Bagian 1
Ospek lagi. Lagi-lagi ospek. Oke. Siapa takut? Hehehe... Ganbatte! Semangat! Hamasah!
Syafa tersenyum di cermin. Dia sudah membayangkan apa yang akan terjadi pada hari pertamanya. Dia siap. Syafa gitu, lho....
Bismillahitawakalltu 'alallah laa hawla walaa quwwata illa billah.
"Sya... Cepetan! Kalo lama, kutinggal!" Teriakan Keyra merusak ketentraman pagi itu.
"Bentarr...," jawab Syafa tidak kalah kencang.
Syafa muncul di muka pintu kamarnya dengan senyum lebar.
"Maaf, Key."
"Sya... hari pertama disuruh pakai baju putih-putih, kopiah hitam, sabuk hitam, sama sepatu hitam, kan?"
Pakaian yang diminta panitia sama persis dengan seragam anggota paskibra.
"Lha, ini?" Syafa memutar tubuhnya di depan teman sekamarnya.
"Itu gamis, Sya," tegur Keyra.
"Memang." Syafa nyengir. Santai. Tanpa beban.
"Jilbabnya nggak bisa dipendekkin dikit?" Keyra bertanya penuh khawatir.
Kerudung Syafa panjang hingga menutupi bagian punggung dan perutnya.
"Adanya cuma ini, Key. Kerudung ini satu set dengan jilbabnya. Seragam panitia nikahan. Hihihi...."
"Syaa-faa...?" Keyra kehabisan kata. Dia menggeleng tidak percaya, "Aku paham kalau gamis sama jilbab itu harga mati buat kamu. Kamu nggak usaha pinjem gitu?"
"Ralat, Key! Bajuku ini namanya jil-bab. Yang di kepalaku namanya ke-ru-dung. Karena berkerudung, aku nggak perlu pakai kopiah. Oke?"
Keyra bengong. Mau jawab paham, nyatanya tidak. Mau menjawab tidak, pernyataan sahabat antiknya sangat jelas. Duh!
Dia baru tahu kalau jilbab itu nama pakaian yang menutupi tubuh muslimah seperti Syafa. Berarti dia salah selama ini. Kesalahan berjamaah.
"Tentang pinjam-meminjam, aku nggak sempat, Keyra Syantiik...," Syafa menggamit lengan temannya, "semalam Syifa sama mami menahan kepulanganku ke sini. Mereka maunya aku berangkat Ospek dari MH. Mana bisa begitu?"
Hening sesaat.
"Huft!" Syafa meniup kelopak mata Keyra yang tidak berkedip.
"Syafa!" protes Keyra, "Memangnya aku kelilipan? Hah?" Keyra pura-pura marah.
Syafa tertawa. Disusul Keyra, "Makanya jangan bolak-balik bengong."
"Hehehe, iya, iya."
Kedua gadis dengan penampilan bagai langit dan bumi itu berjalan beriringan. Langkah Syafa mampu menyamai Keyra yang memakai rok pendek selutut.
"Innalillah, Sya!" Kaki mereka serentak berhenti, "Kamu liat di sana, gang ini ditutup. Hwuaa..."
"Nggak usah lebay! Sok-sok nangis gitu, Key, buruan aja kita muter. Ayo!"
Seratus meter dari tempat mereka berdiri terdapat kerumunan. Sebuah bendera putih menjadi penanda bahwa ada salah satu penghuni rumah itu yang meninggal. Kerumunan itu adalah kumpulan petakziah.
"Aku nggak tau jalan, Sya. Kita muter ke mana?" Keyra panik, "GPS, GPS, Sya! Eh, gang kecil apa terpetakan, ya?" Keyra ragu dengan usulnya sendiri.
"Keyra, kita ikuti aja anak di depan itu. Dia pakai putih-putih juga, kan?"
"Mana? Mana?" Keyra celingukan.
"Lho, dia nyusup ke mana? Cepet banget?" Syafa mengedikkan bahu.
"Kita bakal telat, Sya." Keyra memasang wajah pasrah.
"Kita nggak akan telat. Optimis, Key. Yuk, jalan cepat lagi! Nah, itu ada maba. Buruan kita ikuti dia!"
"Sya, bertemu orang mati, sepertinya itu pertanda buruk buat kita."
"Ish, apa sih? Hari gini masih percaya takhayul."
Mengobrol sambil berjalan cepat hanya akan menambah banyak energi keluar. Ngos-ngosan.
"Awaasss, Syaaa... ada kucing!"
