5 | Luna

Setelah bertemu Mas Elio di pernikahan Teh Mika, aku terus memikirkan tawaran cowok itu. Jujur, aku agak ragu untuk menggunakan jasa fotonya. Memangnya boleh ya menyewa jasa profesional tanpa bayaran?

Akhirnya, aku menceritakan semuanya pada Bunda. Beliau justru senang ada orang yang mau membantu kami. Sebagai gantinya, Bunda mengusulkan untuk memberikan beberapa jenis kue basah untuk Mas Elio. Memang, kami jadi tidak mendapat profit, tetapi Bunda bilang tidak ada salahnya membalas kebaikan orang lain.

Yang jadi masalah, aku tidak punya energi untuk keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain, apalagi seseorang yang baru kukenal. Waktu pernikahan Teh Mika saja aku memaksakan diri demi membantu Bunda. Membayangkan harus bertemu orang asing rasanya melelahkan.

Karena Bunda memaksa, akhirnya aku menghubungi Mas Elio. Ia memintaku untuk membawa produk yang akan difoto ke home photo studio-nya di daerah Buah Batu. Karena keterbatasan ongkos, aku pergi ke sana menggunakan ojek online, dan tentu saja mengandalkan promo aplikasi.

Sesampainya di sebuah kompleks perumahan, motor yang kukendarai berhenti. Kini, aku sudah berada di depan rumah dua lantai dengan arsitektur bergaya minimalis. Aku mendongak. Rumah itu besar sekali jika dibandingkan dengan rumahku. Melihatnya saja sudah membuatku keder.

Mas Elio ternyata orang yang cukup berada, ya? Bagaimana jika aku salah berbicara atau berbuat sesuatu yang aneh? Atau ... bagaimana jika Mas Elio meremehkanku?

Alhasil, aku hanya mematung di sana. Tiba-tiba saja Mas Elio keluar rumah, seolah-olah ia tahu bahwa sejak tadi aku sudah di sini.

"Ibu tadi ngeliat CCTV, ada cewek bawa-bawa boks kontainer makanan di depan rumah. Aku langsung tahu kalau itu Mbak Lun." Begitu kata cowok jangkung berkacamata dengan curtain bangs itu.

Apa? Berarti sejak tadi gelagatku terekam? Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari keberadaan CCTV tersebut. Rupanya terletak di sudut garasi. Pasti tadi aku kelihatan aneh banget. Ini jadi peringatan keras untukku agar lebih berhati-hati bersikap di depan umum.

Mas Elio mengenakan pakaian santai hari ini, tetapi rapi; kemeja sage green lengan pendek dengan celana bahan warna beige. Ia mengajakku masuk ke rumah dan aku mengekorinya hingga sampai di home photo studio-nya.

Jika dilihat-lihat, ruangannya memang kecil, tetapi cukup proper untuk sebuah jasa profesional. Aku duduk di kursi, mengamati Mas Elio yang sedang memasang background, menyalakan lampu softbox, mengatur posisi kamera di tripod, lalu menyusun berbagai macam properti di atas meja, seperti tatakan kayu estetik, piring-piring cantik, kain kotak-kotak, dan sebagainya.

Mas Elio memperlihatkan beberapa referensi foto produk di laptopnya dan memintaku untuk memilih. Setelah itu, ia memintaku untuk mengeluarkan kue-kue dan pastry dari dalam kontainer, lalu menyusunnya di atas properti. Saat cowok itu melakukan tugasnya, aku mundur dan duduk diam di kursi sudut ruangan.

Sebelum menghubunginya, aku memang sudah melihat-lihat portfolionya, seperti apa sih visual foto yang ia ambil. Ternyata, beginilah prosesnya. Kulihat Mas Elio mengambil gambar dalam beberapa sudut. Ia juga memiliki banyak ide kreatif, seperti meletakkan beberapa potong dark chocolate ketika memotret croissant rasa cokelat, lalu memotong kue sus menjadi dua agar vlanya terlihat lumer dan menggiurkan.

Tidak terasa tiga jam terlewati dan semua produk best seller Délice Cake and Pastry sudah dipotret. Mas Elio menyerahkan kameranya padaku agar aku bisa melihat-lihat hasil fotonya melalui layar LCD. Ia bertanya apakah perlu melakukan pengambilan gambar ulang, tetapi aku sudah merasa cukup. Aku tidak menyangka kue-kue dan pastry bisa menjadi semenarik ini di tangan cowok itu.

Mas Elio menunjuk boks kecil yang kuletakkan di atas meja. "Yang itu isinya apa? Mau difoto juga, enggak?"

"Oh, itu kue basah aja, sih. Bukan buat difoto. Itu buat Mas Elio dan keluarga," jawabku.

Kedua alis cowok itu terangkat dan bertanya, "Buat aku?" Aku pun mengangguk. Kemudian, ia mengambil kembali kameranya dan berkata, "Yang itu dijual juga, 'kan? Kita potret juga, deh. Coba keluarin!"

