Bagian 16
Syafa tidak bisa menolak ajakan Keyra untuk menemaninya ke pasar Condong Catur. Sejak disibukkan dengan persiapan acara pekan maulid, praktis Syafa tidak terlalu banyak menghabiskan waktu dengan Keyra.
Sahabatnya itu kangen jajanan pasar. Sangat dimaklumi karena Keyra lahir dan besar di Jogja. Keyra pindah ke Jakarta saat kelas 3 SD. Demi Keyra yang manis dan menyenangkan, jadilah Sabtu pagi ini mereka blusukan ke pasar.
"Sya, musim hujan begini jilbabnya nggak cari yang pendekan dikit?" tanya Keyra melihat ujung kain Syafa menyentuh lantai, "nggak takut becek?"
"Berani kotor itu baik," Syafa menjawab dengan potongan iklan detergen yang melegenda, "Key, musim hujan gini itu betisnya nggak adem?" sindir Syafa telak.
Keyra mengerucutkan bibirnya kesal. Iya, sih, dia cuma pakai celana skinny jeans selutut, belum menutup aurat serapi Syafa. Tapi, hatinya sudah lumayan terhijab, kok, dari cowok-cowok yang mengajaknya pacaran. Dia sholat lima waktunya tidak pernah telat. Baca Al Qur'an selalu sempat meski hanya 10 ayat tiap hari. Pada nasehat orang tuanya, dia selalu taat. Banyak lagi kebaikan-kebaikannya. Apa itu semua belum cukup?
"Halaaah... pake monyong-monyongin bibir segala. Udah tahu salah juga."
"Orang kan butuh proses, Sya. Nggak bisa instant," bela Keyra.
"Proses itu berjangka. Ada batas waktunya," balas Syafa telak, "mati itu nggak nunggu kita siap mati."
Keyra mencebik kesal pada Syafa. Satu sisi hatinya membenarkan omongan Syafa dan semua nasehatnya, tetapi sisi yang lain selalu melemahkan tekad untuk menutup aurat. Sisi hatinya yang gelap itu selalu membisikinya dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Dia nanti akan sulit cari kerja, jodohnya nggak bakal keren, rambut ombrenya akan merana di dalam kerudung, baju-baju seksinya akan selamanya menjadi milik lemari. Dia belum rela kesenangannya hilang begitu saja. Akan tetapi, kalo dia mendadak mati? Hiii...
Keyra menghampiri Mio merah milik Intan. Teman sekostnya itu hanya minta kompensasi jenang sumsum, jenang gempol, dan klepon saja sebagai pengganti pertamax.
Syafa membawa dua helm putih berbeda merk. Satu helm milik Intan dan satu lagi milik Sekar. Dia menyerahkan milik Intan pada Keyra.
"Mbaaakkk, aku ti-tip ki-po," Mbak Ila berlari-lari menghampiri mereka.
Syafa mengedikkan bahu. Kepo kok dijual? Ada-ada aja, Mbak Ila.
Keyra menoleh pada Syafa, "Jenang wae yo, Mbak? Utowo cenil?" (Jenang saja ya, Mbak. Atau cenil?)
Mbak Ila menggeleng, "Em-moh. Aku arep ki-po." (Nggak mau. Aku mau kipo.)
"Jadah manten, Mbak?" tawar Keyra.
Mbak Ila menggeleng.
"Ki-po! Ki-po!"
Setahu Keyra, penjual kipo mulai langka. Masa dia harus melototi satu per satu jajanan yang ada? Duh, pasti memakan waktu jika harus mencari kue itu.
"Eeealah, Mbak. Koyo wong ngidam wae," gumam Keyra. (Ealah, Mbak. Seperti orang ngidam saja)
Syafa langsung melihat ke arah perut Mbak Ila.
Ada-ada saja, Keyra, pakai ngatain Mbak Ila kaya orang ngidam.
"A-ku arep ki-po!" Mbak Ila kembali mengulang kalimatnya. Dia sampai lupa menutup mulutnya, ngowoh hingga setitik air liurnya jatuh.
Keyra buru-buru memalingkan wajah sambil menutup mulutnya. Dia Mual melihat adegan di depannya. Hiiih, Syafa kok nggak jijik, ya?
"Iyo, Mbak. Iyo! Mengko tak tumbaske ki-po," (Iya, Mbak, iya! Nanti aku belikan kipo) jawab Syafa tanpa pikir panjang. Hem, padahal wujud kipo saja dia tidak tahu.