Seekor kucing kecil berjalan lambat di hadapan mereka. Bulunya putih polos, tetapi terlihat kotor. Hidungnya pinky. Sangat cantik andai bersih. Akan menggemaskan kalau gemuk. Syafa mengangkatnya, membawa dalam dekapan.
"Sya, itu kotor."
"Nanti pulangnya kita mandikan. Yuk!"
"Dia mau taruh di mana selama kita acara, Sya?"
"Sementara dalam tas. Kalau di ruangan, kita biarkan jalan-jalan." Syafa tersenyum bahagia.
***
Ponsel - Cek.
Dompet - Cek.
Lelaki itu bersiul senang, sekali lagi merapikan kuncir rambut di kepala.
"Oke. Ganteng!" ujarnya sambil mengambil ransel yang ada di meja. Matanya langsung membulat ketika melihat jam di dinding. Dia terlambat lima menit dari seharusnya. Karena terburu-buru, hampir saja kakinya tergelincir di anak tangga terakhir ketika turun ke lantai dasar.
"Nda, jalan sekarang, ya!" pamitnya begitu tiba di dapur.
"Iya, hati-hati. Jangan ngebut!"
"Siap, Nyonya! Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalaam."
Usai menyalami Sang Bunda, dia berlari kecil menuju rak sepatu.
"Rangga! Tunggu bentar, Dek!"
Ya, perkenalkan namanya adalah Rangga. Si Bungsu dari tiga bersaudara di rumah ini. Umurnya baru sembilan belas dan masih seorang mahasiswa semester tiga.
"Kenapa, Nda?" tanya Rangga tanpa menoleh dengan tangan sibuk menali sepatu.
"Mampir ke rumah Kak Bila bentar, ya? Kemarin ponselnya ketinggalan. Ini sekalian kamu bawain ikan bumbu kuning kesukaan ayah Masha."
Rangga langsung mendesah. Jam di tangan sudah menunjukkan waktu pukul setengah tujuh. Padahal panitia seharusnya kumpul lima belas menit lebih awal. Sementara perjalanan sampai kampus sendiri butuh dua puluh menit baginya untuk sampai kampus. Itu hitungan jalan lancar tanpa lampu merah yang suka bikin macet di pagi hari. Rumah kakaknya memang searah, tetapi tetap saja tidak akan cukup lima menit kalau sudah bertemu tuan rumah. Bisa dipastikan dia akan terlambat di hari pertamanya menjadi panitia ospek. Arghhh, ini semua karena dia semalam begadang demi mendukung tim bola favorit.
"Udah telat, Nda! Kak Didi aja sebelum kerja suruh mampir ke sana. Atau Kak Daffa nanti biar ambil ke sini." Rangga berkata sambil memasang wajah memelas. Namun, hal tersebut tampaknya tidak berpengaruh untuk bundanya.
"Kakakmu kan baru ke Surabaya. Daffa katanya ada urusan di kantor jadi dia berangkat pagi-pagi. Sebentar aja kok, Dek."
"Sebentar versi Kak Bila sama Masha beda, Nda."
"Rangga."
"Ya udah, sini."
Tidak ingin membuang waktu lebih banyak dengan berdebat, Rangga memutuskan untuk mengambil barang titipan itu. Naasnya, baru saja sampai jalan raya dia sudah disambut dengan kemacetan.
"Tumben macet, Pak?" tanyanya basa-basi kepada pengemudi motor di sebelahnya.
"Ada kecelakaan di depan."
"Sempurna," desisnya.
Satu menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Setelah sepuluh menit, barulah Rangga sampai di jalan yang normal tanpa kemacetan. Sepuluh menit kemudian dia sampai di rumah Bila, kakak pertama yang sekarang sudah berkeluarga.
Pim...pim....
Pim...pim...pimmmmm!
"Sekali aja cukup, Om klaksonnya. Ini tadi Masha baru pakai celana."
Pintu di hadapan Rangga terbuka diiringi kalimat panjang pemiliknya. Bila yang sedang menggendong Masha langsung berjalan menghampiri.
"Ini titipan dari Bunda, Kak. Aku langsung jalan, ya?"
"Maca mau naik motol sama Om, Mei."
Celaka! Rangga langsung frustrasi mendengar kalimat pertama dari keponakannya.
"Besok aja ya, Sya. Om buru-buru mau pergi," rayu Rangga dengan tersenyum manis.
"Mau sekalang," ujar Masha tidak berubah pikiran.
