11.| Bertengkar

(Kali ini aku bawakan permen manis asem asin setelah bermelankolis ria di bab-bab sebelumnya. Silakan dimaem. -🍬🍬🍬-)

.

.

.

"Aku akan menghitung sampai tiga."

Yeonjun mengedip-ngedip tanda tak paham ketika Soobin tiba-tiba saja mendorongnya ke dinding, tak memberikan akses untuk melarikan diri dari kungkungan tubuh bongsornya yang padat, juga dari tatapan mata serigalanya yang memicing tajam.

Sial, baru datang bukannya disambut peluk-cium malah KDRT.

Yeonjun menelan ludah waswas. "Hitung untuk apa?"

"Untuk menjawab pertanyaanku dengan jujur. Jika kau menolak untuk menjawab atau aku melihat ada tanda-tanda kebohongan pada jawabanmu, kau tentu tahu aku tidak punya sedikit pun rasa segan untuk memberimu hukuman. Jadi tolong berhati-hatilah."

Yang lebih pendek tak terima dan langsung menyambat. "Berengsek! Kau selalu seperti ini, tiba-tiba marah tanpa menjelaskan apa pun terlebih dahulu. Kalau ingin bertengkar, langsung katakan inti masalahnya! aku tidak punya waktu untuk main tebak-tebakan."

"Siapa yang ingin bertengkar?"

Pura-pura bertanya, padahal jelas sekali wajahnya kecut.

"Lalu apa ini namanya?"

"Aku hanya ingin kau menyadari kesalahanmu sendiri."

Yeonjun sedang tidak dalam mood yang baik akhir-akhir ini. Dia hampir murka. "Kau kekanakan, Soobin!"

"Aku tidak." Balas Soobin, nada mengelaknya sengaja dibuat agar Yeonjun kian jengkel. Dengan melihat lawannya yang tersulut emosi, sisi jahat di hatinya sedikit mendapat kepuasan.

Yeonjun sadar dia adalah pihak yang setahun lebih dewasa dari segi umur, jadi dia tidak mau ikut menjadi kekanak-kanakan. Meskipun rasa terbakar di kepalanya tak terbendung, dia masih memilih menjadi sabar alih-alih menggunakan lututnya untuk menendang selangkangan Soobin.

"Kalau begitu lepaskan dan katakan baik-baik apa masalahnya. Kau memperlakukanku seperti ini, kau pikir ini menyenangkan?"

Mata Soobin menyipit jadi segaris. Dia mendesis di depan wajah Yeonjun. "Sejujurnya, iya."

Memang pria berengsek!

Yeonjun punya keinginan kuat untuk menepuk dahi sendiri, sayangnya belum sempat melakukan banyak gerakan, tangannya keburu dicekal. Pergerakannya kali ini semakin terbatas.

"Oh, Tuhan, apa yang salah dari otaknya?" Gumam Yeonjun, lebih ditujukan kepada diri sendiri.

Jarak kosong di antara keduanya terlalu dekat. Dengan sedikit gerakan, kening mereka akan saling bergesekan. Jika ditambah sedikit lagi gerakan, ujung hidung keduanya akan saling bertemu. Dan jika mereka tidak sedang dalam kondisi hati yang sama-sama dongkol, bibir keduanya pasti sudah saling berbagi afeksi.

Di sisi lain, sebenarnya Soobin sangat merindukan kekasihnya. Beberapa hari belakangan ini kesibukan kerja membuat keduanya tidak punya waktu untuk satu sama lain. Terkadang saat Soobin pulang ke apartement Yeonjun, dia menemukan Yeonjun sudah tidur lelap, atau ketika dia punya sedikit waktu senggang, Yeonjun malah lembur. Jangankan untuk bertemu, berbagi kabar lewat pesan saja tidak sempat.

Rindunya sebesar gunung, tapi rasa dongkolnya sedang meroket ke atas langit.

"Pukul sembilan kemarin malam, kau ingat apa yang kau katakan ketika aku mengirimimu pesan?" Soobin bertanya dengan ketenangan yang menakutkan.

Alarm tanda bahaya tiba-tiba menyala di kepala Yeonjun. Otaknya yang cerdas mendadak disfungsi, tidak tahu harus berkata apa. Kalau Soobin sudah begini, itu tandanya dia sudah ketahuan.

"Oh?"

Melihat respons yang didapatkannya, Soobin tahu bahwa Yeonjun sudah menyadari kesalahannya sendiri. Dia terus melanjutkan upayanya untuk membuat Yeonjun lebih merasa bersalah lagi.

"Ku ingatkan jika kau lupa. 'Soobin, aku baru saja kembali dari kantor. Hujan deras, walaupun sedikit kebasahan tapi aku baik-baik saja. Setelah selesai mandi aku akan memesan makan malam dan tidur, jadi kau tidak perlu datang ke apartementku. Selesaikan pekerjaanmu dengan baik, jangan jadikan aku sebagai alasan untuk bermalas-malasan.'"

