12.| Lampion Peringatan

Ada seorang pemuda yang suka sekali membakar lilin untuk menerangi larut malam, kemudian ketika lelehan terakhir memadamkan cahaya, dia akan melakukan penghormatan layaknya upacara kematian.

.
.
.

Langkah kakinya selalu sama, terburu-buru, kesannya seperti tidak ada waktu lagi yang tertinggal, dia mengejar tanpa lelah pada sesuatu yang tak pasti, dan telah lama dijadikannya kebiasaan di penghujung hari. Awalnya eksistensi sosok itu tampak hangat di bawah guyuran cahaya matahari, kemudian lambat laun jadi dingin, serupa dengan suhu malam yang melingkupi raganya. Tidak ada yang mencoba peduli pada kesibukan  pemuda itu. Tidak. Karena semua orang hanya tahu bahwa pemuda itu sudah kehilangan kewarasannya sejak bertahun-tahun lalu. Biarkan saja kehidupan sebatang kara itu menyendiri dengan kebiasaan anomalinya, selagi ia tidak membuat masalah, atau keberadaannya tidak menimbulkan kerugian, dia akan diberikan kebebasan mutlak untuk bersenang-senang dengan caranya sendiri.

Ketika gelap menyapa dunia untuk sementara waktu, serangga malam bernyanyi di bawah pohon, dan tirai di rumah-rumah mulai diturunkan, Soobin akan mengambil belokan ke kanan setelah pintu keluar kantor besar militer, melewati akademi kepolisian kerajaan, menyusuri setapak berbatu dekat sungai  yang agak ramai pejalan kaki, kemudian setelah jembatan pendek ia akan sampai pada sebuah kuil leluhur yang berdiri di pinggir sungai, yang akan menyala hangat sepanjang malam dengan aroma manis asap dupa. Soobin biasanya akan duduk di atas sebuah batu untuk mengamati seorang pemuda bermata rubah yang berlarian ke sana kemari bersama dengan lentera kecil di tangannya. Aula berbunga akan terbangun di malam hari, dengan seorang pemuda yang duduk bersimpuh sambil bernyanyi, sebuah pedang dingin di atas pangkuannya, berwarna keperakan yang berubah hangat  dengan pantulan cahaya lilin dari altar leluhur berhias bunga-bunga yang tak pernah layu.

Setiap malam Soobin hanya akan menonton dari jauh sambil menekan keinginan untuk membawa dirinya lebih dekat pada sosok laki-laki itu. Bahkan hari ini ia memilih berhenti di pertengahan jembatan, dalam diam memandangi pemuda yang sedang asyik berjongkok di halaman kuil dengan sebuah lampion kertas di hadapannya. Api menyala menerangi wajah pemuda itu.

Soobin memandanginya dari tempatnya berpijak. Dia sering mendengar orang lain membicarakan pemuda itu. Mereka akan mulai bercerita dengan awalan yang sama.

Ada seorang pemuda yang suka sekali membakar lilin untuk menerangi larut malam, kemudian ketika lelehan terakhir memadamkan cahaya, dia akan melakukan penghormatan layaknya upacara kematian.

Sebanyak apapun dia mendengar kisah tentangnya, bagi Soobin, Yeonjun tidak pernah berubah, dia masih tetap sama, tetap tersenyum pada segala sesuatu di dunia ini, seolah semua hal adalah baik di matanya tetapi diam-diam memendam kemarahan. Dia terlalu baik dalam berlakon.

Perlahan lampion naik ke langit malam. Choi Yeonjun melepas kepergian lampion itu dengan damai, menitipkan sejuta doa yang diam-diam ia bisikan.

Kemudian pemuda itu berbalik tanpa aba-aba. Soobin terkejut tetapi tidak memiliki cukup waktu untuk pergi. Tidak ingin terlihat seperti penguntit yang tertangkap basah, ia tetap berdiri angkuh di tempatnya, menatap balik pada sepasang manik rubah yang menatapnya dengan perasaan rumit.

Mereka tetap seperti itu untuk beberapa saat.

