10. Ragu
"Masih belum bangun juga ya ma?" tanya pak Pandu sesaat setelah mendudukkan dirinya di sofa tunggal ruang keluarga. Dilihatnya Mitha masih betah memejamkan matanya.
"Kita bawa ke rumah sakit aja pa. Mama khawatir terjadi hal buruk," bu Nisa sudah mulai berubah pucat. Seorang ibu hamil yang pingsan bukanlah perpaduan yang baik. Ia khawatir terjadi sesuatu pada menantu dan cucunya.
"Bi, minta tolong bilang Pak Imron untuk siapkan mobil. Kita mau bawa Mitha ke rumah sakit," perintah pak Pandu kepada salah satu asisten rumah tangganya yang sedari tadi membantu bu Nisa yang membuat Mitha segera siuman.
Lima menit kemudian tubuh lemah Mitha sudah dibawa ke dalam mobil yang sudah siap di depan teras. Bu Nisa menerima tubuh Mitha dari dalam mobil. Ia merebahkan kepala menantunya pada pangkuannya. Saat pak Pandu akan menutup pintu belakang mobil, putra pertamanya tiba-tiba muncul dibelakangnya.
"Mitha mau dibawa ke mana, Pa?"
"Ke rumah sakit," pria baya itu menjawab tanpa menoleh. Saat tangannya akan menghempaskan pintu belakang mobil, Yoga menahan tangan ayahnya.
"Aku ikut, pa" Yoga segera memasuki mobil. Mengangkat kaki Mitha dan meletakkan di pangkuannya.
Pak Pandu hanya mendengus kemudian memasuki pintu depan mobil, duduk di sebelah pak Imron yang menyetir.
Wira yang juga baru tahu jika Mitha dibawa ke rumah sakit segera menyusul dengan mengendarai mobil berbeda, mengikuti di belakang mobil ayahnya.
Lima menit setelah Mitha diperiksa oleh dokter, baru ia sadar. Ia heran kenapa bisa berada di rumah sakit. Setelah mendapatkan penjelasan dari ibu mertuanya ia pun bisa bernafas lega.
Tiga puluh menit kemudian setelah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, Mitha dipindahkan ke ruang perawatan. Sebenarnya ia bersikeras ingin langsung pulang, namun bu Nisa yang begitu khawatir tak mengijinkannya. Mitha harus memulihkan kondisinya terlebih dahulu jika ia ingin pulang. Secara garis besar kondisi Mitha dan bayinya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya kelelahan, juga stress yang menyebabkan kondisinya menurun hingga pingsan seperti beberapa saat yang lalu.
"Wir, nanti kalau kamu pulang suruh bibi siapin baju ganti buat mama, juga mas Yoga, ya. Apa aja yang perlu disiapin nanti mama kirim pesan ke kamu. Ntar pak Imron biar yang bawa ke sini," ucap bu Nisa setelah memastikan Mitha berbaring dengan nyaman.
Wanita itu sedari membuka mata seakan enggan berbicara. Ia hanya menjawab seperlunya saja. Wajah cantiknya juga terlihat mendung, dan jangan lupakan, matanya juga memerah berkaca-kaca. Menandakan jika ia berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya.
"Aku mau di sini aja, ma. Mama nginep kan?"
"Iya. Sudah, kamu pulang aja sama papa. Mama di sini sama kakak kamu," Wira tampak mendengus memandang kakaknya yang duduk di sisi brankar tempat Mitha berbaring. Pria itu tampak mengelus rambut lurus Mitha berulang kali. Entah apa yang dirasakan kakaknya itu? Menyesalkah telah membuat istrinya tak berdaya seperti itu?
"Beneran nggak apa-apa aku tinggal? Gimana kalau dia buat ulah lagi?" bu Nisa berdecak. Menggamit lengan putra bungsunya, membawanya keluar kamar rawat Mitha.
Sesampainya di luar, bu Nisa baru mengeluarkan kalimatnya. "Kamu pulang aja. Mitha baik-baik aja. Kamu lihat sendiri kan kakak kamu sepertinya sudah menyesal. Beri dia kesempatan untuk menunjukkan penyesalannya dengan merawat istrinya. Lagi pula itu urusan rumah tangga kakak kamu, jangan masuk terlalu jauh dalam hubungan mereka."
Akhirnya Wira hanya bisa pasrah. Ia sadar dengan posisinya. Akhirnya ia pun pulang bersama ayah dan sopir keluarga mereka satu jam kemudian,sesaat setelah Mitha menghabiskan makan malamnya. Setidaknya ia lega saat melihat kakaknya sendiri yang menyuapi istrinya.
***
"Mama pulang aja. Istirahat dirumah, dari kemarin mama kan sibuk ngurusin acara arisan tadi siang. Aku yang akan jagain Mitha. Mama nggak usah khawatir. Tadi dokter sudah bilang kan kalau kondisi Mitha baik-baik saja. Mumpung pak Imron masih belum balik, mama bareng dia aja," Yoga membujuk mamanya agar beristirahat di rumah saja. Ia tak tega melihat mamanya yang terlihat begitu capek dan membutuhkan istirahat.
"Mama di sini aja. Mama nggak tenang kalau pulang," bu Nisa tampaknya tak terpengaruh dengan bujukan anaknya.
