5. Sudah Terlanjur

Minara mengirimi pesan kalau kereta dia sudah hampir memasuki Jakarta, saat gue masih harus duduk anteng di depan Windu. Aduh ini orang, bikin undangan aja ribet banget, sih!

"Jadi gimana, pak? Mau pake smooth canova paper yang terkesan formal atau fancy paper saja biar kesannya santai dan casual?" Gue memberanikan diri bersuara karena sudah lebih dari tujuh menit, Windu cuma bolak-balik sample kertas yang gue bawa dari kantor.

Pria itu gak sedikitpun merespon ucapan gue. Bangke memang! Akhirnya, dengan sedikit mengurangi kesopanan, gue mengambil ponsel dan membalas pesan Minara. Meminta adik gue untuk menunggu di stasiun sampai gue datang menjemput.

"Kamu ada ketemu customer lagi?" Alih-alih menjawab, Windu malah tanya begitu saat melihat gue yang sibuk banget sama ponsel.

"Eh, enggak, Pak." Gue menggeleng. "Schedule Feby hari ini cuma ke tempat Bapak, kok."

Windu mengangguk sekali, lalu kembali menekuri buku berisi sampel kertas itu. Hening lagi sampai tujuh menit kemudian. "Smooth canova mau saya pakai untuk pembuatan kartu ucapan terimakasih kepada para tamu VIP acara gathering nanti. Sedang undangan, saya tetap kurang cocok dengan fancy paper. Jadi, undangan disamakan saja dengan model tahun lalu. Pakai board dengan art paper yang dilaminating doff."

Nyesel gue bawa satu paperbag gede berisi ribuan sample kertas. Setengah jam cengok nemenin ini orang lihat-lihat tapi akhirnya pilihan jatuh kayak tahun lalu. Mau misuh gue, boleh gak sih? Tapi ... demi omset, sekali lagi, gue mengukir senyum ... palsu. "Oke, Pak. Berarti ini Feby catat ya pilihan bahan yang Bapak putuskan pagi ini. Untuk design-nya, bagaimana? Mau kirim via email atau ..."

"Email saja," sela dia cepat. "Sebelum kamu sampai kantor, saya pastikan design itu sudah sampai di email kamu."

Gue mengangguk setuju aja. Iyain aja biar cepet kelar. "Baik, Pak. Ada lagi yang bisa Feby bantu?"

"Sementara rasanya itu dulu. Tapi mungkin saja, besok saya bisa minta kamu untuk datang lagi kesini."

"Aduh, maaf Pak. Kebetulan besok Feby ijin cuti satu hari. Kalau memang ada lagi yang bisa Feby bantu terkait kebutuhan cetakan Bapak, sekalian sekarang saja." Itu lebih efisien menurut gue. Mending nyuruh Minara nunggu rada lama di Gambir daripada cuti gue besok gagal gara-gara makhluk Tuhan yang satu ini.

Windu tampak menyernyit sebelum dia bertanya, "Kamu cuti apa?"

Kepo! Tadinya gue gak mau jawab. Tapi ... "Adik saya baru sampai di Jakarta, Pak. Besok saya mau temani dia belanja. Mumpung lagi event Jakarta Great Sale. Tapi kalau memang besok urgent banget, ya Feby usahakan mampir sini untuk bantu Bapak. Tapi Feby gak janji loh ya ..."

Sekarang dia malah senyum tipis sambil mengangguk seakan paham sama kesibukan gue. "Lusa saja kalau begitu. Usahakan lusa kamu bisa datang kesini karena saya mau memilih beberapa barang untuk dijadikan souvenir premium."

"Memangnya kalau sekarang kenapa, Pak?"

"Saya belum kepikiran mau buat apa. Tim juga masih cari inspirasi untuk design souvenir tersebut."

Lah, ide aja masih belom ada, kenapa pede banget nyuruh gue dateng lagi besok atau lusa? Ini Ferguso emang rada aneh. Gue udah bilang, bukan sih, kalau ini orang nyebelin? Satu doang yang bikin gue masih bertahan mau ngeladenin dia. Orderan dari perusahaan ini emang gak main-main jumlahnya.