"Sebentar aja, Dek. Daripada dia nangis nggak bisa diam terus besok ngambek sama kamu,"
Rangga pasrah. Masha dengan sepeda motor adalah paket lengkap, nempel kayak perangko dengan amplopnya. Anak ini tidak akan berhenti merengek kalau dia belum membawanya keliling dengan sepeda motor. Akhirnya waktu kurang lebih sepuluh menit terbuang karena ulah Masha.
Suasana di lapangan Universitas Insan Mandiri Yogyakarta terlihat ramai. Ratusan anak baru dengan berbagai atribut warna-warni terlihat di lapangan. Papan nama di dada, ada. Tas dari kantong plastik hitam dan tali rafia, ada. Kepala dengan topi dari daun nangka, ada. Rangga terpaksa berlari ke sana setelah meletakkan ransel. Dia baru berhenti setelah Lisa, rekannya kali ini ada di depan mata.
"Sorry, Lis."
"Bola?" tanya Lisa sambil memutar bola mata.
"Yep."
Rangga terkekeh, tetapi matanya tidak lepas dari sekelompok anak baru di hadapannya. Mereka sedang melakukan cek bekal.
"Traktir aku makan buat ganti rugi," protes Lisa.
"Gampang."
"Warung Steak?"
"Oke."
"Dua porsi?" tanya Lisa dengan mata berbinar. Kapan lagi dia dapat traktiran makanan favorit.
"Asemmm! Satu, duit bulanan kemarin udah kepakai buat ke Dieng sama anak-anak. Aku lagi kere."
Mereka berdua terus berbicara dengan tangan di kantong jas kebesaran kampus. Meski begitu, mata mereka melihat anak-anak yang menjadi tanggung jawab bagi keduanya. Obrolan itu berhenti ketika dua orang mahasiswi baru berlari kecil dan berdiri tepat di hadapan mereka.
"Maaf, Kak. Kami terlambat."
Rangga menyipitkan mata. Di saat dia tadi sudah mengendarai motor dengan kesetanan, bonus lari-lari dari tempat parkir, ternyata ada juniornya yang lebih parah. Sial!
"Kalian nggak punya jam? Ini sudah lewat hampir lima belas menit," tanya Rangga sok galak.
Lisa di sampingnya harus mati-matian menahan tawa mengingat Rangga sendiri baru datang lima menit yang lalu.
"Tadi gangnya ditutup, Kak. Kami nyari jalan, terus nyasar," jawab Keyra mewakili.
"Kalian nggak punya gadget? Sekarang udah jamannya GPS."
"Masalahnya, Kak. Kami itu nyasarnya di gang. Mana muncul di GPS," jawab Syafa membantu Keyra.
Rangga mengangguk paham, benar juga kata gadis ini. Tapi, tentu saja dia tidak mau kalah.
"Kalian seharusnya berangkat lebih pagi."
"Kami sudah jalan pagi. Namanya juga musibah, Kak. Siapa yang tahu kalau di gang itu ada orang meninggal."
Oke, Rangga menyerah. Dia memang tidak bisa menyalahkan orang yang meninggal. Lalu, perhatiannya teralih pada pakaian Syafa. Dia sukses melongo ketika sadar apa yang dikenakan gadis itu. Jadi, baju putih-putih untuk ospek yang dimaksud di sini seharusnya rok dan atasan putih, tetapi gadis di hadapannya berpakaian nyaris sama seperti bundanya ketika akan mengaji.
"Mau ikut ospek atau pengajian?" Rangga menelisik dari atas ke bawah.
Syafa jengah dipandangi begitu rupa. Dia memilih menunduk.
Senior di hadapannya terlalu manis dipasang di sie ketertiban dan kedisiplinan. Wajahnya itu tidak menyimpan kesan sangar, apalagi angker meski rambutnya gondrong dan dikuncir. Memang agak-agak cool... cool gimana gitu. Yang pasti bukan kulkas lah ya...
Tapi ya itu tadi, dia terlalu manis. Jangan-jangan besok malah cewek-cewek ingin telat dan tidak membawa atribut segala rupa demi berhadapan dengan mahluk di hadapannya ini. Hihihi...
Ups, astagfirullah!
Kalau Syifa tahu, dia bakal diceramahi panjang lebar tentang menjaga pandangan.
"Syafa Qonita Adzkia__"
Syafa mendongak. Namanya dieja lengkap.
"Mau ikut ospek atau pengajian?" Rangga bersuara rendah. Datar. Tanpa ekspresi.
"Ospek," jawabnya ringan.
