Bagian 5

"Pacarnya?"

Tidak ada jawaban, hanya ada kode mata antara Ayu dan pengemudi. Isyarat agar pengemudi itu segera pergi.

"Saya tanya lho ini, Mas. Bukan ngomong sendiri," kata Rangga dengan sedikit kesal.

Sabar, Ga! Jangan kalap! Walaupun korban, kamu harus terlihat keren.

"Saya teman kuliah Ayu."

"Oh... nama?"

"Eko."

Rangga tersenyum menyeringai. "Hati-hati, Mas. Sekarang aja dia sudah khianat, nanti ada giliran Anda dikhianati. Ay, kita putus."

"Ga, aku bisa jelasin ini. Dia bukan seperti yang kamu pikir," kata Ayu menengahi.

"Jelasin? Semua udah jelas, Ay. Beberapa waktu ini kamu sering ngilang. Tadi kamu bilang ke rumah Lita, nyatanya itu semua bohong dan kamu justru sibuk bermesraan dengan dia. Penjelasan apalagi? Kalian cuma teman? Teman tapi mesra?"

"Bukan Begi__"

"Terus gimana?" potong Rangga cepat.

"Emm...itu...kami...kami kebetulan ketemu di jalan."

Rangga berdecak. "Oke! Aku percaya, tapi kita tetap putus. Kalau kepercayaan udah disalahgunakan, nggak ada gunanya dibangun lagi. Nanti bakal kamu hancurin juga."

Dengan langkah pasti, serta dalam hati terus memaki akhirnya Rangga memilih pergi. Suara satria-nya meraung keras memecah keheningan. Banyak umpatan yang bahkan tidak bisa disebutkan satu per satu berada di ujung lidah.

Inikah balasan dari kepercayaan? Sebuah pengkhianatan. Ingatan masa lalu kembali berputar. Saat dia baru mengenal Ayu, juga pada waktu Ayu ada di titik terendah. Dia selalu ada di barisan depan untuk melindungi. Dia bahkan rela mengorbankan tabungan untuk membayar biaya kuliah Ayu agar gadis itu bisa ikut ujian. Lalu, sekarang? Habis manis, sepah dibuang.

Rangga menggeleng membenarkan batinnya, dia belum sepah.

Dunia ini seperti roda yang berputar. Adakalanya di atas, ada juga di bawah. kemarin dia ada di atas dan berbahagia, maka hari ini dia di bawah. Hati kecilnya mencoba mencari pembelaan, barangkali yang terjadi hanya salah paham. Lalu, kenapa Ayu bahkan tidak menghubungi sekadar melakukan pembelaan?

Rumah sedang sepi, orangtua serta kakaknya sedang pergi ke Surabaya. Lengkap sudah kegalauan Rangga, suasana sangat mendukung.

Bug.

Ransel yang selalu menemani berakhir di lantai begitu saja. Rangga berbaring terlentang, menatap langit-langit kamar dengan menerawang.

Lita

Begitu telepon tersambung dia tidak mau lagi berbasa-basi.

"Ta, jujur kamu tahu kan kalau Ayu kayak gini? Kenapa nggak pernah cerita? Aku selama ini percaya sama Ayu karena dia temanmu dan aku percaya kamu karena kamu teman terdekatnya Agung. Kok tega?"

Di seberang telepon lainnya, Lita menggigit bibir. Dia memang sudah tahu, tetapi ada di posisi serba salah. Bukankah bercerita sama saja dengan mengkhianati ayu? Pun sebaliknya. Sebagai teman, dia berulang kali berbicara baik-baik kepada Ayu untuk memilih salah satu. Sayangnya, sifatnya terlalu serakah, enggan untuk melepaskan.

"Sorry, Ga."

Tidak ada penjelasan, Lita tahu betul kalau dia bersalah. Lagi pula, Rangga dalam posisi tidak bisa diajak berbicara.

"Aku kecewa sama kalian."

Deg.

Ada sedikit rasa tak nyaman ketika kalimat itu terdengar. Kepercayaan memang begitu rapuh. Lita hanya bisa menghela napas begitu sambungan terputus.