Yeah, sudah ketahuan. Soobin pasti sudah tahu dia tidak di rumah semalam. Tapi meski tahu dirinya bersalah, dalam posisi ini Yeonjun merasa harga dirinya tersakiti. Dia tak serta-merta mau mengakui kesalahan, enggan menjadi yang lemah di hadapan kekasihnya yang-ugh! Terlalu bossy. Jadi dia berencana melawan.

"Lalu?" Yeonjun tenang, berusaha terlihat tak bersalah.

"Kau pintar berbohong sekarang. Belajar dari mana?"

Yeonjun tidak perlu menjawab pertanyaannya.

"Heh, kau tidur pukul berapa semalam?"

Basa-basi!

"Kau melihatku di luar, ya? Atau seseorang melaporkannya padamu?"

"Aku tanya, kau tidur pukul berapa?"

Ck, kekanakan, keras kepala, tidak sabaran, seenak jidatnya!

Soobin mulai menghitung. "Satu..."

Yeonjun berontak dalam kungkungan Soobin. Dia tahu usahanya tidak akan membuahkan hasil. Kekuatannya kalah telak dari pemuda jangkung ini, apalagi sekarang dia sudah jauh lebih berotot, dan aura dominannya tumbuh semakin berbahaya. Meskipun begitu, dia masih tidak mau menjadi sosok yang mudah.

"... dua."

Yeonjun berjuang keras dan Soobin segera menangkapnya ke dalam pelukan sebelum dia semakin liar. Dia ingat terakhir kali lengah, tulang keringnya jadi korban.

Soobin menekan bibirnya ke telinga Yeonjun lalu berbisik dengan nada berbahaya. "Sayang, aku akan selesai menghitung. Kau ingin sekali ku hukum, ya?"

Yeonjun merasakan tangan Soobin  merambat dengan gerakan nakal ke tempat terlarang. Berlama-lama di sana, menggosok dengan acak, lalu memberikan remasan-remasan kecil dengan sedikit kekuatan.

Kelinci imut ini aslinya licik dan berminyak.

Yeonjun melotot kaget dan berhenti berontak. "Aku berencana untuk tidur setelah kembali, bangsat!"

Setelah kalimat tajam itu, mereka punya waktu tenang untuk beberapa saat. Yeonjun mendelik marah, tampak siap mencekik Soobin kapan pun ketika kesempatan datang. Sedangkan Soobin memakunya dengan tatapan tajam.

"Aku sangat tahu dirimu, Yeonjun. Setelah sampai di apartement, alih-alih istirahat, kau pasti akan mengambil pekerjaan lain."

Yeonjun sangat lelah, dia benar-benar butuh istirahat. Soobin tidak akan melepaskannya dengan mudah. Seandainya dia punya sedikit tenaga lebih, dia pasti akan lebih banyak bicara dan memenangkan perdebatan ini.

Atas tekanan yang bertubi-tubi ia terima, Yeonjun akhirnya merasa tak berdaya, dia tidak punya pilihan selain mengaku salah. "Soobin, aku minta maaf karena berbohong kemarin malam. Aku terpaksa melakukannya karena jika kau tahu aku harus lembur lagi, kau pasti akan menyeretku ke tempat tidur sebelum semua pekerjaanku selesai. Proyek ini begitu berarti bagiku dan hal lainnya adalah banyak orang yang bergantung padaku, tanggung jawabku lebih besar, Soobin. Jadi, ku mohon mengertilah. Setelah semuanya selesai, aku bisa lebih santai dan punya banyak waktu bersamamu."

"Masalahnya karena pekerjaanmu itu, hampir tiga hari kau belum tidur. Aku bahkan tidak yakin apakah sebelumnya kau istirahat dengan benar. Kau bukan satu-satunya orang yang bekerja dalam proyek itu, kan? Bagaimana jika ketika proyeknya selesai, hidupmu juga malah selesai? Kau mau menontonku jadi gila?"

"Soobin, aku punya tanggung jawab-"

"Aku tahu, tapi aku juga punya tanggung jawab atas dirimu. Memikirkan kesehatan diri sendiri bukan bentuk kelalaian, Choi Yeonjun. Jika kau terus memforsir diri seperti ini, selain tidak peduli pada diri sendiri, berarti kau juga tidak peduli padaku yang bertanggung jawab untuk menjagamu. Kenapa, sih, kau ini selalu memandang remeh kepedulianku?"

Melihat Yeonjun tidak bisa segera membalas, hati Soobin jadi melembut, tidak tega melihatnya bersedih. Dia meletakan telapak tangannya yang besar dan hangat pada pipi kekasihnya yang semakin tirus, menggosoknya penuh kasih sayang.

