45 | Luna

| Play and listen to the multimedia for a better experience |

Andai angin mengulang

Sebuah masa yang t'lah usang

Kan kutelan isi bumi hanya untukmu

Terima bunga maafku

Layu termakan egoku

Meski ku tahu tak bisa

*****

"Gimana kabar kamu-"

Dokter Martha belum menyelesaikan kalimatnya, tetapi air mataku sudah banjir. Aku kembali lagi ke ruang praktik, menangis tersedu-sedu di depan psikiaterku. Beliau selalu siap sedia tisu untuk para pasiennya, dan entah berapa belas lembar yang sudah kuhabiskan untuk mengusap mataku yang basah. Namun, aku datang ke sini bukan untuk menangis. Waktu terus berjalan dan konseling harus tetap berlanjut.

Waktu aku mulai berbicara cepat di sela-sela isakanku, Dokter Martha menyela, "Pelan-pelan aja ceritanya."

Aku mengangguk, diam sejenak untuk menarik napas, kemudian mulai menceritakan segalanya yang terjadi padaku akhir-akhir ini; Kak Elio dan Helena Anindita, Ayah dan si Wanita Jalang kecintaannya, Clarissa dan Bunda yang menghujaniku dengan ratusan pertanyaan, tubuhku yang mendadak aneh karena sering tremor, kecemasan hebat yang kurasakan sampai sulit tidur, dan masih banyak lagi.

"Luna, kapan terakhir kali kamu minum obat?" tanya wanita itu serius setelah aku selesai bercerita.

Kenapa dia tahu kalau aku berhenti minum obat? "Sekitar ... seminggu yang lalu," cicitku.

Dokter Martha mendesah panjang. "Saya turut prihatin sama hal-hal buruk yang menimpa kamu akhir-akhir ini. Terlepas dari semua kejadian-kejadian itu, depresi dan kecemasanmu makin parah karena kamu ngalamin sindrom putus obat."

Aku mendongak ke arahnya sambil mengusap air mata, menunggu wanita itu menjelaskan.

"Ada sebabnya mengapa obat-obatan dari saya harus diminum sesuai anjuran. Kamu mengonsumsi obat-obatan dengan dosis tinggi karena depresi dan kecemasanmu tergolong berat. Saya harus pantau dulu kondisimu, mastiin kalau emosimu udah mulai stabil, baru bisa nurunin dosisnya perlahan sebelum kamu berhenti sepenuhnya. Kalau kamu masih terbiasa dengan dosis tinggi dan tiba-tiba berhenti minum obat, tubuhmu pasti kaget, kayak tremor, insomnia, keringat dingin, gelisah atau cemas berlebihan, dan ngerasa lebih depresi dari sebelumnya."

Aku menunduk. Mendadak rasa bersalah meliputiku.

"Luna, janji sama saya, ya. Tolong rutin minum obatnya sesuai anjuran. Kamu boleh berhenti minum obat setelah saya menyatakan kamu sembuh." Lalu wanita itu menulis sesuatu di lembaran resep obat. "Saya kasih kamu obat baru buat ngilangin gejalanya, ya. Obat yang lain diminum rutin kayak biasa."

Tubuhku lemas. Aku pasrah saja waktu Dokter Martha memberiku obat-obatan yang lebih banyak dari sebelumnya.

"Lalu soal si Partner Bisnis." Dokter Martha mendongak dan menyimpan pulpennya di meja. "Saya mau kasih kamu latihan." Wanita itu beranjak dari kursi, mengambil kertas HVS dan pulpen, lalu memberikannya padaku. "Tolong tulis sebanyak-banyaknya momen bahagia yang kamu lewati bareng dia, atau hal yang dia lakukan dan berhasil bikin kamu bahagia."

Aku menurut saja. Sekitar beberapa menit ke depan, pulpen yang kupegang menari-nari di atas kertas.

Hal-hal yang membuatku bahagia:
- Jogging bareng Kak Elio
- Makan serabi dan kupat tahu bareng Kak Elio
- Bikin konten TikTok bareng Kak Elio
- Nonton film sci-fi bareng Kak Elio
- Bikin kue sus bareng Kak Elio
- Kak Elio nyoba baca novel romance demi aku
- Didengerin ceritanya sama Kak Elio
- Ngehirup aroma parfum Kak Elio
- Dengerin ketawa Kak Elio yang ngeselin tapi candu
- Hampir dicium Kak Elio

Aku mengernyit. Dengan cepat kucoret-coret poin terakhir sampai semua huruf benar-benar tertutup tinta.