"Mama nggak percaya sama Yoga? Aku nggak akan nyakitin Mitha lagi, ma. Mama bisa pastiin sendiri. Nanti mama bisa menghubungi ku jika mama khawatir. Mama bisa melakukan panggilan video,"
Bu Nisa akhirnya menurut, ia pun beranjak meninggalkan kamar rawat Mitha. Ya setidaknya ia akan memberikan waktu kepada anak dan menantunya untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.
"Jaga anak dan istri mu, nak. Mengandung adalah hal yang berat bagi wanita. Apa lagi dengan sikap mu selama ini kepadanya. Papa mu dulu begitu memanjakan mama saat mama hamil kamu dan adik kamu. Hal yang tak Mitha dapatkan dari kamu. Bahagiakan dia, nak. Berubahlah. Jangan sakiti dia lagi. Minta maaflah kepadanya sebelum semuanya terlambat. Ingat wanita penyabar seperti dia jika sudah tidak sanggup menghadapi laki-laki seperti mu, maka celakalah kamu. Kamu akan menyesal di kemudian hari. Jangan sampai hal itu terjadi kepada mu," pesan bu Nisa sesaat setelah ia berada di luar kamar rawat Mitha.
"Iya. Mama nggak usah khawatir. Sana mama balik. Ini sudah malam lo," Yoga melihat jam di pergelangan tangannya.
"Ya udah mama balik ya. Kalau ada apa-apa langsung hubungi mama." Yoga mengiyakan. Setelahnya bu Nisa berlalu dari hadapan Yoga diikuti pak Imron di belakangnya.
***
Dini hari Mitha terjaga akibat kandung kemihnya yang sudah penuh. Ia ingin ke kamar mandi. Di edarkan pandangannya mengelilingi kamar rawatnya. Suaminya tampak tertidur di sofa bed yang disediakan pihak rumah sakit. Perlahan Mitha bangkit dari tempat tidurnya. Tangannya berusaha meraih cairan infus yang tergantung di samping brankar. Namun tiba-tiba saja tangan seseorang telah meraih benda itu terlebih dahulu.
"Mau kemana?" suaminya bertanya datar. Entah kapan pria itu berjalan mendekati Mitha. Bukankah pria itu barusan terlihat masih tertidur?
"Aku mau ke kamar mandi, mas," Mitha mencicit pelan. Ia bahkan tak mampu menatap wajah sang suami.
"Seharusnya kamu bangunin aku. Kalau tiba-tiba kamu pusing terus jatuh gimana? Bisa bahaya kan?" Mitha hanya bisa mengangguk mengiyakan.
Akhirnya Yoga mengangkat tubuh Mitha ke kamar mandi. Pria itu dengan telaten membantu Mitha di kamar mandi. Hal yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.
Begitu selesai Yoga kembali mengangkat tubuh istrinya kembali ke kamar dan mendudukkannya di kasur.
"Mau minum?" tanya Yoga memecah kesunyian. Istrinya itu sedari tadi enggan bersuara. Mitha hanya menggelengkan kepalanya pelan lalu merebahkan tubuhnya. Tak lama kemudian ia memejamkan mata.
Yoga yang menyaksikan itu semua merasa tak nyaman. Ia tahu Mitha menghindarinya, wanita itu tak mau berbicara kepadanya. Lima menit menunggu tanpa melakukan sesuatu, diraihnya jemari Mitha dalam genggamannya. Wanita itu sepertinya tersentak kaget. "Aku tahu, kamu nggak tidur, Tha. Maafin aku yang sudah menyakiti kamu. Aku tahu akulah penyebab penderitaan mu selama ini. Aku tak dapat mengendalikan semuanya, Tha. Mungkin di waktu mendatang aku bisa saja menyakiti mu lagi. Tapi setidaknya apapun yang sudah aku ucapkan tadi di hadapan mama dan papa semata-mata karena aku ingin kamu bahagia. Aku sudah merusak kamu. Mengambil masa depan kamu. Jika kamu berkeinginan meraihnya kembali aku akan berikan itu. Kamu bisa kuliah tanpa beban. Mendapatkan pekerjaan yang bagus, juga berkumpul dengan teman-teman sebaya mu tanpa harus merasakan susahnya mengasuh anak kita." Mitha seketika membuka matanya. Ditatapnya Yoga nanar.
"Kebahagiaan ku cuma kamu dan anak kita kelak, mas. Bukan keinginan meraih masa depan lagi sekarang. Semua itu sudah berubah saat kita menikah. Aku ingin berbahagia dengan kamu. Bukan dengan hal-hal yang kamu ucapkan barusan."
"Lalu aku harus bagaimana?" Yoga benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Cukup sayangi aku dan anak mu. Cintai kami. Dan yang pasti, pupuk rasa peduli mu kepada kami dan tunjukkan jika kamu benar-benar berubah," jawab Mitha yakin.
Yoga terdiam mendengarkan jawaban Mitha. Permintaan yang sangat mudah dilaksanakan. Tapi, apakah dia bisa melakukannya? Ia masih tak yakin pada dirinya sendiri. Ia masih ragu akankah bisa berubah seperti keinginan istrinya.
###
Selamat Idul Fitri bagi teman-teman yang merayakan ya. Mohon maaf lahir dan batin.😊😊
Bab ini anggap aja THR dari saya wkwkwkwkkw....
Update berikutnya bisa lebih lama ya, maklum tingkat kesibukannya lebih tinggi karena saya tdk mudik.
Happy reading n terus cek typo dan para kroninya ya😄. Thanks bagi yang sudah meninggalkan jejak😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top