dia mendapatkan istri cantik dan belia, masih ditambah sifatnya yang luar biasa lembut. Sepertinya laki-laki itu perlu diberi sedikit pelajaran agar tahu arti kata bersyukur.
"Ma, kayaknya anak mama satu itu perlu dirukyah. Terlalu banyak setan dalam dirinya," Wira tak tahan untuk tak menyelutuk.
"Bukan cuma salah satu aja anak mama yang dirukyah, tapi dua-duanya. Kamu mulutnya nggak di jaga. Pasti setannya juga banyak," sahut bu Nisa jengkel.
Mitha seketika tersedak mendengarkan kalimat bu Nisa. Ia terbatuk hebat. Bu Nisa yang berada di sebelahnya segera mengulurkan segelas air. Mitha menerima dan meneguknya hingga tersisa separuh.
"Kamu kok sampai tersedak sih, Tha?" ujar bu Nisa sambil menepuk-nepuk punggung menantunya pelan. Berharap batuk yang masih menyerang Mitha lenyap.
"Mama lagian ngomong kayak gitu. Aku kan betul nyuruh Mas Yoga dirukyah. Ngapain juga aku ikut-ikutan. Jadinya Mitha tersedak kan?" bela Wira tak mau kalah.
"Kamu ngomong gak nyambung gitu yang bikin Mitha tersedak." pak Pandu tiba-tiba menimpali.
"Lah, kok malah aku? Sudahlah intinya tuh orang suruh ke sini. Ada di mana dia? Selalu bikin masalah. Harus dikasih pelajaran sedikit aja tuh orang biar nggak seenaknya sendiri." Wira meneguk air di hadapannya setelah menyelesaikan makan siangnya.
"Tha, nanti sore kalau sudah nggak panas kita jalan. Muter-muter aja keliling komplek terus duduk-duduk di taman. Kamu kalau diam di rumah terus lama-lama berjamur karena nggak kena matahari. Mumpung aku masih belum balik ke Bandung."
"Nggak usah, mas. Aku di rumah aja. Mas jangan repot-repot," tolak Mitha. Ia enggan keluar rumah. Suasana hatinya masih tak nyaman. Lagi pula ia masih tak tahu suaminya ada di mana.
"Berangkat aja, Tha. Cuma muter-muter dekat-dekat sini kok. Di depan ada kedai es krim baru buka, sekalian coba aja ke sana." bu Nisa tahu Mitha pasti enggan untuk keluar rumah. Ia tak mau Mitha sepanjang hari hanya bergelung dengan selimut dan menangis di atas kasurnya.
"Iya deh, ma." akhirnya Mitha mengiyakan.
"Bagus. Tapi kamu habis ini istirahat dulu. Tiduran, mama nggak yakin kamu tadi tidur. Nanti sore mama bangunin."
***
Hingga hari beranjak sore, Yoga masih belum menampakkan batang hidungnya di rumah. Perasaan Mitha semakin tak karuan. Antara khawatir tapi juga sakit hati yang terus membuatnya tak bisa memejamkan matanya siang itu.
Hingga akhirnya sebuah ketukan di pintu kamarnya menyadarkannya jika ia sudah ditunggu oleh adik iparnya.
"Kamu sudah siap?" Wira bertanya sesaat setelah Mitha membuka pintu kamarnya.
"Ayo" Mitha mengulas senyum kemudian mengekor di belakang Wira.
Sore itu mereka berjalan kaki menuju taman komplek perumahan mereka sambil berbincang ringan. Namun begitu mereka tiba di taman, Wira mulai membahas topik tentang Yoga.
Sebenarnya pria itu enggan untuk ikut campur masalah rumah tangga kakaknya. Namun karena tadi siang ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Yoga bertindak, mau tak mau ia perlu memberikan dukungan kepada Mitha agar tetap bersabar menghadapi suaminya. Ia tak berani bertindak lebih jauh dari itu. Ia tahu batasannya. Rumah tangga kakaknya adalah urusan Yoga dan Mitha. Ia tak punya hak ikut campur di dalamnya.