"Eh? Nanti kotor, dong, kalau dipotret juga?"

Mas Elio mengibas-ngibas tangannya. "Ah, santai aja. Properti sama mejanya udah aku bersihin, kok."

Dengan berat hati, aku mengeluarkan kue-kue basah tersebut dan menyusunnya di meja foto. Mas Elio melakukan tugasnya sekali lagi dan hasilnya tidak kalah bagus dengan yang sebelumnya.

"Nanti aku coba edit dulu fotonya, ya. Semoga tiga hari udah selesai," kata Mas Elio setelah mematikan lampu softbox dan merapikan properti.

"Iya, Mas Elio. Santai aja."

"Eh, panggilnya Elio aja. Aku bukan mas-mas Jawa. Lagian, kayaknya umur kita enggak beda jauh, deh."

"Masa? Saya masih dua puluh tiga."

Mas Elio tertawa kecil. "Aku dua tujuh. Lebih tua aku ternyata. Ya udah, bebas deh mau panggil apa, asal jangan Mas."

"Aa Elio? Atau ... Kak Elio?" tanyaku spontan.

Cowok itu menggaruk tengkuknya dan aku melihat kedua telinganya memerah. "Aa Elio agak gimana gitu. Iya ... Kak Elio boleh, sih." Suaranya mendadak jadi lebih rendah dan pelan.

"Kalau gitu jangan panggil saya Mbak, ya. Panggil Luna aja."

Kak Elio tersenyum dan diam sekitar dua detik. Lalu, ia mengangguk. "Iya, Luna." Suaranya begitu lembut.

*****

Ketika sesi pemotretan sudah selesai dan aku memutuskan untuk pulang, rupanya Kota Bandung diguyur hujan deras. Jadi, aku terjebak di rumah Kak Elio. Untung saja aku belum memesan ojek online. Sama seperti awan, suasana hatiku pun mendung. Pikiranku seperti diselimuti kabut tebal. Aku mulai tidak betah berada di tempat asing dan ingin lekas sampai rumah.

Kak Elio membuka boks kecil berisi kue basah dan bertanya, "Ini boleh kumakan, nih?"

"Makan aja," jawabku yang sedang duduk di lantai.

Cowok itu menggigit kue lapis, kemudian duduk lesehan di sampingku. Ruangan ini mendadak hening, tidak ada lagi yang berbicara. Hanya terdengar suara tetesan air berlomba-lomba menyentuh tanah di luar rumah.

"Jadi inget waktu pertama kali belajar fotografi." Sambil menerawang ke luar jendela, Kak Elio membuka percakapan. "Di DKV, mata kuliah Fotografi itu opsional. Teman-temanku kebanyakan milih mata kuliah pilihan Branding atau CG Animation, tapi entah kenapa aku pilih Fotografi. Waktu itu musim hujan dan mahasiswa cuma bisa ngambil gambar di dalam ruangan. Cuma beberapa kali kami kuliah lapangan ke luar kampus. Setelah satu semester belajar, eh kok asyik juga. Nah, keterusan deh sampai sekarang." Kak Elio nyengir.

"Oh, jadi Kak Elio kuliah DKV?" tanyaku cuek.

Kak Elio mengangguk. "Iya. Sebenarnya, aku tuh satu fakultas sama Mas Dika yang waktu itu nikah, tapi enggak pernah ketemu waktu masih kuliah."

"Kenapa enggak kerja di bidang desain grafis aja?" Aku bertanya lagi, tetapi bukan berarti aku penasaran. Tidak sopan 'kan kalau aku tidak melanjutkan percakapan?

"Aku pernah magang jadi desainer grafis waktu kuliah, tapi enggak enjoy sama kerjaanya. Soalnya overwork, sering lembur. Kalau ada revisi, aku dikejar-kejar terus sama atasan walaupun lagi libur. Kayaknya aku emang enggak cocok kerja kantoran." Kak Elio mengembuskan napas berat. "Aku ngerasa lebih enjoy kalau megang kamera. Pertama-tama jadi freelancer dulu, lah. Hasil freelance-nya kutabung buat nyicil beli peralatan home photo studio-ku."

Kuedarkan pandangan ke sekeliling, membayangkan ruangan yang awal mulanya kosong lalu perlahan-lahan terisi. Pertama, mungkin Kak Elio membeli kamera DSLR dulu, lalu sepasang softbox, tripod, kemudian menyicil beli properti foto satu per satu, hingga semuanya lengkap seperti sekarang.

"Kalau Luna kuliah jurusan apa?" Cowok itu bertanya.

"Manajemen Bisnis," jawabku, "walaupun enggak guna, sih."

Kedua alis Kak Elio terangkat. "Kok enggak guna?"