**

"Bro, lo masih marah? Sorry, kalau tahu Ayu kayak gitu, gue juga nggak akan kenalin kalian. Lita udah melakukan yang terbaik, tapi Ayu keras kepala."

Rangga memilih memainkan ponsel daripada menanggapi kalimat Agung. Hatinya terus mencari pembelaan, termasuk dengan menyalahkan orang yang telah memperkenalkan mereka. Kalimat seandainya banyak muncul di kepala.

Seandainya dia tidak pernah berteman dengan Agung.

Seandainya Agung tidak berpacaran dengan Lita.

Seandainya Lita tidak memperkenalkannya dengan Ayu.

Seandainya....

Seandainya....

"Ga, aku ada lagu baru download kemarin. Tak puterin, ya," ujar Ilham mencoba mendinginkan suasana.

"Nggak minat sama lagu," jawab Rangga cuek.

Bukan Ilham namanya kalau langsung diam jika usulnya ditolak. Dia tetap memutar lagu yang dimaksudkan.

"Jangan cuma didengar, tapi pahami maksud liriknya," ujar Ilham sambil menyodorkan headset serta ponselnya. Dia tidak menunggu jawaban Rangga dan memilih keluar kelas.

Mencintai Kehilangan - Anandito Dwis

♪Berjalan... berlari...hati tertindih.
Sulit tapi harus aku putuskan.
Jalanmu... jalanku...belum sempurna.
Biar masa depan yang sempurnakan.
Suara-suara batinku...melepaskanmu.
Lirih-lirih jiwaku ...membasuh pilu.

Takdir yang Kau beri
Menguji hatiku
Terasa menyesakkan
Kehilangan ini
Tangis yang Kau beri
Membuka mataku
Bahwa cinta yang sebenar cinta hanya ada SATU

Karena kehilangan ini
Ku mampu mendekat kepadaMu

Daun terjatuh di hadapanku
Belajar menerima
Belajar menerima semuanya♪

**

Malam ini sudah malam minggu, lagi. Beberapa waktu lalu, biasanya setiap malam minggu dihabiskan Rangga untuk kencan dengan Ayu atau jalan bersama Agung. Sekarang, Rangga hanya berbaring di ranjang, menatap nanar langit-langit kamar. Dia mulai bosan.

Sebuah ide muncul di kepala, membuat Rangga tersenyum senang.Lebih baik sore ini dia ke tempat Masha, malamnya sebelum pulang mampir ke MH. Di sana seorang diri asalkan ada laptop dan wifi tidak masalah. Dia bisa menulis untuk mengisi halaman blog miliknya yang sudah cukup lama terabaikan.

Oke, ide ini sepertinya tidak terlalu buruk. Rangga bersiul senang.

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalaam."

"Om Langgaaaa! Asikkkk, ayo om kita poto-poto."

Rangga menggelengkan kepala geli melihat tingkah Masha saat menyambutnya. Bocah 3 tahun ini memang selalu menghibur.

"Hp-nya udah penuh sama foto kamu, Sha."

"Belum ada Si Putih, kan, Om? Si Putih sekalang udah cantik," jawab Masha sambil menarik tangan Rangga agar berjalan lebih cepat.

Rangga sudah duduk manis di sofa ruang tamu ketika Bila datang membawa air putih. Bila mengernyitkan dahi, heran dengan kedatangan adik bungsunya. Rangga itu tidak pernah ke rumah kalau tidak disuruh Bunda, Ayah atau dirinya. Pokoknya kalau tidak ada kepentingan anti menginjakkan kaki di rumah ini. Rangga selalu bilang, tidak perlu dikunjungi juga hampir tiap minggu mereka akan ke rumah.

"Apaan sih, Kak? Gitu amat lihatnya," tanya Rangga tidak nyaman.

"Ada angin apa kamu tumben ke sini? Ini hari sabtu lho, Dek. Nggak jalan?"

"Aku lagi pengen main aja sama Masha."

Jawaban Rangga semakin membuat Bila heran. Serius, Rangga itu kadang suka kesal sendiri kalo Masha sudah kebangetan jahilnya.

Rangga berdecak. "Aihh, nggak papa tahu, Kak. Ini habis Isya juga aku mau jalan. Bete di rumah nggak ada orang."