Mbak Ila tersenyum hingga matanya menyipit.
"Aku berangkat yo, Mbak?"
Keyra sudah bersiap di atas mio. Mesinnya pun sudah menyala. Syafa membonceng. Dia melambaikan tangan pada Mbak Ila ketika motor yang dikemudikan Keyra meninggalkan halaman.
**
"Dek, habis subuh jangan tidur lagi," tegur Reffi ketika Rangga baru saja keluar dari ruang ibadah.
Dia mengernyitkan dahi tidak mengerti. Hari libur itu adalah waktunya untuk bersantai, dia terbiasa tidur lagi setelah subuh dan baru akan bangun ketika perut keroncongan. Pemalas? Memang.
"Hari bebas, Yah."
"Jam enam kamu antar Bunda ke pasar gih, sekarang kamu mandi."
Rangga menghela napas, padahal dia ngantuk berat setelah semalam bergadang untuk menulis review produk.
"Biasanya juga sama Ayah, kan?" tanyanya memberi alasan.
"Ayah sudah tua, anak sudah gede masa masih harus Ayah yang antar?"
Ah, giliran seperti sekarang saja mengaku tua. Coba kalau lagi maunya berdua sama Bunda, bilangnya mau pacaran seperti tidak ingat umur.
"Kak Didi, deh." Rangga mencoba memberi usul.
"Kakakmu semalam nginep di rumah Eyang. Jadi, mau tidak? Kalau tidak, ya biar ayahmu yang sudah tua ini nganter Bunda."
Reffi tersenyum penuh kemenangan. Biasanya, Rangga akan mengalah kalau dia sudah bicara seperti ini. Dilihatnya Rangga yang kini mengangguk pasrah.
Satu jam kemudian, Rangga keluar dari kamar sambil membawa kunci motor. Dia baru saja mengeluarkan satria-nya ketika Ayah muncul dan langsung memberi komentar.
"Pakai matic aja, Dek. Kasihan Bunda dibonceng pakai itu. Nanti belanjaannya juga susah bawanya."
Errrr, daripada berkomentar kenapa tidak Ayah saja yang jalan, sih?
"Lihat, Bun. Mukanya Adek asem banget," ujar Ayah sambil tertawa.
"Daripada ngomentarin doang, kenapa Ayah nggak ngeluarin motor dari tadi? Dipanasin sekalian gitu," gerutu Rangga sambil memasukkan kembali satria-nya ke garasi dan mengeluarkan motor matic.
Reffi baru saja akan menjawab ketika Rangga kembali berkata. "Ayah udah tua, masa begitu harus Ayah juga? Pasti mau bilang gitu."
"Nah itu tahu."
Bunda menggelengkan kepala melihat kelakuan ayah dan anak. Reffi suka sekali menggoda Rangga hingga anak itu mengomel tidak jelas.
***
Perjalanan dari rumah menuju pasar itu memang tidak jauh. Mereka cukup mengendarai motor sekitar lima menit. Rangga langsung memarkirkan motor dan mengekor kepada bundanya.
"Nggak nunggu di parkiran aja, Dek?" tanya Bunda menawarkan.
"Bosan, Nda. Ikut aja, sekalian biar berguna tangannya buat bawa belanjaan. Memangnya mau belanja apa, sih? Biasanya Bunda suka beli di tempat butuh-butuh."
Butuh-butuh adalah sebutan untuk ibu yang jualan sayur dan lewat di rumah mereka. Ibu itu mengendarai sepeda dengan keranjang di dudukan belakang. Biasanya berisi sayur, lauk, cabe, hingga minyak. Solusi untuk ibu-ibu yang malas ke pasar. Kalau hanya butuh sedikit, lebih enak menunggu butuh-butuh keliling.
"Katanya Ayah pengen nasi gudangan. Daripada bikin sendiri ribet masak sayur yang macam-macam, lebih baik beli saja. Sekalian stok sayur di rumah juga habis, terus mau beli ayam sekalian selagi udah di sini, biar nggak perlu mampir ke pemotongan."
Rangga mengangguk paham. Ayah memang suka sekali dengan nasi gudangan, nasi disajikan dengan berbagai sayur rebus serta ditemani parutan kelapa yang sudah dimasak.
