Bagian 4
♪ Malam minggu malam yang panjang.
Malam yang asyik buat pacaran.
Pacar baru, baru kenalan.
Kenal di jalan jenderal Sudirman ♪
Rangga berdendang sambil menuruni tangga. Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Urusan ospek beres, waktunya ketemu pacar, berasa re-charge baterai.
"Mau ke mana, Dek?" tanya Alya yang baru membereskan meja. Dia melihat pakaian Rangga menunjukkan anaknya itu akan berpergian.
"Malmingan dong, Nda. Mau nambahin uang saku?"
Alya berdecak. "Kalau mau senang-senang pakai uang bulanan."
Jawaban itu langsung membuat Rangga berekspresi sok sedih.
"Rangga," panggil Alya lagi. Panggilan yang sukses membuat senyum Rangga terukir. Akting sedihnya sukses, kan?
"Ya?"
"Kamu nggak mau pacaran, kan? Belum lupa pesan Ayah sama Bunda, kan?"
Alya bertanya penuh selidik, sementara yang ditanya terdiam. Ada rasa tidak nyaman ketika Rangga menyembunyikan kebenaran.
"Ingat, kok. Harus fokus kuliah, nggak boleh pacaran. Kalau nanti nggak lulus tepat waktu, bayar sendiri uang semesteran."
Ingat, Nda! Tapi dilanggar.
Rangga meringis. Minimal dia tidak berbohong, walaupun melanggar. Dia tidak menjawab pertanyaan bundanya soal pacaran. Aman!
"Bagus kalau masih ingat, takutnya kamu lupa."
"Rangga jalan dulu ya, Nda? Nanti ada Agung juga kok. Assalaamu'alaikum."
Rangga yang tidak ingin terus berbohong akhirnya memutuskan untuk pamitan. Dia takut dengan kalimat sekali berbohong, akan kembali berbohong untuk melindungi kebohongan sebelumnya.
Begitu sampai di luar rumah, Rangga langsung membuka ponsel dan mengirimkan pesan.
To: Ay
Otw, kesayangan!
Terkirim!
Rangga langsung melajukan motornya menuju rumah pujaan hati. Namanya Ayu, seorang yang menjadi kekasihnya sejak setahun terakhir. Ayu adalah temannya kekasih Agung, temannya Rangga. Pfft, ribet, intinya Ayu itu kekasih Rangga sekarang.
"Jalan sekarang?" tanya Rangga begitu sampai di kost. Ayu sudah menunggu di depan gerbang dengan tas krem di tangan.
"Iya."
Rangga mengangguk dan langsung menyodorkan helm yang tadi dia gantungkan di motor. Semilir alir malam menemani perjalanan mereka berdua, diselingi percakapan kecil yang ada.
**
"Kalian kenapa sih suka banget nongkrong di MH? Kenapa nggak ke alun-alun aja gitu? Lebih merakyat," tanya Ayu begitu keduanya sampai di tempat parkir. Kafe Madinah Hotel memang bisa dikatakan tempat favorit Rangga dan Agung. Setiap dua lelaki ini bertemu di luar kampus pasti di MH, bahkan mengerjakan tugas sekali pun. Ibaratnya, MH itu adalah rumah kedua mereka.
"Gimana nggak suka di MH, Ay? Kafe herbal, nggak ada minuman alkohol, kopi rendah cafein, semua area bebas asap rokok. Lagian tempatnya segar juga, banyak tanaman. Tuh segarnya sampai sini."
Rangga menjawab sambil memandang cafe yang ada di hadapannya.
"Oh, iya. Ada kabar dari Agung belum, Ay? Tadi katanya udah di rumah Lita, lagi ngadep camer. Kalau mereka belum sampai kita langsung cari kursi aja."
"Sepuluh menit yang lalu dia baru jalan. Kita nunggu berarti."
Rangga mengangguk paham. Karena sudah sampai di pintu masuk, matanya langsung tertuju pada meja di pojok ruangan. Senyum terukir ketika melihat meja itu tidak berpenghuni. Sayangnya, senyumnya terpaksa pudar ketika melihat tulisan reservasi begitu sampai di meja. Huff, padahal ini kan meja favoritnya. Duduk di ujung ruangan tidak menarik perhatian, tetapi bisa memerhatikan semua orang. Posisi yang sempurna, bukan?
Tidak mendapatkan tempat di ujung, akhirnya Rangga memilih meja di depan. Minimal bisa memerhatikan ramainya jalanan di malam yang syahdu.