"Ommmm! Lihat deh, Si Putih punya kalung balu. Walnanya pink. Poto, Om!"

Benar saja, Si Putih yang sekarang ada di gendongan Masha sudah memakai kalung berwarna merah muda. Cewek sekali.

"Pinjam bentar, Sha" kata Rangga sambil mengambil alih.

Rangga mengamati bulu Si Putih yang terlihat aneh. Bukan hanya kalungnya yang merah muda, tetapi bulunya di beberapa bagian juga.

"Itu kemarin dicat sama Masha, Om. Terus abis itu dia ngamuk soalnya dimandiin nggak jadi putih lagi. Akhirnya baru diam pas ayahnya kasih kalung warna yang sama," jelas Bila yang langsung tahu apa isi otak Rangga.

Astaga, Masha!

Setelah itu, Masha langsung minta difoto bersama Si Putih dengan ponsel miliknya. Dan itu tidak cukup hanya sekali.

"Udah banyak, Sha. Capek."

"Yahhhh," ujar Masha kecewa.

"Eh main kuda aja sekalang, ya?" kata Masha lagi.

"Kuda?"

"Iya. Kuda-kudaan."

Rangga tidak bisa mengelak lagi ketika Masha sudah menarik tangannya, menyuruh dia mengambil posisi. Masha langsung memanjat di punggung.

"Hahahaaha! Asikkkk, kudanya punya tali, Mei!" Masha berteriak girang sambil menarik rambut panjang Rangga yang saat ini dikuncir belakang.

Bila yang melihat itu langsung tergelak.

Rangga meringis "Sakit, Sha! Ini rambut bukan tali."

"Ayo kuda, jalan!"

Bukannya mendengarkan, Masha justru menghentakkan rambut Rangga lebih keras.

"Makanya, Om. Rambutnya dipotong kenapa? Katanya kemarin biar kelihatan serem pas ospek. Sekarang udah selesai kan ospeknya?" ujar Bila masih dengan tertawa.

"Aihh, padahal udah keren gondrong begini."

"Hiyak! Kuda jalan!" teriak Masha lagi, tidak lupa dengan terus menarik rambut Rangga. Membuatnya meringis.

"Udah ya, Sha. Om capek, tolong ambilin air dingin."

Masha mengangguk cepat, turun dari punggung Rangga, lalu berlari ke arah dapur. Dengan tangan kecilnya, dia berhasil mengambil tempat minum yang ada di paling bawah.

"Kamu ada masalah?" tanya Bila penasaran.

"Orang selingkuh penyebabnya apa sih, Kak?" tanya balik Rangga.

"Dulu, di kantor ada bapak-bapak yang selingkuh. Alasannya istrinya jauh dan dia jadi kurang kasih sayang. Payah ya alasannya, mereka LDR kan emang dari awal tahu risikonya. Alasannya basi, bapak-bapaknya aja itu yang ganjen, nggak bisa jaga hati. Pokoknya illfeel banget."

"LDR, kurang kasih sayang, lalu selingkuh." Rangga berkata mengulangi kalimat Bila.

Apa iya dia masih kurang memberi perhatian pada Ayu? LDR juga tidak. Benar kata kakaknya, alasan basi.

"Kata orang, Dek. Orang yang istimewa akan tergantikan dengan orang yang selalu ada. Bayangin aja ketemu istri sebulan sekali dalam waktu dua hari. Sisa hari dalam sebulan ketemu sama selingkuhannya, berat kan."

Picik!

"Om, minumnya!"

Masha datang memberikan tupperware kecil kepada Rangga. Momen yang tepat, saat hatinya akan mulai memaki.

"Kak Masha bawa Si Putih ke dalam, ya? Masukin kandang. Memei mau bicara bentar sama Om."

Masha mengangguk patuh dan mengambil Si Putih yang dari tadi mencari tempat nyamannya di tumpukan bantal.

"Masa orang yang udah nikah dan berkomitmen kayak gitu sih, Kak? Parah, ya? Menikah aja kayak gitu, apalagi baru pacaran," kata Rangga setelah Masha menghilang.

"Awalnya juga aku nggak percaya sampai akhirnya lihat pakai mata sendiri."

"Parah!"