"Panitia mintanya memakai kemeja putih, rok putih, kopiah, sabuk hitam, dan sepatu hitam." Rangga menatap tajam. Kedua tangannya bersedekap. Dia menunggu jawaban gadis yang juga menatapnya tanpa takut.
"Allah yang meminta tiap muslimah menutup auratnya dengan jilbab dan kerudung. Pakaian saya ini namanya jilbab. Yang menutupi kepala saya namanya kerudung."
Hemm, berapa orang lagi yang harus diberitahunya tentang jilbab dan kerudung sebagaimana pengertian di dalam Al Qur'an. Sepagi ini sudah dua orang. Keyra dan senior di hadapannya.
"Saya sudah tahu perintah menutup aurat. Tidak bisakah Nona Syafa berpakaian seperti kakak panitia ini?" Rangga menoleh pada Lisa. Outfit of the day Lisa, celana skinny jeans, kemeja lengan panjang, dan pashmina berlilit-lilit yang tidak jelas lilitannya.
"Yang dipakai Kakak Cantik itu memang betul sudah menutup aurat. Tapi, pakaian seperti itu tidak untuk dipakai di luar rumah. Seharusnya Kakak Cantik masih melapisinya dengan jilbab seperti yang saya pakai ini. Jilbab itu menurut Al Qur'an di surat Al Ahzab__"
"Stop, stop, stop! Tidak usah berceramah." Rangga lumayan stres menghadapi gadis bernama Syafa ini.
Syafa tidak terintimidasi. Dia tetap tenang dalam situasi yang seharusnya orang lain panik. Minimal tertekan dan gugup.
"Oke, kamu dihukum karena tidak mematuhi aturan. Sebelum itu, sekarang keluarkan barang isi tas kalian," putus Rangga pada akhirnya.
Selesai berdebat masalah baju, Rangga beralih untuk cek barang yang dibawa dua gadis telat ini. Dia terus memerhatikan Syafa dan Keyra yang langsung berjongkok untuk mengeluarkan isi tas masing-masing. Saat itu makhluk kecil dan berbulu ikut keluar.
"KUCING!" teriak Rangga sambil mundur beberapa langkah. Tidak, dia tidak takut dengan hewan berbulu itu, hanya saja sedikit syok dengan penampakannya sekarang di tempat yang tidak tepat.
Keyra mengintip ke arah Rangga yang masih kaget. Jantungnya berdetak lebih cepat. Aish, ini semua karena ide gila Syafa. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Sementara di sampingnya, Syafa memasang wajah tidak bersalah. Bukan salahnya kalau si kucing ternyata ingin eksis juga.
Sadar dirinya mulai menarik perhatian maba, Rangga langsung mengganti ekspresi dengan gaya cool. Dia berjongkok dan mengambil kucing putih itu tepat dengan menarik kulit di atas leher.
"Kamu pikir ini kebun binatang? Kenapa bawa kucing?" tanyanya dengan galak sambil mendekatkan kucing itu ke depan Syafa.
Bukannya takut, Syafa justru meringis ngeri karena kasihan dengan kucing yang ada di tangan Rangga. Tangannya sudah gatal karena tidak tega. Akhirnya dia mengambil kucing itu dan mengusap kepala makhluk berbulu dengan pelan.
"Kasihan, Kak. Tadi dia tersesat di jalan."
Ya, Tuhan! Rangga langsung memijit kepalanya. Hari pertama menjadi panitia yang luar biasa. Stok sabarnya lama kelamaan semakin menipis. Dia menggelengkan kepala, tidak percaya atas sikap santai dari Syafa.
"Kenapa tidak sekalian ayam tetangga dibawa?" gumamnya pelan.
TBC
Assalaamu'alaikum, teman-teman semua.
Selamat datang di lapak baru kami, ya.
Cerita ini hasil dari kerjasama saya bareng Kak niamaharani . Tahu kan Kak Nia? Itu lho, penulisnya QWS - Quinsha Wedding Story. Kalau belum kenal, bisa kenalan dulu. Kalau belum pernah baca ceritanya, bisa mampir ke lapak sebelah :) .
Untuk kelanjutan SR ini InsyaAllah akan tetap bisa disimak di lapak ini. Di tempat Kak Nia ada juga lapak baru ya judulnya 'Di Balik Serenyah Rasa', bahasa kerennya BTS. hihi..
Baiklah, kritik dan saran untuk cerita ini selalu kami tunggu.
Nb. Ini timeline-nya ketika Masha baru 3 tahun dan belum punya adik.
Wassalaamu'alaikum.
♥♡
Alyaaa & Kak Nia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top