"Ospek hari terakhir gimana kemarin? Kamu belum cerita," tanya Ayu sambil menunggu pesanan.
"Lumayan," jawab Rangga cepat.
"Lumayan gila maksudnya. Anak baru pada manja luar binasa!" tambahnya kemudian.
"Manja gimana?"
"Udahlah, Ay. Males bahas ospek, ganti yang lain aja. Dosenmu gimana? Udah berumur semua kan semester ini?" tanya Rangga penuh selidik. Dia masih ingat betul dosen Ayu tahun lalu. Dosen matematika bisnis yang baru berusia 26, kalau ibarat mangga sedang manis-manisnya. Dosen yang selalu menjadi topik pembicaraan antara Ayu dan Lita, membuat para lelaki dilupakan.
"Hahaha, iya nih, nggak ada yang bening. Oh iya, Ga, rambutmu kerenan panjang begini. Nggak usah dipotong, ya?"
Tanpa diminta, Rangga langsung mengambil ponsel untuk bercermim. Dia benar tampan dengan rambut panjang atau ini hanya gombalan Ayu?
Ah, sepertinya dia memang tampan dari sananya.
Rangga tersenyum begitu melihat wajahnya di kamera depan. Hal itu membuat Ayu berdecak karena geli.
"Mau pesan minum apa? Biar aku pesenin, takutnya mereka lama," tanya Ayu menghentikan aktifitas Rangga.
"Sama seperti biasa, Ay."
"Kopi Ijen?"
"Yep."
"Nggak kreatif banget pesanannya," jawab Ayu sambil menggelengkan kepala.
"Kan itu minuman favoritmu," jawab Rangga sambil tersenyum manis.
Ayu langsung speechless dan tidak menanggapi gombalan Rangga. Dia memilih untuk memesan minuman.
Tidak lama kemudian yang ditunggu akhirnya datang. Agung dan Lita bergabung dengan keduanya.
"Abis ini mau ke mana?" tanya Lita di sela menikmati makan.
"Karaoke yuk?" usul Agung yang mendapat gelengan dari Rangga.
"Lo kok nolak mulu sih tiap diajak?" protes Agung.
"Takut kalian terpesona. Suaraku kan nggak ada tandingan."
"Iyalah, suara ancur!" timpal Ayu dengan tertawa.
"Ay!" ujar Rangga sambil tersenyum kesal.
"Bener, kan? Kamu kalau ditelepon aku minta nyanyi suaranya malah hancur."
"Nggak ancur, cuma kurang oke."
"Sama aja!"
"Husss, stop! Jadi, mau jalan ke karaoke nggak? Rangga kalau mau jadi pendengar aja boleh kok," tanya Lita menghentikan perdebatan kecil yang ada.
"Ya udah deh, ngikut apa kata kalian."
Rangga akhirnya mengalah. Selesai makan, mereka langsung pindah tempat menuju tempat karaoke terdekat.
**
Sudah hampir satu minggu ini Ayu sulit dihubungi. Pertemuan mereka yang terakhir kali adalah saat malam minggu bulan kemarin di MH. Jika siang alasan sibuk kuliah, malam minggu menginap di rumah teman untuk mengerjakan tugas. Rangga menatap ponselnya miris, pesan line yang sudah dikirim sejak dua jam lalu belum berubah status menjadi read.
Perasaan dia juga kuliah, tapi masih sempat main ponsel. Ck!
"Kantin, Bro?" tanya Agung begitu dosen pengajar ke luar kelas.
Rangga memandangnya sekilas. Hatinya tidak tenang.
"Ke masjid dulu aja, habis itu baru kantin," potong Ilham yang duduk di samping Rangga.
"Kantin dulu aja, lapar! Nanti shalatnya nggak konsen lagi!" jawab Agung memberi alasan.
"Kalau kantin dulu nanti mau shalat malah kekenyangan." Ilham pun tidak mau kalah dan memberikan alibinya.
"Nggak lah, daripada shalat kepikiran makan."
"Shalat itu bukan untuk dinomor duakan."
Rangga yang berdiri menghentikan perdebatan Agung dan Ilham.
"Jadi, mau ke mana, Bro?" tanya Agung kemudian.
"Ikut jin baik," jawab Rangga tenang sambil melangkahkan kaki menuju masjid kampus.
Ilham tersenyum puas karena Rangga menuruti usulnya, sementara Agung dengan sedikit malas memilih mengikuti keduanya.
"Kebaikan memang selalu menang," bisik Ilham setengah menyindir.