"Jangan-jangan kamu pacaran ya, Dek? Terus diselingkuhin?" tanya Bila menyelidik. Obrolan Rangga yang tidak biasa memang membuatnya curiga. Tidak ada basa-basi, tiba tiba datang ke rumah dan membahas selingkuh. Aneh!

Hening.

"Rangga!" panggil Bila lagi ketika tak kunjung mendapat jawaban.

Akhirnya Rangga tersenyum miris. Dia mengelak pun tak ada gunanya, sekarang justru dia butuh kata-kata penyemangat.

"Ckckckck!" Bila menggelengkan kepala sambil berdecak.

"Kamu kan sudah dibilangin sama Ayah-Bunda nggak boleh pacaran. Terus kenapa pacaran? Kenapa bisa pacar kamu selingkuh? Makanya, Dek, daripada ujungnya sakit hati mendingan jomblo sampai sah. Palingan mentok miris lihat teman yang bawa gandengan."

"Kak Bila nggak pernah punya pacar sih, jadi nggak bisa ngerti apa yang aku rasain. Sakit tahu, Kak."

Lebih sakit lagi ditinggal teman sendiri nikah, Dek.

Bila meringis, ingat kisah masa lalunya. Ah, itu adalah masa tergelapnya sepanjang sejarah kehidupan. Dia menangisi orang yang tertawa bahagia dengan wanita lain. Bodoh memang.

"Terus aku mesti gimana, Kak?" tanya Rangga pasrah.

"Orang kalau udah sekali selingkuh nggak nutup kemungkinan nagih. Mendingan kamu sekarang fokus kuliah, lulus baru mikir cari cewek. Nggak usah pacaran deh, langsung nikahin aja nanti."

"Enak betul ngomongnya."

Bila tergelak, berbicara memang mudah, lain halnya dengan melakukan.

"Intinya memang kamu mau nggak mau harus move on, kan?" tanya Bila.

Iya, juga sih.

"Tapi masih kesel, Kak."

"Kesel nggak bikin kenyang. Ambil hikmahnya aja, nggak ada pacar kamu bisa lebih fokus belajar. Ini di luar kuasamu. Mau kamu ngapain aja intinya cewekmu tetap selingkuh, kan?"

Rangga menghela napas. Kakaknya benar, dia mau kesal atau bahkan menangis sekali pun tidak akan mengubah keadaan.

"Mei, udah masuk kandang. Ayah mana sih, Mei? Katanya mau mampil beliin ayam kok ndak sampai-sampai?" tanya Masha yang sudah kembali dari memasukkan Si Putih.

"Bentar lagi, masih di jalan."

"Sha, mau ikut Om, nggak?" tanya Rangga kemudian.

"Ke mana?"

"Om mau potong rambut."

Rangga berkata yakin, kata orang kalau patah hati itu identik dengan potong rambut. Katanya sih biar cepat move on. Ide itu terlintas begitu saja.

"Cieeee yang patah hati terus potong rambut," ujar Bila sambil tertawa

"Masha di rumah aja, nanti dia nggak ada yang jagain di sana," tambahnya kemudian.

"Yahhhh, Meii!" rengek Masha sambil mengerucutkan bibir.

Rangga menatap Bila dengan rasa bersalah. Masha tidak akan berhenti merengek sampai diijinkan. Dia pun tidak tahu mau diapakan anak itu saat dia nanti sedang dipotong rambutnya. Beruntung suara salam dari pintu masuk menyelamatkannya. Daffa, ayah sekaligus pawang Masha sudah tiba. Rangga langsung meminta ijin pulang, mengejar waktu sebelum Maghrib.

Rangga berhenti di Salon 'Jadi Ganteng'. Kepercayaan dirinya langsung meningkat hanya dengan melihat papan nama yang ada. Dia tersenyum sinis, masih ingat Ayu yang mengatakan kalau dia lebih keren dengan rambut panjang.

Selamat tinggal masa lalu.

Dulu, boleh jadi kamu yang istimewa di hatinya. Namun, ketika kecewa itu sudah menyapa, jangan berharap untuk menjadi pemilik hatinya.

TBC

Kritik dan saran dari teman-teman selalu kami tunggu, ya.

Alyaaa & @niamaharani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top