"Oke, terserah. Feby ikut ritme Bapak saja. Mumpung lagi sepi panggilan," jawab gue mencoba mencairkan emosi yang udah mau meledak. Gak tau kenapa, bawaanya kesel aja kalau urusan sama ini orang. "tapi kalau meeting Feby tiba-tiba padat, ya ... mohon pengertiannya ya Pak." Gue cengengesan sedikit sambil membereskan puluhan buku sample kertas ke tempat asalnya lagi. "Feby pamit undur diri. Silahkan hubungi Feby kalau ada sesuatu yang mendesak."

Ponsel gue bunyi dari dalam tas. Gue langsung pamit lalu berjalan cepat menuju lobby dan parkiran mobil. Minara pasti udah sampe Gambir ini. Saat memasuki lift, gue mengambil ponsel itu dan ternyata, nama Prabu yang tertara sebagai penelepon sesaat lalu.

Gue menghela napas. Prabu. Sejak hari itu, hubungan gue sama dia memang ... ada peningkatan. Ini sudah dua minggu sejak Prabu meminta bertemu ibu dan bapak. Sampai sekarang pun, gue belum menjawab kapan keluarga dia boleh main ke kota kelahiran gue. Kerumah kami lebih tepatnya. Buat gue, ini tuh nakutin. Oke, gue memang suka sama dia dari dulu. Tapi, cinta yang mudah terbalas entah mengapa terasa janggal buat gue. Karena setau gue, jangankan hubungan cinta-cintaan, cari kerja dan jadi sukses aja gak ada yang instan dan sesuai dengan kemauan kita. Pasti ada perjuangan dan sesuatu yang membutuhkan kesabaran itu sendiri.

Karir gue ini contohya. Gak ujug-ujug gue bisa jadi marketing dengan total komisi dan gaji sampai dua digit. Padahal gue cuma lulusan SMA. Gue bisa begini karena sebelumnya, gue adalah admin merangkap customer service yang dibiasakan bertemu orang atau tamu lalu dipaksa untuk bisa berbahasa inggris secara otodidak. Nah, perjuangan dan hal-hal yang membutuhkan kesabaran dan tekad itulah yang bikin gue bisa beli Brio bekas dan punya tabungan. Itupun, takes time sampai delapan tahun gue merantau di kota ini. Plus pake trial dan eror pula. Gak munafik, gue pernah melakukan beberapa kesalahan dari yang konyol sampai yang fatal.

Gue memasuki mobil, menduduki kursi kemudi, menutup pintu lalu ... menghubungi Prabu. "Ya, Mas?" sapa gue saat panggilan gue sudah tersambung. "Yah ... Feby mau jemput Minara di Gambir habis itu mungkin kita mau langsung ke Grand Indonesia atau Senayan. Pokoknya mau window shopping langsung." Gue menjelaskan alasan penolakan gue terhadap ajakan makan siang dia. "Jangan sekarang, ya. Lain kali saja Mas ketemu Minara. Feby cuma gak mau ... bikin heboh," ujarku beralasan saat menolak permintaan Prabu untuk makan malam bersamaku dan Minara sepulang dia kerja nanti.

Dari seberang sana, Prabu masih membujuk gue untuk segera menjawab kapan keluarganya bisa berkunjung kerumah dan melakukan perkenalan. Prabu berkata, bahwa dia serius untuk berhubungan dengan gue. Dia serius, sedang gue ... aduh, sumpah nyesel ngomong sembarangan di tempat umum. Tau, harusnya gue seneng karena gue dikejar sama cowok yang gue suka. Tapi ... gue cuma bingung harus bagaimana menyikapi semua ini.

Gue tersenyum saat akhirnya Prabu mengalah dan memberikan gue waktu lagi untuk menyiapkan hati. Dia juga bilang gak akan menganggu quality time gue bersama Minara. "Terimakasih ya, Mas." Suara gue bahkan maniiiss banget saat mengakhiri obrolan kami. Gue bahkan udah gak manggil dia 'Pak' lagi. Prabu minta dengan tegas ke gue, untuk manggil dia 'Mas' kecuali waktu kita lagi di Binara Mining. Okelah, gak masyalah!