"Aku tahu kau baru pulang dan sedang lelah, tapi aku juga punya hak untuk marah. Aku harus memarahimu sebelum terlambat."

Soobin menyatukan keningnya dengan Yeonjun, berbisik lirih di wajahnya. "Kau tidak mencintaiku lagi, kau hanya mencintai pekerjaanmu..." dan serangan terakhir dengan nada memelas yang tidak pernah bisa Yeonjun tanggung. "Menikah saja sana dengan partitur."

Yeonjun tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa atas tingkah laku kekasihnya ini. Tapi jujur saja dia sangat imut.

"Kau sudah berumur 29 tahun, jangan cemburu pada partitur."

"Aku tidak bercanda, Yeonjun."

"Aku juga serius, Choi Soobin."

Yeonjun kembali berontak kecil dengan niat bermain-main, tapi Soobin salah sangka dan jadi lebih waspada, takut menerima serangan dadakan. Dia mengeratkan pelukannya pada Yeonjun.

"Iya iya iya, sudah, Yeonjun, berhenti. Kekuatan kakimu menakutkan."

Perdebatan yang awalnya alot, tiba-tiba saja sudah menjelma jadi kelembutan sarat rindu dan kasih sayang di antara keduanya. Yeonjun menenggelamkan wajahnya di bahu lebar Soobin, menghirup dalam aroma yang lama ia damba, sedangkan Soobin kian membungkusnya dalam pelukan hangat, sesekali mendaratkan kecupan-kecupan ringan di puncak kepala sang kekasih.

"Sayang, hari ini jangan kemana-mana, ya. Kalau kau berani pergi, aku akan bangun dan berangkat ke kantor." Ujar Yeonjun dengan suara teredam di bahu Soobin.

Soobin menarik selimut untuk menyelimuti Yeonjun yang tengah berbaring di atas dadanya, berusaha memberikannya kenyamanan semaksimal mungkin agar dia bisa segera pergi ke alam mimpi.

Rasanya sudah lama sekali dari terakhir kali mereka menghabiskan waktu seperti ini. Soobin selalu memikirkannya setiap malam, mengingat bagaimana terakhir kali mereka berbagi selimut yang sama. Entah perasaannya saja atau apa, ia bisa merasakan kali ini beban di dadanya jauh lebih ringan dari pada sebelumnya. Sepertinya Yeonjun sudah banyak kehilangan berat badan. Memikirkan itu membuat hati Soobin nyeri. Dia seharusnya bisa memberikan lebih banyak perhatian pada Yeonjun. Ditinggal kerja beberapa bulan saja dia sudah tak terawat, apalagi setahun? Selalu berkoar-koar bisa menjaga diri, minta tidak usah dijemput, tidak usah ditemani, tidak usah dikhawatirkan. Apanya yang sudah dewasa? Bisanya mengatai orang lain kekanak-kanakan padahal dirinya sendiri lebih menyedihkan. Seandainya jika Soobin tidak ada, jadi apa dia di dunia ini?

"Oh, benar. Aku lupa akan memujimu ketika kita bertemu." Tiba-tiba Yeonjun bersuara memecah ketenangan.

Soobin tidak terlalu peduli. "Tumben sekali."

"Aku melihatnya semalam." Yeonjun mengangkat kepalanya, menatap Soobin dengan posisi dagu yang bertumpu pada dada bidang kekasihnya. "Itu... kalian... berciuman. Aku menontonnya dan tidak bisa berkata-kata."

Astaga, topik yang sangat canggung.

"I-itu... itu hanya akting"

"Tapi promosi couple kalian sangat gencar, ya."

Aduh, gawat!

"Yeonjun Hyung, kau mau kita makan dulu sebelum tidur?" Soobin berusaha segera keluar dari pembicaraan ini, tidak mau tenggelam di dalamnya.

"Hyung?" Yeonjun mengangkat sebelah alis. "Kenapa tiba-tiba memanggilku 'Hyung'?"

Soobin terkekeh kering. "Kau lupa umur kita beda setahun?"

"Kau ingin mengingatkanku bahwa aku adalah kakak yang harus selalu mengalah, memaklumi, dan memaafkan adiknya yang nakal, begitu?" Yeonjun cemberut. "Setiap kali kita berdebat dan kau yang salah, kau selalu menggunakan sebutan 'Hyung' sebagai senjata untuk meluluhkan hatiku. Tapi jika aku yang salah, kau selalu sengaja lupa kalau aku lebih tua darimu, memarahiku, dan menghukumku."