"Soalnya, apa yang saya pelajari di kampus enggak bisa diterapkan di Délice. Di kampus, kebanyakan ilmu yang dipelajari cuma bisa diaplikasikan buat bisnis yang sudah besar, sedangkan Délice itu hitungannya masih UMKM," ujarku, "waktu peminatan, saya ngambil konsentrasi marketing, tapi tetap aja enggak semua ilmu bisa diterapkan di dunia nyata."

"Aku juga pernah belajar marketing." Kak Elio mengunyah gigitan terakhir kue lapisnya. "Digital marketing. Ikutan bootcamp gitu. Lumayan sih, bisa diterapin di home photo studio-ku buat ngulik medsos dan website."

"Iya, 'kan? Kalau mau bisa diaplikasikan, emang paling bagus ikutan sertifikasi aja. Kampus zaman sekarang orientasinya cuma bisnis, enggak peduli lulusan sarjananya bisa kerja atau enggak," keluhku.

Melihatku mengeluh, Kak Elio tertawa kecil. "Yeee, enggak gitu juga kali. Kalau enggak punya gelar, nanti susah dapet kerjaan."

Aku tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja aku merasa kesal. Bukan karena Kak Elio, melainkan kesal pada diriku sendiri. Punya gelar S.Mb. saja aku masih kesulitan mencari kerja. Memang dasarnya aku saja yang tidak berguna.

Kabut yang menyelimuti otakku semakin tebal. Aku menatap kosong ke arah jendela. Hujan deras rupanya sudah berganti menjadi gerimis kecil. Langit pun terlihat lebih gelap dari sebelumnya.

"Lun?"

Aku berkedip, lalu menoleh pada Kak Elio. Lamunanku buyar. "Eh? Iya?"

"Tadi kamu dengerin aku, enggak?" tanya Kak Elio.

Rasa bersalah meliputiku. Ah, entah mengapa akhir-akhir ini aku sering tidak fokus ketika berbicara dengan seseorang. Aku pun menunduk. "Maaf, Kak. Tadi kayaknya saya ngelamun."

Kak Elio tidak merespons lagi. Ia diam selama beberapa saat. Lalu, cowok itu menoleh ke jendela dan berkata, "Eh, sudah mulai reda, ya?"

"Iya, nih. Saya izin pulang ya, Kak." Aku pun berdiri dan merapikan bajuku. Akhirnya bisa pulang juga!

Kak Elio yang masih duduk lesehan di lantai mendongak padaku, lalu bertanya, "Langsung pulang? Masih agak gerimis, loh."

"Enggak apa-apa, Kak." Selain tidak mau merepotkan orang lain dengan berada terlalu lama di rumahnya, aku juga sudah uring-uringan ingin pulang. Namun, tidak mungkin aku terang-terangan menunjukan emosiku di depan orang yang baru kukenal. Kucek jam di ponselku. Rupanya, waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Pantas saja langit mulai menggelap.

Setelah membereskan barang-barangku, aku memesan ojek online. Hanya berselang sekitar sepuluh menit, jemputanku sudah datang.

"Makasih ya, Kak. Kalau mau icip pastry lagi jangan sungkan buat nge-WA saya," ucapku ketika sudah duduk di jok penumpang dan memakai helm. Kali ini ucapanku tulus. Kak Elio sudah membantu banyak dan aku amat berterima kasih padanya.

Kak Elio yang berdiri di depan pagar tersenyum sambil melambaikan tangan. "Siap. Sampai ketemu lagi, Lun!"

Aku memaksakan senyum dan mengangguk, kemudian motor yang kukendarai melaju meninggalkan rumah Kak Elio.

Maaf Kak, tapi aku tidak mau bertemu Kakak dulu untuk sementara waktu, batinku. Sesenang-senangnya aku melihat hasil foto hari ini, tidak sebanding dengan energi sosialku yang habis terisap oleh cowok itu. Terus diajak mengobrol oleh Kak Elio yang talkative rasanya sungguh melelahkan. Sesampainya di rumah, aku akan langsung masuk kamar dan tidur sampai pagi.

Namun, semesta memang hobi bercanda. Aku tidak menyangka sesi foto kali ini akan menjadi awal dari segalanya, bahwa aku akan terus terjebak bersama cowok itu.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

1 Juni 2024

*****

What do you think about Luna in this chapter?

Kalau kamu ngerasa dia aneh, tenang. Ntar pelan-pelan kebuka kok dia ini sebenernya kenapa😉

Mau iklan bentar. Aku seneng banget kalau prekuelnya cerita ini udah nyentuh angka 50k readers🥳

Semoga cerita ini juga bisa punya jumlah readers yang sama, bahkan lebih!

Anyway, kemarin aku liat TikTok dan nemu konten yang Elio banget😭 Kalau Elio ini beneran ada di dunia nyata dan liat kontennya, kayaknya dia udah keselek. Mana si TikTokers-nya sama-sama kacamataan!

Udah, segitu aja curhatanku. Makasih yang udah mampir dan sampai jumpa minggu depan💓

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top