Saat hari beranjak semakin sore mereka berdua pun akhirnya kembali pulang setelah sebelumnya menikmati semangkuk es krim di sebuah kedai yang sudah direkomendasikan bu Nisa sebelumnya.
"Anak itu akan ada bersama ku, ma. Mama yang akan membantu mengasuhnya. Kalaupun Mitha ingin menemuinya dia bebas melakukannya. Setidaknya Mitha akan mendapatkan masa depannya kembali. Ia bisa melanjutkan pendidikannya dan bisa hidup normal seperti remaja seusianya. Ia tidak harus terkurung di rumah demi menjaga anak ku juga mengurus ku. Mudah kan? Ia juga suatu saat nanti bisa menemukan pria yang sesuai untuknya. Jarak usia kami terlalu jauh. Dia masih terlalu kecil jika harus mengimbangi ku" Mitha baru saja memasuki ruang keluarga saat didengarnya suara sang suami di ruang makan. Telinganya sontak menajam mendengarkan apa yang disampaikan oleh suaminya itu kepada kedua orang tuanya.
"Kenapa baru sekarang kamu berpikiran seperti itu. Saat merusaknya sedang ada di mana otak kamu waktu itu? Kenapa kamu tak memikirkan masa depannya saat kamu menidurinya? Dasar tak tahu diri." suara ayah mertua Mitha terdengar menggelegar.
"Duh siapa sih, pa yang nggak tertarik sama remaja segar seperti Mitha. Anak-anak sekolahan teman-teman Mitha banyak kok yang udah nggak polos lagi. Mithanya aja yang kolot. Nggak bisa menikmati hubungan di antara kami. Coba dia bisa jaga diri kan pasti sampai sekarang kami tetap aman-aman aja. Dia bisa kuliah aku juga tetap santai tanpa harus diberi beban tanggung jawab." Yoga masih mengelak dari amukan sang ayah.
"Jaga diri apa yang kamu maksud?" pak Pandu sudah menangkap maksud Yoga namun ia hanya perlu memastikannya lagi.
"Ya jaga diri biar nggak hamil duluan lah, pa. Dinikmati dulu apa yang ada. Dipuas-puasin bersenang-senang. Kalau kayak gini, apa? Aku baru nyobain gimana nikmatnya dia, eh sudah langsung kebobolan. Apes nggak sih namanya," jawab Yoga menyebalkan.
"Anak kurang ajar!" detik berikutnya terdengar suara pukulan disertai teriakan bu Nisa dari ruang makan.
Mitha jelas tahu apa yang terjadi. Ia segera berbalik keluar dari ruangan itu, namun ternyata Wira di belakangnya sudah menghadang. Tak mengijinkannya pergi. Ia terus berusaha menyingkirkan Wira dari hadapannya. Namun sia-sia hingga akhirnya ia pasrah dan terduduk lemas di lantai.
Semuda ini, apakah ia akan menjadi janda? Hanya tinggal menunggu beberapa bulan lagi. Apa yang akan ia lakukan nanti setelah mereka berpisah. Apakah orang tuanya masih mau menampungnya? Sedangkan hingga saat ini mereka masih belum bisa memaafkannya.
Bagaimana caranya ia akan bertahan hidup nanti? Bagaimana jika mereka akan mengambil anaknya? Jelas Mitha tidak akan mampu memenuhi kebutuhannya dan anaknya kelak kan?
Kenapa sesal itu selalu di akhir? Seandainya dulu ia bisa menjaga diri tentu semua ini tak akan terjadi. Ia tak akan mengagungkan apa itu yang namanya cinta. Cintanya kepada Yoga benar-benar membuatnya mati perlahan.
###
Sorry banget kalau tidak sesuai ekspektasi. Kayaknya otak saya lagi butuh diinstal ulang deh wkwkwkwk....
Tetap jaga hati, jaga mulut, juga jaga jari jempol untuk tidak mengumpat. 😄😄
Happy reading n tetap ditunggu kritik juga sarannya ya friends. Thanks buat teman2 yg sudah mau meninggalakn jejak. Kalian benar2 ruaarrr byasah...😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top