******

"Minah!" Gue berjalan cepat menghampiri bocah yang mukanya asem banget gue panggil begitu.

"Nara, Mbak ... Naaarraaaaaaa." Dia ngeralat panggilan yang gue teriakkan barusan.

Gue ketawa lantas mengajaknya segera memasuki mobil. Adik gue ini, gak pernah bawa tas besar apalagi koper kalo ke Jakarta. Biasanya, dia akan memakai baju gue. Jadi, di tas slempang yang dia pakai sekarang, cuma ada beberapa pakaian dalam dia, dompet, ponsel dan skin care.

"Langsung ke Mall?" tanya gue dan dia mengangguk antusias. "Berarti sekalian makan siang disana aja, ya," ajak gue dan sekali lagi, dia mengangguk menyetujui apapun rencana gue untuk hari ini.

"Mbak, tapi makan ayam yang di bumbuin pedes terus pake saus keju itu, ya," pinta Minara saat mobil gue udah berjalan menuju slaah satu mall yang menjadi list hunting diskonan kita.

"Kenapa, tumben pake request. Biasanya makan hokben aja kamu oke."

Minara tampak ragu ingin menjawab namun setelah beberapa saat akhirnya ia bersuara. "Itu ... aku sama Mas Sadam pengen coba buka usaha kuliner. Kalau memang jadi menikah, kita mau buka kafe kecil-kecilan yang jual ayam pake saus keju itu sama thai tea. Kayaknya ngehits banget menu itu, Mbak."

"Oh ...," respon gue enteng. Padahal, ada bersitan rasa yang entah kenapa sulit gue gambarkan. Gila, disebelah gue bocah dua satu tahun dan dia sudah berfikir beberapa langkah di depan gue. Menikah, membuka usaha bareng suami dan gue yakin, mereka pasti punya impian lainnya yang gak mereka ucapkan ke orang lain. Sedang gue, boro-boro menata masa depan. Menerima Prabu aja, gue masih maju mundur kayak orang tolol. "Nanti kita cobain Wings Top sama Richeese Factory aja kalo gitu. Kalau Thai tea, dimana-mana banyak. Bahannya juga gampang carinya."

Minara tampak tertarik dengan informasi yang keluar dari mulut gue. "Ah, masa Mbak? beda lho rasa thai tea itu. Bukan teh kayak yang di jual di pasar."

"Ya iya lah! Namanya juga Thai tea. Ya berarti produk Thailand." Gue tertawa dong denger omongan polos adek gue. "Beli online banyak. Sukalapak, Tokosedia, Mitradagang, Shopai, dimana-mana ada. Tinggal kita yang cari tau, campuran susu dan creamernya gimana biar rasa Thai tea itu enak."

"Jadi?"

"Jadi ya kita jajan Thai tea dan cobain beberapa merek minuman itu yang kita temui nanti. Terus kamu pikir deh, kira-kira komposisinya gimana. Aku kurang paham kalau disuruh nilai kuliner-kuliner gitu."

Sekarang giliran Minara yang tertawa. "Iya, percaya. Mbak Feby mah yang penting kenyang dan murah. Rasa nomor dua."

Gak berselang lama mobil gue sampai di salah satu mall terkenal kota ini. Spanduk-spanduk bertuliskan Jakarta Great Sale membentang dimana-mana. Minara, tidak pernah absen mengikuti program ini. Setiap gue kasih info tanggal event belanja ini, dia langsung booking tiket dan pergi ke Jakarta.

"Bawa uang berapa kamu?" tanya gue saat kami sudah memasuki mall.

"Lima belas juta, Mbak. Tapi Mas Sadam bilang mau nambahin kalo misalnya kurang."

"Dapet duit segitu dari mana?"