"Udah, banyak banget. Mau nge-list sampai sepanjang apa?" Dokter Martha tertawa kecil. "Sekarang coba tulis hal-hal tentang dia yang bikin kamu sedih."

Hal-hal yang membuatku sedih:
- Helena Anindita, kembaranku yang udah mati
- Kak Elio yang mencintai Helena di masa lalu

Kalau dipikir-pikir, inilah pertama kalinya kami bertengkar. Sebelumnya, Kak Elio tidak pernah melakukan sesuatu yang membuatku terluka.

Waktu Dokter Martha membaca tulisanku, beliau berkata, "Ternyata yang bikin sedihnya cuma dua, ya. Udah jadi masa lalu pula."

"Iya, tapi fatal, Dok," balasku.

"Tapi ini udah jadi masa lalu, Lun. Kamu sendiri loh yang nulis." Dokter Martha meletakkan kertas itu di meja. "Dari cerita-cerita kamu selama ini, dia terdengar tulus. Kamu ngerasa bahagia dan aman sama dia. Kamu juga tahu itu, 'kan?"

Ya, aku tahu betul dari tatapan Kak Elio waktu ia bilang serius dengan perasaannya dan ingin membangun masa depan bersamaku. Juga dari semua yang ia lakukan untukku.

"Sebagai psikiater, saya enggak bisa maksa kamu, tapi saya minta kamu buat merenung. Dari sekian banyak hal membahagiakan ini, kamu langsung cut-off dia karena masa lalunya terungkap?" Wanita itu diam sejenak, memberiku waktu untuk berpikir. "Dari semua kebahagiaan yang dia berikan, kamu dorong dia menjauh cuma karena satu kesalahan?"

"Soalnya mantannya mirip saya. Bayangin deh Dok, waktu dia ngelihat saya, dia pasti keingat mantannya, 'kan?" balasku.

"Tapi kamu sama mantannya bukan kembar identik, 'kan? Orang lain kalau punya pasangan kembar aja enggak akan otomatis naksir kembarannya pasangan, apalagi yang enggak ada hubungan darah kayak kamu dan mantannya. Dari segi sifat, penampilan, pasti ada bedanya. Kalian orang yang jelas-jelas berbeda."

Aku ingin menyela, tetapi Dokter Martha bicara lagi. "Saya setuju kalau mantan terindah itu nyata adanya, dan sulit untuk mengenyahkan sosoknya dari pikiran. Malah, enggak akan pernah biasa. Tapi kamu percaya enggak kalau saya bilang seseorang bisa aja mencintai orang baru lebih besar dari masa lalunya?"

"Mantan Terindah dinamain begitu karena ada sebabnya, Dok. 'Terindah'." Aku membuat tanda kutip dengan dua jari tengah dan telunjukku untuk menekankan kata terakhir.

"Banyak kasus di mana rasa cinta untuk masa lalu akan terkubur dalam diri seiring dengan rasa cinta pada orang baru yang kian membesar. Cewek yang namanya Helena itu bisa jadi menetap di tempat spesial di hati si Partner Bisnis, tapi tetap kamu yang berkuasa di hatinya, karena kamu hadir di masa kini. Masa lalu enggak akan bisa ngapa-ngapain lagi. Era kejayaannya udah habis, sedangkan kamu masih terus berlanjut. Kamu masih bisa mengukir banyak kenangan di hatinya, sedangkan mantannya enggak bisa lagi. Pemenangnya tetap kamu, Luna."

Aku tertegun mendengar ucapan panjang lebar psikiaterku. Lalu, wanita itu kembali berbicara. "Saya pribadi punya mantan terindah waktu SMA. Saya butuh bertahun-tahun buat move on. Bahkan waktu mengucapkan sumpah dokter, dia ngasih ucapan selamat ke saya. Wah, jelas saya goyah, dong? Tapi sekarang saya udah punya suami, dan saya cinta suami saya lebih dari siapa pun. Kadang saya masih senyam-senyum sendiri kalau ingat memori tentang si Masa Lalu, tapi ya hanya sekadar mengenang aja. Suami saya tetap pemenangnya, karena dia mampu hadir di sisi saya, di masa kini, sedangkan cinta pertama saya enggak bisa. Memori indah yang diukir suami saya lebih banyak daripada cinta pertama saya.