Selesai shalat, ketiganya memutuskan untuk makan siang di kantin. Obrolan mereka dimulai dari bola, motogp dan berakhir pada curahan hati masing-masing.
"InsyaAllah bulan depan aku mau taaruf."
"Serius mau nikah semester depan, Ham?" tanya Agung tidak percaya. Bagaimana tidak, bayangan menikah di saat mereka masih kuliah tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
"Yakin, Ham? Emangnya udah siap nikah? Nggak mau pacaran?" tanya Rangga memastikan.
"Sekarang udah nggak jaman pacaran. Pacaran lama ujung-ujungnya nggak nikah juga. Ini juga baru mulai prosesnya, kalau nggak cocok ya berarti belum waktunya nikah."
Jawaban singkat dari Ilham membuat Rangga terdiam. Dia ingat Ayu yang akhir-akhir ini sulit dihubungi. Apakah takdirnya sama seperti yang dikatakan oleh Ilham? Pacaran tapi tidak jadi nikah? Tanpa menunggu lama Rangga mengambil ponsel dan memborbardir bbm Ayu dengan banyak 'Ping!'. Sayangnya nihil, status terkirim, tapi tidak dibaca.
"Bro!" panggil Rangga untuk mengalihkan pembicaraan.
Ilham dan Agung langsung memandangnya penuh perhatian.
"Kira-kira kalau cewek susah dihubungi kenapa, ya?"
"Ngambek!" jawab Agung cepat.
Ilham mengangkat bahu tidak mengerti. Dia buta soal wanita.
"Perasaan terakhir ketemu baik-baik aja. Denger kabar Ayu dari Lita nggak, Gung?"
"Ayu? Nggak dengar apa-apa. Emangnya dia kenapa?"
"Susah banget dihubungi. Ditelepon nggak pernah diangkat. Di-chat pagi baru balas malam, itupun cuma sekali, giliran dibalas lagi dia menghilang. Kemarin mampir ke kos juga sepi."
"Sibuk kali," tebak Ilham sok tahu.
"Sebelumnya sesibuk apa pun juga balas kok. UAS aja masih chat juga."
Rangga mendesah, tidak mendengar kabar dari Ayu ternyata mampu membuatnya tak tenang.
"Makanya, Ga. Ja__"
"Stop! Ceramahnya besok aja, lagi galau ini," potong Rangga cepat ketika Ilham baru akan mulai bicara. Dia tahu betul kalau Ilham akan mulai ceramah panjang soal jangan pacaran. Dia bahkan sampai hafal apa yang disampaikan. Sayang, perkataan Ilham belum mampu mengetuk hatinya.
**
Satu minggu kembali berlalu begitu saja. Ayu masih sama, tidak ada perubahan.
-Di rumah Lita-
Sebuah pesan masuk, dari Ayu sebagai balasan pesannya satu jam yang lalu. Tanpa menunggu lama, Rangga langsung memacu motornya menuju rumah Lita. Pokoknya hari ini dia harus bisa bertemu dengan Ayu. Dia tidak suka diabaikan.
"Ayu nggak ke sini, Ga," jawab Lita ketika Rangga menanyakan keberadaan Ayu.
"Serius, Ta?"
"Ya masa sih aku bohong. Dia nggak ke sini, coba kamu cek ke kostnya."
"Oke," jawab Rangga pasrah sambil menuruni tangga teras.
Cukup tahu saja, seiring jawaban Lita, kepercayaannya akan Ayu langsung turun menjadi 50%. Bagaimana tidak, Ayu tanpa beban telah membohonginya. Penasaran, akhirnya Rangga pergi ke kost milik Ayu.
Cittt!
"Sigh!" kesal Rangga yang terpaksa mengerem dadakan motornya. Bukan karena kendaraan di depannya ugal-ugalan. Hanya saja, pemandangan di depan mata membuatnya cukup syok. Ayu baru saja turun dari motor Ninja setelah sebelumnya duduk manis di belakang sambil memeluk pinggang pengemudi.
Kini, bukan lagi 50% kepercayaannya melainkan 0. Ayu pembohong. Rangga menatap keduanya nanar. Ayu yang mendengar suara motor tidak asing menoleh ke arah Rangga. Dia terlihat salah tingkah.
Tidak, dia tidak boleh terlihat lemah. Dengan gaya sok keren, akhirnya Rangga memacu motor untuk mendekati keduanya.
"Mas siapanya Ayu?" tanya Rangga kepada pengemudi yang baru selesai membuka helm.
Hening.
Satu kebohongan akan mampu membuat kepercayaan yang sebelumnya ada, hilang seketika.
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top