Ayam - cek
Sayur sop - cek
"Itu pada ngantre apaan, Nda?" tanya Rangga ketika melihat beberapa orang berkerumun mengelilingi meja salah satu pedagang. Dia mencoba melihat, tapi terhalang.
"Lah, itu kan lapaknya yang jual nasi gudangan, Dek. Duh, antrinya panjang. Kamu tunggu di sini saja, biar Bunda yang antre," jawab Bunda sambil menunjuk lapak kosong yang kebetulan tidak ada pedagangnya. Tidak lupa menyerahkan tas belanja kepada Rangga.
Lima menit berlalu, Rangga mulai bosan. Dia melihat bundanya masih saja mengantre. Antreannya bukan semakin habis, tetapi sebaliknya, makin panjang. Maklum saja, pedagang itu satu-satunya yang jualan di pasar ini. Bosan menunggu, akhirnya Rangga memutuskan untuk berkeliling. Dia menghampiri bunda untuk ijin sebelum melakukannya.
Aroma yang khas seperti menusuk hidung, membuat Rangga menghentikan langkah. Di sebelah kanan, ada penjual yang menjajakan ikan keranjang di meja kecil.
"Wah, si Putih pasti doyan, ni! Dia aja kalau disambal pakai lombok ijo juga suka," batinnya senang.
Lima ikan keranjang masuk ke tas belanja. Dua jatah untuk si Putih, tiga lainnya nanti biar bunda memasaknya.
Rangga melanjutkan keliling pasar. Dia menghentikan langkah ketika melewati penjual dawet. Siang ketika panas terik, pasti dawet yang didinginkan segar bukan main. Empat bungkus dawet masuk ke tas. Ketika baru akan mulai melangkah, Rangga melihat ibu penjual mie kenyal. Mie pentil atau mie kenyal yang dijual dengan dibungkus daun pisang dan diluarnya dilapisi Koran. Aromanya sungguh mengiurkan, membuat dia kembali menarik uang dari dompet.
Akhirnya, Rangga memutuskan kembali ke tempatnya menunggu sang Bunda. Berkeliling pasar ini membuatnya khilaf, bahkan sate kolang kaling dan satu kilo wortel juga sudah ikut masuk ke tas belanja. Sayangnya, cobaan belum berakhir. Dengan semangat, dia menghampiri penjual kerupuk yang sedang menggelar dagangannya.
"Bu, niki pinten?" (Bu, ini berapa?) tanyanya sambil menunjuk kerupuk pasir. Kerupuk yang berbentuk rantai dan warna-warni itu sungguh menggoda. Rasanya gurih di lidah.
"Limang ewu serenteng, Mas." (Lima ribu satu renteng, Mas)
Mata Rangga langsung berbinar. Lima ribu dapat tiga kantung plastik? Murah sekali, biasa di Ibu butuh butuh satu kantong harga dua ribu, pun dia jarang kebagian karena rumahnya termasuk pinggiran.
"Kalih renteng gih, bu." (Dua renteng ya, Bu)
Diserahkannya uang sepuluh ribuan kepada penjual paruh baya. Dua renteng kerupuk yang berisi enam bungkus sudah berpindah tangan. Rangga meringis, tas belanja milik bunda tidak muat lagi untuk menampungnya.
Bunda terlihat menenteng plastik di dekat penjual nasi gudangan. Rangga langsung menghampiri.
"Udah lama, Nda?"
Bukannya menjawab, Bunda justru sibuk melihat barang belanjaan yang dibawa Rangga. Tas belanjaan yang tadi baru terisi setengah kini sudah penuh, ditambah kerupuk yang ditentengnya.
"Kamu khilaf, Dek?"
Rangga hanya terkekeh mendengarnya.
**
Matahari bersinar malu-malu. Sebagian wajahnya tertutup awan. Namun, Syafa merasakan kehangatannya tetap meliputi bumi hingga ke Pasar Condong Catur. Dia tidak mampu menahan senyum sejak menjejakkan kakinya. Pemandangan lalu lalang para pembeli, ibu-ibu yang mengerumuni seorang pedagang, anak kecil yang menangis meminta jajanan, dan semacamnya itu sangat menarik baginya. Syafa mengeluarkan ponsel untuk mengambil gambar.
"Sya, jangan lupa doa masuk pasarnya dibaca," kata Keyra.