"Dan yang terpenting, saya enggak lari dari pelukan suami buat kembali ke masa lalu saya. Saya memilih untuk menetap. Manusia selalu punya pilihan untuk berbuat rasional. Kita bukan hewan yang selalu mengikuti hawa nafsu. Kamu paham apa poin saya, 'kan?"

Perkataan Dokter Martha menamparku begitu keras. Lidahku kelu, tidak tahu harus merespons apa.

"Saya tahu si Partner Bisnis adalah hal baru dalam hidup kamu. Kamu cinta dia, tapi karena terlalu takut terluka, kamu cut-off dia hanya karena satu kesalahan di antara ratusan kebahagiaan yang dia kasih ke kamu. Kamu enggak akan pernah bahagia jika terus hidup dalam ketakutan akan masa depan, Luna. Kamu harus menerima hal baru dalam hidup. Kamu perlu berdamai dengan masa lalu, trauma perceraian orang tuamu, dan mulai hidup untuk masa kini. Enggak ada hubungan yang selalu mulus, tapi semua itu layak dijalani kalau kedua pihak enggak menyerah untuk saling memperjuangkan."

Enggak menyerah untuk saling memperjuangkan?

Lalu di kepalaku kembali berputar hari di mana aku membuang kalung yang diberikan Kak Elio. Namun bukannya mundur, cowok itu malah mengejarku hingga ke rumah, memanggil namaku berkali-kali, berharap aku berubah pikiran dan berbalik untuk menemuinya lagi. Lalu, selama tiga hari berturut-turut cowok itu datang lagi ke rumahku, berusaha berbicara padaku tetapi aku enggan melihat wajahnya. Jujur saja aku senang ketika ia memperjuangkanku, dan aku kecewa ketika ia berhenti datang.

Apa ... Kak Elio akhirnya menyerah? Apakah akhirnya ia memutuskan untuk melangkah pergi, tidak akan pernah berbalik lagi ke belakang, ke arahku yang masih mematung di tempat yang sama?

Dadaku mencelus. Inikah rasanya tidak lagi diperjuangkan? Mengapa rasanya begitu menyakitkan? Mengapa aku menyia-nyiakan Kak Elio selagi ia hadir di hidupku, juga mau mengerahkan seluruh tenaga dan waktunya untukku? Mengapa aku membuang seseorang yang amat peduli padaku, bahkan menerima segala kekuranganku. Juga ... rahasia gelap yang kukubur dalam-dalam, penyakitku.

Ya, kini aku yang harus bergerak, berlari mengejar punggungnya yang kian mengecil di kejauhan. Aku harus meraih tangannya, menariknya, membuatnya berbalik ke arahku lagi. Aku ingin Kak Elio tahu bahwa aku bersedia melangkah bersamanya. Selama jemari kami saling bertautan, masa depan yang tak pasti pun akan kuhadapi. Selama Kak Elio ada di sisiku, itu semua sudah cukup.

"Kamu juga harus belajar mengapresiasi kehadiran orang-orang, Luna." Dokter Martha tersenyum. "Kamu beruntung banyak orang yang peduli sama kamu. Si Partner Bisnis, bundamu, juga sahabatmu. Jangan memendam segalanya sendirian. Enggak apa-apa kok kalau sesekali kamu curhat ke mereka. Mereka enggak akan terbebani dengan masalahmu. Mereka justru akan merasa 'dibutuhkan'. Itulah yang membuat seseorang merasa berharga."

Nasihat terakhir Dokter Martha terngiang-ngiang hingga akhir sesi konseling. Ketika keluar dari ruangan, aku melihat Bunda menungguku di lorong rumah sakit sambil duduk. Air mukanya keruh, tetapi beliau memaksakan sebuah senyuman ketika menatapku. Kami berjalan beriringan menuju instalasi farmasi untuk menebus obat.