Minara tersenyum bangga. "Bonsai, dong. Ada hotel bintang lima Solo yang beli tiga bonsaiku seharga sepuluh juta semua. Sisa lima juta ya, simpenan modal dari bikin bolu."

Gue mengangguk aja mendengar penjelasan Nara. Jangan kira dia akan menghabiskan segitu banyak uang untuk dirinya sendiri. Lima belas juta yang akan dia habiskan ini, nantinya akan berkembang menjadi tiga puluh juta. Karena, tujuan dia belanja adalah, membeli barang bermerek dengan harga miring dan menjualnya di kampung dengan harga normal atau diskon dua puluh persen saja. Kami akan memfoto dulu produk-produk yang potensial laku di pasaran kota kami, lalu ia akan menawarkan pada anggota grup whatsapp yang sudah dia buat khusus untuk orang pecinta barang bermerek.

Minara bisa menjalani bisnis ini karena dia memberikan sistim pembayaran yang relatif mudah. Meski dia jual dengan harga normal atau dia diskon sedikit, sistim lima sampai enam kali cicilan tetap mampu membuat dagangannya ini laris manis. Sudah gue bilang kan, anak-anaknya ibu bapak gue lebih demen cari duit daripada sekolah tinggi.

Setelah memasuki beberapa gerai dan mengambil gambar produk pilihan, kami langsung menuju restauran ayam yang Minara ingin coba itu. Sekalian, dia mengirim gambar di grup untuk ditawarkan. Barang kali ada yang bisa kami beli saat ini juga.

"Owh ... aku ngerti." Minara berucap setelah mencicipi salah satu menu favorit di restaurant ini. "Ini tuh gak susah-susah banget kok bikinnya. Semua pake bumbu jadi. Saus tomat dan cabai, cabai bubuk, bahkan saus kejunya aku yakin sistesis. Mas Sadam punya banyak kenalan pemilik home industri saus-saus ini. Dia juga banyak didatengin sales pabrik bahan makanan. Aku bisa minta sample kalau mau coba-coba bikin."

"Pacaran sama anaknya juragan frozen food, enaknya gini ya, Min?" tanya gue seraya mengunyah porsi gue.

Minara tersenyum malu-malu. "Ya ... enggak juga sih, Mbak. Kebetulan saja. Mas Sadam punya banyak kenalan yang berhubungan dengan bisnis keluarga dia. Sedang aku, suka masak. Gak ada salahnya, kan? Lagipula, ini juga belum tentu terealisasi. Kafe ini benar-benar akan dibuat kalau kami menikah sedang Ibu saja ..." dia tidak melanjutkan ucapannya dan memilih menggigit ayamnya lagi.

"Gak usah pikirin Ibu. Gue ikhlas kok kalau dilangkahi. Kapan lagi kamu dapat pria kayak Sadam. Baik, sholeh, keluarganya mapan, dianya juga mapan, dan ... cinta sama kamu sejak kamu SMA."

"Tapi ngelangkahi Mbak Feby itu saru banget bagi Ibu, Mbak."

Gue menghela napas. "Ibu kelamaan hidup di kampung sih."

"Ya ... bukan salah ibu juga tapi," bela Nara. "Nara paham kok kenapa Ibu berfikir begitu. Jadi, apapun keputusan Ibu nanti terhadap lamaran Mas Sadam, aku terima saja."

Aduh ... ini anak kenapa jadi begini. Bukannya cinta dan hubungan itu harus diperjuangkan? Kenapa mudah pasrah hanya karena gue yang belum juga punya pasangan?

"Feby?" Gue menoleh pada asal suara dan seketika terperanjat saat ternyata ada Shinta dan mamanya di hadapan gue saat ini.

"Eh, Mbak Shinta, tante ..." Gue berdiri lantas menyalami mereka. Minara meski tampak bingung, tetap mengikuti gue menyapa dan menyalami dua wanita ini.

"Ini siapa?" tanya mama Prabu usai bersalaman dengan Nara.

"Adik Feby, tante. Minara namanya."