"Hihihi... siap, Nya," sahut Syafa. Dia mulai merapal doa dalam hati. Laa Ilaaha Illallaahu wahdahu Laa Syariikalahu, Lahul Mulku Walahul Hamdu, Yuhyii, Wayumiitu, Wahuwa Hayyun Laa Yamuutu, Biyadihil Khairu, Wahuwa 'alaa Kulli Syai-in Qadiir.
Sahabat Syafa itu lumayan religius. Hanya saja belum berjilbab dan berkerudung. Ibaratnya buku raport, nilai Keyra dibawah KKM untuk masalah itu. Sementara nilai lainnya sudah memenuhi, bahkan ada yang di atas KKM.
Setelah mengingatkan Syafa untuk berdoa, Keyra melesat meninggalkan Syafa yang asyik mencari angle untuk fotonya. Meski dia tidak semahir kakaknya, tapi hasil jepretan Syafa bagus juga, kok.
"Sya, sini! Aku tunjukkin sesuatu," Keyra memanggil Syafa. Mimik Keyra sangat lucu.
"Apaan, sih?" tanya Syafa yang tangannya ditarik Keyra. Mereka ada di hadapan nenek-nenek yang menjual jajanan pasar, "Ini namanya jadah manten."
"Kok namanya lucu. Ada manten-mantennya." Syafa tertawa merasa geli dengan namanya.
"Ini memang jajanan manten, Sya. Kalau kamu dapat suami cowok Jogja, jajan ini bakal dibawanya pas kalian temu manten. Konon pengantinnya biar lengket kaya jadah ini." Keyra menjelaskan singkat. Dia kemudian menyerahkan uang sejumlah lima belas ribu pada penjual kue di hadapannya.
Syafa tergelak mendengar penjelasan Keyra. Filosofinya itu, lho.... Syafa mengambil gambar jadah manten yang unik. Sepintas mirip dadar gulung, tapi tidak bulat. Kue itu dijepit bagian tengahnya dengan tangkai bambu yang ujungnya dikunci dengan potongan kecil kacang panjang.
"Satuannya berapa, Key?"
"Dua ribu. Eh, aku dikasi delapan, lho," kata Keyra bangga diberi imbuh. (tambahan)
"Key, harusnya kamu yang ngasih lebih. Ini malah kebalik."
"Nggak apa-apa, Sya. Si Mbah lagi pingin beramal buat kita," sahut Keyra sambil memasukkan bungkusan jadah manten ke dalam tas baggu yang dibawanya.
Mereka kemudian meninggalkan si Mbah penjual jadah manten untuk mencari titipan Mbak Ila. Syafa mengiyakan saja. Dia kepo dengan wujud kipo. Beberapa penjual jajanan yang mereka datangi tidak menjual kipo. Malah pedagang jenang yang mereka temui. Akhirnya mereka membeli jenang terlebih dahulu. Syafa juga membeli jenang sumsum seperti pesanan Intan.
Saat Keyra masih sibuk memilih jajanan pasar lainnya, mata Syafa tertuju pada objek yang menarik mata. Seorang laki laki dengan topi melintas membawa tas belanja khas ibu-ibu. Lelaki itu berhenti di depan penjual kerupuk dan terlihat berbicara serius.
Wihhh, jarang-jarang ada lelaki mau ke pasar. Mana gayanya nggak cocok pula. Topi yang dipakai secara terbalik itu khas kekinian anak muda zaman sekarang, tapi tas belanjanya? Ibu-ibu banget.
Syafa menyipitkan mata ketika melihat tulisan yang ada di kaos belakang lelaki itu. Dia langsung mengarahkan kamera dan menfokuskan pada tulisan tersebut.
Klik.
- No matter how badass I am, I'm still scared as hell whenever my mom call me by full name.- Shitlicious
Syafa mengamati hasil fotonya. Fokusnya sempurna, tulisan pada kaos belakang lelaki itu terlihat dengan jelas. Ketika Syafa mengangkat wajah, lelaki itu sudah tidak ada di tempat semula. Dia memutar kepalanya karena penasaran.
Ah, itu dia.
Lelaki itu kini terlihat berjalan bersama dengan perempuan yang berkerudung.
Ibunya, kah? Atau istrinya? Tiba-tiba saja Syafa menjadi penasaran.
**
Lima menit kemudian, Rangga dan Bunda sudah sampai di rumah. Reffi yang sedang membaca koran di teras langsung menurunkan korannya begitu suara motor terdengar. Matanya menyipit ketika melihat barang belanjaan yang dibawa Rangga.
"Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalaam. Belanjanya banyak banget, Bun? Kayak mau arisan."
Bunda tertawa mendengar pertanyaan suaminya. "Adek tuh, Yah. Ini belanja cuma setengah kok, sisanya adek semua yang beli. Lihat tuh beli kerupuk aja banyak banget,"
Rangga memamerkan giginya, tidak tahu harus berkomentar apa.
"Tadi ada yang malas-malasan disuruh nganter, kok jadi malah kamu yang belanja?"
"Habis mereka kaya teriak sama adek minta dibawa pulang, Yah. Dikit kok, cuma dawet, mie, kolang-kaling, ikan, sama apa lagi ya tadi?"
"Kerupuk," sahut Ayah menambahi.
Rangga tersenyum membenarkan. "Ah iya, sama kerupuk."
"Eh, adek juga beli wortel tadi buat makan kelinci, Yah. Beli sekilo," tambahnya kemudan.
Ayah menggelengkan kepala dramatis. Sedikit versi Rangga itu sedikit mengerikan.
***
Seorang pemuda menumpang duduk di kursi plastik yang biasa dipakai tukang parkir. Seliweran ibu-ibu membawa belanjaan membuatnya pusing. Aroma parfum dan amis daging membuatnya ingin menutup hidung. Lalat yang beterbangan mencari kesempatan hinggap di makanan. Ugh...
Matanya sudah lelah menatap layar 5 inch di tangannya. Sepagi ini teman-temannya belum banyak yang online. Semalam hujan dan pagi ini libur karena tanggal merah, alasan sempurna untuk berlama-lama bergelung di balik selimut. Pemuda itu mengangkat wajah, mencari keberadaan ibunya di antara para pengunjung. Tidak ada.
Dia mencari posisi nyaman. Kepalanya bersandarkan punggung kursi. Wajahnya menengadah dengan mata terpejam.
"Pak, Pak, Maaf, Pak, tolong motor saya dikeluarkan. Kehalang motor di belakangnya," ucap Syafa sopan.
Pemuda itu bergeming. Panggilan itu bukan ditujukan pada dirinya bukan? Dia tetap saja menutup mata.
"Pak, saya minta tolong," kata Syafa lagi. Dia mengerutkan kening begitu melihat wajah yang tidak asing ada di hadapannya.
Kak Ilham?
Pemuda yang tak lain adalah Ilham membuka mata dan melihat sosok yang mengiranya tukang parkir.
Syafa?
Ilham dengan norak mengucek matanya. Begitu dilihatnya memang Syafa.
"Motor kamu kenapa?" tanya Ilham tenang.
"Kehalang motor di belakangnya," jawab Syafa. Dia meninggalkan Ilham dan melangkah ke arah Keyra.
Ilham mengikuti, "Permisi," katanya pada Keyra.
Praktis Keyra menjauhi motornya. Memberi kesempatan pada Ilham untuk memundurkan Vixion.
"Jazakallah, Kak," kata Syafa.
"Waiyyaki," jawab Ilham pelan.
Dia menatap mio yang dikendarai Syafa sampai hilang dari pandangan. Jadi, Syafa juga suka ke pasar tradisional yang tempatnya bau dan kadang becek? Oh, betapa dia idaman banget.
"Cantik dan sholihah ya, Mas?" Suara ibunya mengejutkan Ilham.
"Siapa, Bu?"
"Halah, pake sok-sokan nanya."
"Ibu sempat lihat dia?" tanya Ilham tidak yakin.
"Ibu ngelihat sejak dia mbangunkan kamu," sahut ibunya.
"Oh," sahut Ilham sangat singkat.
"Mantu idaman," ujar ibunya lagi yang membuat Ilham salah tingkah.
Pada ayah dan ibu, apa pun itu selama tidak maksiat, patuhilah selagi mampu.
TBC
Assalaamu'alaikum. Sekadar mengingatkan, barangkali ada yang belum baca "Di Balik Serenyah Rasa.", di sana ada cerita proses pembuatan SR dan juga jawaban dari beberapa pertanyaan yang tidak terjawab di lapak ini. Buat yang penasaran bisa mampir ke akun kak @niamaharani, ya ^^.
Saran dan kritik untuk cerita ini selalu kami tunggu. Terima kasih. Wassalaamu'alaikum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top