"Kalau begitu kenapa kau tidak coba aegyo?" Celetuk Soobin, berusaha mencairkan suasana. Namun yang didapat olehnya kemudian adalah hantaman di dadanya, tidak terlalu sakit, tapi dia tetap meringis.

"Aku sudah dewasa! Aku tidak melakukannya lagi. Kau juga semakin menyeramkan dari hari ke hari. Aku takut padamu, Soobin. Sekarang kau terlihat seperti ayahku."

Yeonjun kembali meletakan kepalanya dengan nyaman di dada Soobin. "Setiap kali aku membuka sosial media, berita tentang kalian selalu menjadi yang teratas."

"Kami hanya rekan bisnis." Balas Soobin sambil mendaratkan telapak tangan di kepala Yeonjun, memberinya usapan-usapan lembut.

"Aku paham, Soobin, tapi semua orang di agensi membicarakannya. Mereka sangat berharap kalian menjadi pasangan sungguhan, ditambah sekarang kalian punya fans yang mendukung hubungan kalian. Jika berita dating kalian muncul di publik, aku bersumpah akan menghancurkanmu."

Soobin melirik ke bawah, ingin melihat wajah marah kekasihnya, tapi yang ia dapati justru pemandangan manis Yeonjun yang sedang asyik memainkan jari di atas dadanya, menggaruk-garuk kecil pada lapisan sablon kaus yang sedang ia kenakan seperti bayi penasaran. Dewasa bagaimana? Tolong katakan, kekasihnya ini masih balita, kan?

"Awalnya aku tidak masalah dan aku mengerti bahwa itu hanyalah bagian dari pekerjaanmu. Tapi kau tidak menjelaskan apapun tentang topi pasangan yang kalian pakai saat tim kalian merayakan hari terakhir syuting. Dan ku dengar sepulang dari interview, kalian makan malam bersama di sebuah restoran. Jangan pikir hanya kau saja yang punya mata-mata untuk mengawasiku, aku juga punya, kok. Aku tahu semua yang kalian lakukan dan menunggumu menjelaskannya sendiri padaku. Namun sepertinya jika aku terus diam, kau juga selamanya tidak akan mengatakan apa-apa. Kau suka sekali ku sebut berengsek, ya? Bajingan. Bangsat. Kau manusia paling sialan yang pernah aku temui."

Tiba-tiba Yeonjun mengangkat kepalanya lagi, memasang wajah yang sangat masam. Soobin balik menatapnya dengan lembut, dan dia mendapatkan hadiahnya hari itu: sebuah tamparan, tidak terlalu kencang, tapi juga tidak lemah. Soobin tidak protes sama sekali, malah matanya semakin melembut.

Mereka tetap dalam posisi itu untuk waktu yang lama. Sampai akhirnya Yeonjun bertanya galak.

"Apa lihat-lihat?"

Soobin malah tersenyum seperti orang tolol. "Kau benar-benar mencintaiku, ya?" Kemudian dia kembali menerima pukulan menyakitkan di dadanya.

"Pertanyaan macam apa itu? Delapan tahun, loh, Choi Soobin! kau masih bisa bertanya?"

Soobin tertawa, memeluk Yeonjun dengan erat lalu berguling-guling bersama di atas kasur. Yeonjun merengek minta berhenti, tapi tidak melawan. Pura-pura jual mahal padahal dalam hati ingin lebih, gengsinya terlalu besar.

Mereka akhirnya berhenti dengan posisi yang sudah terbalik: kali ini Yeonjun di bawah dan Soobin di atas. Soobin bertumpu pada kedua siku agar berat tubuhnya tidak terlalu menindih Yeonjun. Dahi keduanya bertemu, saling bertukar nafas. "Oh, Yeonjun sayang, sebenarnya kau apakan aku, sih, sampai sebegini cintanya padamu?" Kalimatnya diakhiri dengan ciuman capung di bibir ranum Yeonjun.

Manis. Sekali tidak akan pernah cukup, maka kecupannya sekali lagi mendarat di tempat yang sama, lalu merambat naik ke puncak hidung bangir, dan berhenti di kening yang ditutupi beberapa helai rambut.

Tangan Yeonjun merambat ke leher Soobin. "Pria berengsek sepertimu pantas untuk dicekik."

Sambil menerima cekikan main-main, Soobin berkata. "Lakukan itu nanti setelah kau cukup istirahat. Aku berjanji kali ini kau di atas."

"Aku yang masuk."

Soobin tertawa, diam-diam menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Kau tidak akan puas."

"Baiklah, kalau begitu izinkan aku mencekikmu sampai mati."

"Kau manis sekali kalau sedang cemburu."

Mereka kembali berkelahi di dalam selimut.

.
Selesai
...

Serpih ~11~

Minggu, 31 Juli 2022

Besok udah Agustus aja, nih. Siap-siap masuk semester 7 argh bark barrk!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top