Mama Prabu mengangguk lantas duduk di meja gue setelah gue persilakan. Padahal cuma basa-basi, eh mereka malah oke untuk makan disini juga.

"Prabu udah bilang belum, kalau tante mengajak dia untuk mengunjungi orang tua kamu akhir bulan ini?"

Mata gue terbelalak, wajah Nara penuh tanda tanya dan dia kerap menoleh ke arah gue dan mama Prabu. "Ehm ... Mas Prabu ada ngomong mau kerumah Ibu Feby. Tapi ..."

"Prabu siapa Mbak?" Minara menyela.

Mampus. Gue jawab apa ini?

"Loh, kamu belum tau? Feby dan Prabu ...," ucap mamanya Prabu dan itu terdengar horor di telinga gue. Anjay, muka gue kayak pucat seketika. "ada hubungan spesial. Kami bahkan ingin berkunjung ke rumah kalian untuk melamar kakak kamu."

Mati gue. Pelan, gue menoleh ke arah Minara dan mata gue terbelalak lagi saat mendapati adik gue yang doyan duit ini, lagi memegang ponsel dan menghubungi ibu. Tamat. Tamat riwayat gue.

"Halo Bu," ucap Minara antusias di ponselnya. "Iya sudah sampai Jakarta ini. Sudah sama Mbak Feby dan kami sedang makan siang bersama calon mertua Mbak Feby." Jantung gue kayak beku seketika membayangkan apa komentar Ibu dari seberang sana. "Iya. Katanya akhir bulan ini keluarga Mas ... siapa tadi ya, oh Prabu. Keluarga Mas Prabu mau kerumah kita Bu akhir bulan ini. Ibu siap-siap ya."

"Minah ...," panggil gue lirih ke Nara dengan colekan di paha adik sialan gue ini. "Jangan telepon Ibu dulu!" bisik gue lagi tapi ini anak kayak gak punya kuping. Gak mendapat tanggapan apapun dari juragan kredit tas branded ini, gue akhirnya menoleh ke mama Prabu yang wajahnya tampak antusias melihat Nara yang masih bicara pada ibu.

"Iya. Nara sampaikan ke tantenya ini nanti. Kalau Ibu dan Bapak tangan terbuka menyambut mereka. Iya ... iya Bu. Assalamualaikum." Percakapan terhenti lalu wajah Minara tersenyum sopan dan lembut pada mamanya Prabu. "Mohon maaf tante, kata Ibu tadi, kami sekeluarga akan menunggu kedatangan keluarga Mas Prabu. Hal baik tidak boleh ditunda." Minara yang sok tua ini tiba-tiba mengambil struk pembayaran makan siang kami dan mencatat nomor ponsel ibu dan bapak disana. "Ini nomor ponsel Ibu dan Bapak kami, apabila tante ingin bicara pada mereka. Tadi Ibu pesan begitu. Mohon maaf kalau kami agak lancang."

"Alhamdulillah deh. Soalnya kasihan Prabu kalau kelamaan sendiri. Gak baik juga kan, hubungan tanpa status resmi kelamaan?"

Minara mengangguk antusias menyetujui pernyataan mamanya Prabu ini. Entah gimana, setelah Shinta kembali dengan satu baki makanan untuk mereka berdua, minara dan mama Prabu jadi akrab dan luwes gitu mereka ngobrolnya. Shinta bahkan ikut masuk dalam obrolan mereka dan memberikan Nara rekomendasi merek tas dan dompet yang murah tapi bagus.

Di kursi ini, gue cuma iya-iya aja seakan nyambung sama obrolan mereka. Padahal, otak gue rasanya zonk banget apalagi waktu ponsel gue bunyi dan ada pesan dari ibu di sana

Ibu : Kowe mau diem-diem pacaran? Dilamar tapi gak kasih tau ibu.

Ibu : Mau ibu jewer kowe?

Ibu : Sebelum keluarga pacarmu datang, kamu harus pulang duluan. Awas kalo disana macam-macam ya!

Ibu : Jangan coba-coba zina. Bahaya dan dosa.

********












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top