Soobin tidak berharap sesuatu akan terjadi, tidak sampai Yeonjun perlahan berjalan ke arahnya, dengan hati-hati memijakkan kaki di atas tangga berbatu, berjalan dengan anggun di atas jembatan, dan berakhir berdiri di hadapannya.

"Tuan punya waktu luang untuk berkeliaran malam ini? Tetapi tempat seperti ini bukan tempat yang seharusnya anda kunjungi." Ujar Yeonjun, penuh sopan santun.

Soobin tercekat oleh rasa canggung yang hadir karena tutur kata Yeonjun. Dia berdehem, mengalihkan pandangan dari Yeonjun ke kerlip cahaya merah yang terbang bebas di angkasa.

"Lampionnya menarik perhatianku." Katanya, anak rambutnya yang agak berantakan bergerak kecil tertiup angin. Soobin tidak suka kebohongan, tetapi memang apa lagi yang bisa ia katakan?

Lampion terbang dalam kesepian, perlahan-lahan semakin menghilang. Tiba-tiba saja mata tajam Soobin berubah sendu.

"Apakah ini hari peringatan kematian." Suara Soobin nyaris menyatu dengan malam.

Terdengar suara tawa pahit. Yeonjun menatap Soobin dengan pandangan merendahkan.

"Saya yakin anda sudah tahu jawabannya. Anda seharusnya lebih tahu dari siapa pun."

Ya, dia lebih tahu dari siapa pun. Dan baginya itu adalah kutukan.

"Sudah terlalu lama, aku tidak terlalu ingat lagi." Balas Soobin, jelas terdengar tak yakin.

"Lima Desember, lima tahun yang lalu, di rumah keluarga Choi, keluarga ku, pembantaian seluruh anggota keluarga. Kau ingat?"

Dia tidak pernah melupakannya sama sekali.

"Salju putih di atas tanah berubah merah."

Sejak hari itu semuanya berubah menjadi dingin.

"Waktu itu bertepatan dengan hari ulang tahun mu. Kau ingat?"

Dan dia membenci fakta bahwa hari peringatan kelahirannya telah menjelma menjadi hari peringatan kematian orang lain.

Kata-kata Yeonjun telah merobek lapisan demi lapisan luka yang hampir mengering. sangat menyakitkan untuk ditanggung.

Giginya bergemeletuk ketika Soobin mengeraskan rahang. "Untuk apa kau mengatakan itu padaku?"

"Aku hanya khawatir menjadi satu-satunya orang yang ingat."

Mata mereka saling bertemu di bawah sinar bulan. Ketika itu Soobin menyadari bahwa ia bukan satu-satunya orang yang lukanya kembali menganga lebar. Yeonjun, orang yang menggali ingatan itu keluar, dia bahkan basah kuyup bermandikan darah. Lukanya tidak pernah sembuh. Dia menderita sepanjang tahun.

"Kenapa kau tidak membiarkan aku menjadi abu bersama mereka, Soobin?"

Lima tahun yang lalu, pria ini berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama. Daripada mencari jawaban, pertanyaannya lebih seperti permohonan untuk kematiannya sendiri. Dan jawaban Soobin selalu sama.

"Kau tidak terlibat dalam kejahatan keluargamu."

"Namun membiarkanku tetap hidup juga seperti hukuman bagiku." Suara Yeonjun seperti ratapan hantu di malam hari. Terlalu tenang untuk kehidupan, dan dingin seperti kematian.

Soobin tahu dan dia tidak pernah mengharapkan hal itu terjadi pada Yeonjun, tetapi tidak ada pilihan untuk nasibnya. Di antara yang terburuk, kehidupan yang menyedihkan untuk pria ini adalah yang terbaik.

Yeonjun mengembuskan napas kasar. "Lupakan, kau juga tidak salah dalam pembantaian itu."

Tidak ada kata yang ingin Yeonjun lisankan lagi. Melihat Yeonjun akan segera pergi, Soobin buru-buru berucap.

"Maka biarkan aku membakar beberapa dupa untuk ibumu."

