02

"Sepertinya salah satu dari kalian harus pindah sekolah." Ujar Seungwan yang sedari tadi duduk di kursi kemudi mobil yang berjalan dengan perlahan dan sesekali berhenti karena padatnya jalanan kota pagi hari ini.

"Kenapa?" Tanya Yeri.

"Sopa dan hanlim itu sama sama jauh, jika kalian satu sekolah setidaknya kalian tidak menyiksa ku yang harus mengemudi."

"Lagipula kenapa kakak tiba tiba mau mengantarkan kami?" Tanya Sooyoung "Biasanya juga menolak."

Seungwan mendengus kesal "Lalu aku harus diam dirumah seperti pengangguran?"

"Apa yang salah dari pengangguran? Kak Irene juga selalu diam dirumah setiap harinya dan dia tetap terlihat keren." Sahut Sooyoung.

Yeri yang duduk disamping Sooyoung dikursi belakang tiba tiba mendekatkan mulut nya ke telinga sang kakak "Jadi kak Irene pengangguran?"

Sooyoung mengangguk lalu menatap Yeri "Baru tahu?"

"Heol, selama ini ku kira kakak ku seorang CEO." ujar Yeri membelalakkan matanya tak percaya.

"Lalu kenapa kakak tidak pergi ke rumah sakit?" Lagi lagi Sooyoung bertanya.

Tapi Seungwan diam tak menjawab, membiarkan Sooyoung berdecak sebal dibelakang sana.

"Lama lama dia mirip seperti kak Irene," lirih Sooyoung "Menyebalkan."

Tak lama kemudian setelah mereka melewati kemacetan dijalanan akhirnya mereka sampai di sekolah Sooyoung.

"Annyeong!" Sooyoung melambai lambaikan tangan nya pada kakak dan juga adiknya yang berada didalam mobil "Jemput pukul 3 ya! Jangan telat!"

"Minta jemput saja pada Seulgi!" teriak Wendy yang wajahnya terlihat dari kaca mobil "Sudahlah, kamu bisa telat! Jangan buat ulah disekolah! Belajar yang betul!"

Setelah itu, dia menyalakan mesin mobil nya untuk meninggalkan kawasan sekolah Sooyoung dan pergi mengantar Yerim ke sekolahnya.

Namun suasana didalam mobil kini sedikit berbeda, Seungwan dan Yeri itu tidak cocok untuk berada disatu tempat yang sama.

Yeri bukanlah Sooyoung yang mudah berinteraksi dengan semua orang. Bahkan berbicara dengan kakak nya sendiri pun dirinya perlu memikirkannya berulang kali.

Dan disisi lain Seungwan hampir mirip seperti Irene, jarang sekali berbicara, selalu terlihat acuh dan tidak peduli dengan semua hal yang ada disekitarnya. Ditambah ekspresi datar terkadang memberi kesan angkuh bagi mereka sehingga membuat orang lain enggan untuk sekedar mendekatinya.

Termasuk Yerim sendiri, entah mengapa dirinya sulit sekali untuk memulai interaksi dengan mereka yang terkadang lebih suka mempertahankan keheningan disekitar.

"Kenapa?"

"Huh?"

"Kamu menatapku sedari tadi, ada apa?"

Sedikit terkejut karena Seungwan ternyata menyadari Yerim yang menatapnya dari belakang.

Sesaat dirinya terdiam, namun didetik selanjutnya terlintas sebuah pemikiran untuk menanyakan satu hal tentang pembahasan mereka tadi pagi.

"Bisakah aku bertanya? Kenapa aku tidak boleh pergi ke rumah sakit?" Tanya Yerim.

Awalnya Wendy sedikit bingung untuk menjawab pertanyaan Yeri karna Irene telah mewanti-wanti semua orang agar tidak bicara apapun tentang rumah sakit dan apapun yang berkaitan dengan orang tua mereka, terutama sang ayah.

Yeri hanya tau bahwa ayah nya sakit parah hingga harus menetap dirumah sakit dalam waktu yang sangat lama untuk menjamin kesehatan nya.

Padahal hal itu diperuntukan untuk keselamatan mereka semua termasuk Yerim dan yang lain.

"Bukankah kak Irene sudah mengatakan bahwa kamu harus pergi ke sekolah? Jika kamu membolos, mungkin dia tidak akan membiarkan mu pergi ke sekolah lagi untuk selamanya. Jadi lebih baik dengarkan apa yang dikatakannya." Sahut Seungwan.

Selalu seperti ini. Seharusnya Yeri tidak menaruh harapan pada Seungwan dari awal.

Sulit memiliki saudari yang sudah jauh lebih dewasa darinya. Mereka semua hanya memikirkan dirinya masing masing tanpa peduli apa yang dirasakan oleh nya.

-

Tap

Tap

Tap

Suara langkah kaki terdengar begitu jelas di lorong rumah sakit yang sepi nan sunyi, agak menyeramkan tapi setidaknya Irene tidak diganggu oleh pasien pasien yang memiliki keterbelakangan mental yang bisa menarik nya secara tiba tiba, atau meneriakinya seolah dia adalah penjahat.

Irene bertemu dengan pria tua yang mengenakan pakaian dokter saat dia memasuki salah satu ruangan yang telah ditujukan oleh security.

Selama kurang lebih setengah jam dia duduk dihadapan dokter yang memberi penjelasan mengenai kondisi sang ayah, sebenarnya gadis itu tidak benar benar mendengarkannya dia hanya diam dan menunggu pria tua itu berhenti mengeluarkan kalimat kalimat dari mulutnya.

"Gurrae," Irene menarik kertas yang ada dihadapannya lalu menandatangani nya. "Lain kali, tidak perlu menjelaskan sebegitu detailnya, cukup beri aku bolpoin dan semuanya selesai."

Irene menyodorkan kembali kertas yang sudah ia tanda tangani, "Ini, Aku mau pulang."

"Kamu tidak ingin melihat keadaan ayahmu?" Tanya dokter Lee.

"Tidak perlu, aku tahu keadaannya selalu buruk." Sahut Irene. "Satu lagi, dia tidak perlu tahu saat ada salah satu dari kami datang kemari."

Pria tua itu hanya diam dan mendengarkan segala hal yang dibicarakan oleh Irene, dia mengerti kenapa gadis itu seperti ini.

Jika orang lain mungkin melihat Irene sebagai gadis kurang ajar tapi mereka tidak melihat apa yang telah terjadi padanya. Irene hanya ingin menutup lukanya.

"Gurrae, hati hati dijalan salam untuk adik adikmu."

Tanpa membungkuk hormat Irene berjalan begitu saja meninggalkan ruangan sekaligus rumah sakit jiwa ini.


- F -

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top