Ketika menunggu obatku diproses, keheningan meliputi kami. Aku dan Bunda duduk bersebelahan di ruang tunggu tanpa saling bicara. Atmosfer terasa dingin dan asing. Baru kali ini Bunda menemaniku berobat dan rasanya agak canggung.

Namun, aku harus mengatakan hal yang benar.

"Bun, maafin aku ...," lirihku.

Wanita itu menoleh padaku. Kedua alisnya terangkat. "Minta maaf buat apa, Lun?"

"Maaf kalau selama ini aku malah bikin Bunda khawatir. Aku enggak mau cerita karena beban Bunda udah banyak. Waktu Bunda terpuruk karena Ayah. Harus pusing muter otak juga gimana supaya ada pelanggan yang mau beli pastry kita. Aku mau bantu Bunda dengan berusaha kuat, tapi ternyata aku enggak mampu ...."

Wanita itu tersenyum. Ia merangkulku, menarikku mendekat dan aku bersandar di bahunya. Tangannya yang hangat mengelus-elus bisepku. Karena Bunda, aku merasa lebih tenang. Memang sepertinya setiap ibu di dunia ini punya semacam kekuatan super yang bisa membuat anaknya merasa aman.

"Luna ... kamu bisa cerita apa aja ke Bunda. Kamu enggak usah takut membagi beban kamu. Dari dulu, kamu yang selalu bikin Bunda kuat. Sekarang Bunda juga mau jadi sumber kekuatan kamu. Bunda cuma pengin kamu tahu, Bunda selalu ada buat kamu di sini. Jadi, kamu enggak usah khawatir, ya?" ucap wanita itu lembut.

Awalnya, kukira Bunda akan memarahiku habis-habisan karena pergi ke psikiater tanpa mengabarinya, lalu minum obat-obatan yang bisa membuat kecanduan. Kukira Bunda tidak peduli kesehatan mental dan tetek bengeknya lalu menyuruhku untuk ibadah saja. Ternyata ... dugaanku salah. Bunda mengerti dan mau mendengarkanku.

Ah, untuk apa aku berpura-pura kuat selama ini? Untuk apa aku bersembunyi di balik topeng, padahal Bunda dengan senang hati mau membagi bahunya untuk tempatku bersandar, mengistirahatkan pikiranku yang lelah?

Setelah obatku selesai diproses, kami pulang dengan taksi online. Di bangku penumpang belakang, aku menatap ponsel dalam waktu yang lama. Layarnya menampilkan ruang obrolanku dengan Clarissa. Jempolku sudah siap mengetikkan huruf demi huruf, tetapi entah mengapa benang kusut di kepalaku sulit terurai. Aku kesulitan merangkai kata akibat rasa bersalah yang bersemayam di dadaku. Aku harus bilang apa untuk memperbaiki semuanya? Bagaimana agar Clarissa mau memaafkanku?

Ah, masa bodoh! Kuketik saja kata-kata yang terlintas di kepalaku. Kelamaan berpikir tidak akan membawaku ke mana-mana.

Luna Swastamita
Ris, I just want you to know, keadaanku akan membaik karena aku memutuskan buat berobat lagi setelah kemarin relapse
I'm sorry for being a shitty friend
Aku tau aku keterlaluan, enggak bilang apa-apa ke kamu dengan dalih enggak mau bikin kamu khawatir
Justru diamnya aku malah bikin kamu tambah khawatir
Aku benar-benar minta maaf
Kamu free malam ini?
Aku mau telepon
Atau kapan kamu ke Bandung lagi?
Ada mille crepes red velvet yang pengin aku coba
Mau nemenin aku?
Di sana juga banyak pasta enak, kamu pasti suka

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

25 Januari 2025

*****

Welcome to "Luna fell harder" era, sementara yang "fell first" udah enggak "fell" lagi😔

Yang penasaran mau liat Luna balik ngejar ugal-ugalan bisa mampir ke KaryaKarsa ya! Ke depannya bakalan banyak bundling package yang kalau beli barengan, bakalan jauh lebih hemat. Enggak perlu nunggu pula, bisa marathon sampai selesai

Search NatWinchester di KaryaKarsa atau klik link di bio~

See you there, peeps❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top