Yeonjun terhenti. Ingatannya berputar ke tahun-tahun yang indah di masa lalu. Dulu ketika mereka selesai berlatih atau pulang dari misi, Soobin akan mengantarnya pulang dan mampir untuk melihat ibunya. Soobin dan ibunya mempunyai hubungan yang baik. Ibu Yeonjun sudah menganggap Soobin sebagai anaknya sendiri. Dahulu Soobin selalu mengatakan ‘Aku akan melihat ibumu.’. Setelah beberapa tahun kemudian Soobin ingin melakukan hal yang sama tapi yang ia ucapkan adalah ‘Aku akan membakar dupa untuk ibumu.’

Yeonjun tidak tahu apakah mendiang ibunya akan senang atau tidak ketika anaknya yang lain datang membakar dupa untuknya. Yeonjun tidak bisa memastikan dan ia tidak bisa menolak.

Soobin menancapkan dupa di altar setelah berdoa, berdiri di hadapan plakat nama seorang wanita yang sudah lama tak dilihatnya. Jika saja wanita itu masih ada, dia akan memintanya untuk membujuk Yeonjun yang keras kepala. Tapi takdir berkata lain. Wanita itu tidak akan bisa membelanya lagi, tidak bisa membantu Soobin meluluhkan hati anak semata wayangnya itu.

Yeonjun menunggu Soobin selesai di depan pintu dengan punggung menghadap Soobin, berdiri sendirian menantang angin awal musim dingin, tampak begitu kesepian. Soobin menghampirinya dengan hati-hati dan Yeonjun tanpa basa-basi segera mengantarnya pergi.

"Yeonjun, masa berkabungmu akan berakhir tahun ini." Ucap Soobin ketika mereka berjalan bersisian.

"Tidak akan ada yang berubah bahkan jika itu berakhir. Aku tidak mempunyai masa depan."

Di masa lalu, pemuda ini tidak mengenal kata menyerah, bahkan ketika disudutkan dalam perang, dia selalu optimis pada masa depan. Dia tidak pernah seputus asa ini.

"Ibumu pernah menitipkanmu padaku. Bagiku itu adalah sebuah perintah. Jadi aku memohon dengan sangat kerja sama darimu."

Serangga malam bernyanyi keras ketika keduanya sama-sama tidak berbicara. Yeonjun melirik Soobin di sebelahnya. Pemuda itu telah tumbuh menjadi prajurit kuat. Dia tinggi dan tampan, matanya tajam dan ucapannya tegas. Dia bukan lagi anak laki-laki yang sering mengeluh di akademi karena rindu rumah. Dia bukan pemuda yang bertarung mati-matian di bawah komando atasan. Dia bukan pemuda yang suka rela menawarkan punggung sebagai pijakkan untuk memetik buah apel ketika mereka kelaparan di tengah misi rahasia. Sekarang pemuda mengantuk yang ia kenal itu telah dewasa, bertarung dengan pasukan prajuritnya sendiri dan dihormati sebagai seorang pahlawan.

Yeonjun sekali lagi melihat wajah matang lelaki itu. Rambutnya agak berantakan dan wajahnya kusut karena tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab. Dia benar-benar telah berubah banyak. Ada perasaan bangga yang muncul di benak Yeonjun.

Seandainya saja takdirnya berjalan lancar, mungkin malam ini mereka berdua sedang menikmati anggur sambil mengoceh tentang strategi perang dan hal-hal politik.

Namun perbedaan keduanya sekarang sudah sangat jauh.

"Soobin, kau adalah seorang Jenderal sekarang."

Soobin menoleh pada Yeonjun, mendapati mata pria itu tampak kabur.

"Dulu itu adalah impianku juga, Soobin."

Soobin merasakan sengatan nyeri di dadanya. Untuk sementara waktu tidak mampu berkata-kata.

Yeonjun mengerjap, seolah baru saja tersadar akan sesuatu. "Maafkan aku, tidak seharusnya aku memanggilmu seperti itu, tuan. Aku pantas di hukum atas ketidak sopananku."

Dengan Yeonjun memanggilnya dengan sebutan itu, Soobin kembali merasakan jarak di antara keduanya. Dia sangat tidak rela dan begitu muak.

"Sejak hari itu, apakah kita pernah memutuskan hubungan?"

Yeonjun tidak menjawab, hanya menatapnya dengan pandangan sendu.

Tiba-tiba Soobin menjadi emosional dan suaranya meninggi. "Tidak bisakah kau memanggilku seperti dulu lagi, Yeonjun? Panggil aku sesuka hatimu. Kelinci, Bin-ie, tuan serigala, kekasih."

Luapan emosi membuat Soobin tersengal di hadapan Yeonjun yang tidak banyak bereaksi. Dia segera menyadari perbuatannya dan perlahan menenangkan diri, memastikan dirinya tidak kelewatan dan meledak. Soobin meraih kedua sisi bahu Yeonjun, menekannya dengan kuat.

"Kita tidak pernah memutuskan hubungan itu Yeonjun."

"Saat itu aku hanya ingin kau tetap hidup, jadi aku membawamu pergi. Tidak pernah sekalipun aku bermaksud untuk menyakitimu. Jika upayaku untuk menyelamatkanmu adalah sebuah kesalahan, maka aku minta maaf. Namun aku tidak akan pernah menyesalinya."

Soobin merasa matanya memanas.

"Kau tidak terlibat dalam pemberontakan itu. Kau bahkan tidak tahu hal apa yang ayahmu rencanakan. Kau tidak pantas ikut dihukum."

Soobin menelan salivanya dengan keras, mencoba ikut menelan luapan emosinya yang selama ini ia tahan. Genangan air di pelupuk matanya membuat pandangannya mengabur. Melepaskan tangannya pada Yeonjun, Soobin mundur selangkah, berharap Yeonjun tidak melihat air matanya yang hampir tumpah.

"Setelah masa berkabungmu selesai, aku akan membawamu pergi, tidak peduli kau mau atau tidak, atau jika kau membenciku, aku tetap akan membawamu pergi."

Soobin berjalan mendahului. Ketika mereka berdua hampir mencapai pintu keluar, Soobin berbalik dan meminta Yeonjun untuk tidak mengantarnya lagi.

"Masuklah, di luar dingin."

Yeonjun tidak bersuara sejak Soobin berbicara panjang. Dia hanya mengangguk.

Soobin keluar, menyempatkan diri berbalik untuk melihat Yeonjun menutup pintu. Namun ketika ia melakukannya, Yeonjun tampak masih berdiri kaku sembari menatapnya, tidak berniat untuk segera menutup pintu. Hingga kemudian Yeonjun memanggilnya dengan nada yang familiar.

"Soobin-ie…"

Jantung Soobin berdetak kencang ketika panggilan itu kembali dihidupkan.

"Aku tidak pernah membencimu, aku hanya kecewa pada dunia."

Pada titik ini, air mata Soobin dengan cepat menggenang di pelupuk matanya.

Walapun wajah Yeonjun masih minim ekspresi, tapi nada bicaranya terdengar lebih hangat. "Terima kasih sudah datang. Maaf aku tidak bisa menjamumu dengan baik di hari ulang tahunmu. Aku tidak bisa merayakan apapun di hari peringatan kematian keluargaku."

Di depan pintu kuil leluhur, seorang Jenderal menangis di malam hari kelahirannya. Tidak ada yang bisa mendapatkan kehormatan untuk melihat air mata orang terkuat di negeri ini selain Choi Yeonjun, teman seangkatannya, seseorang yang dikenal sebagai mantan prajurit terbaik sekaligus anak pemberontak yang diasingkan dunia, juga satu-satunya orang yang ia cintai.

Suara Soobin serak ketika membalas. "Ya, tidak masalah. Aku juga tidak terlalu peduli pada hari kelahiran."

Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun berlalu, Choi Yeonjun kembali tersenyum padanya, walau tipis, walau agak kaku, tapi keindahannya seperti bunga yang mekar di bawah sinar bulan.

"Jemput aku nanti. Aku akan pergi bersamamu."

Soobin mengangguk mantap. "Aku akan membawamu."

 .
Selesai
...

Serpih ~12~
Senin, 5 Desember 2022

Argh..masih belum terlambat, kan?

Selamat ulang tahun bapak Tubin... semoga bahagia selamanya...

Tidak ada waktu tersisa untuk menentukan judul. Saya menyerah. Fufufuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top