44 | Elio
| Play and listen to the multimedia for a better experience |
Dan ku harus melepasmu
Dengan sederhana di tengah
Gempitanya perayaan mati rasa
*****
Waktu dengar pernyataan dokter kalau Bapak udah enggak ada, kayak ada orang yang mengarahkan tangannya cepat menembus dadaku dan mencabut jantungku hidup-hidup. Otakku berhenti berfungsi untuk sesaat sebelum benar-benar mati.
Rasanya hari itu enggak berjalan terus dari awal sampai akhir tanpa bisa di-pause kayak film di bioskop, melainkan terpecah-pecah jadi beberapa potongan adegan. Ada beberapa kejadian yang enggak nempel di kepalaku, mungkin karena aku terlalu sibuk sama benang kusut di pikiranku dan otakku masih kesulitan memproses segalanya.
Yang kuingat, Ibu nangis tersedu-sedu di pelukan Teh Nadya, terus kami ngebawa Bapak pulang dari rumah sakit, dan tahu-tahu rumahku udah penuh sesak sama orang-orang bersetelan serbahitam. Mereka duduk lesehan mengelilingi Bapak yang tertidur di tengah ruang tamu dalam balutan kain kafan. Isakan dan lantunan ayat-ayat suci bercampur, menghasilkan melodi aneh di telingaku. Lalu, aku berpindah ke pemakaman umum dan ngelihat para penggali kubur membawa Bapak jauh ke dalam lubang, lalu menyelimutinya dengan tanah.
Saat itu aku mikir, kalau aku bangun dari mimpi buruk ini, Bapak juga bakalan ikut bangun, 'kan?
Keesokan harinya rumahku masih ramai. Karangan-karangan bunga enggak berhenti berdatangan, begitu pula para tetangga dan kerabat yang ngucapin belasungkawa. Teh Fira bersama suami bulenya sampai di Indonesia setelah booking jadwal pesawat paling cepat dari Jerman. Mereka bilang mau menemani Ibu di rumah sekitar satu sampai dua minggu, sekalian pulang kampung karena mereka enggak sempat hadir waktu lebaran terakhir.
Ternyata semua ini bukan mimpi buruk.
Teh Fira dan Mas Marshal nikah empat tahun yang lalu dan langsung menetap di Jerman, otomatis si Kembar yang masih umur lima tahun lupa-lupa ingat sama wajah pasutri itu. Selain itu, mereka juga masih bingung dan belum bisa mencerna kepergian Bapak.
"Kenapa Kakek tidurnya di dalam tanah? 'Kan punya kasur?"
"Sesak dong? Emangnya Kakek masih bisa napas di dalam sana?"
Waktu mereka nanya, kami bingung gimana jelasinnya dan aku milih buat pergi dari sana.
Hari-hari muram itu terus berlanjut dan muncul perasaan aneh dalam diriku. Gumpalan emosi di dadaku kian berkobar, bikin ruang napasku tersekat. Padahal Bapak udah bertekad mau berhenti ngerokok dan rajin minum obat, tapi kenapa Tuhan enggak mau kasih kesempatan kedua? Kenapa Tuhan jemput Bapak secepat ini? Kenapa enggak kasih Bapak waktu lebih lama lagi, mungkin sampai si Kembar udah cukup besar buat pakai seragam putih-abu?
Kenapa ... Tuhan enggak ngasih Bapak kesempatan buat nemenin aku berdiri di pelaminan? Padahal itu permintaan terakhir Bapak sebelum meninggal.
Tapi nyalahin Tuhan emang enggak akan ada habisnya. Aku yang harusnya disalahin di sini. Harusnya aku bisa mapan lebih cepat. Setidaknya kalau belum bisa nikah, aku udah enggak jadi beban keluarga lagi. Setidaknya Bapak bisa pergi dengan senyum bangga di wajahnya.
*****
Seminggu setelah kepergian Bapak, rumah kerasa hening banget walaupun ada Teh Fira dan Mas Marshal. Si Kembar juga sesekali menginap di sini. Padahal semua lampu dinyalakan dan seisi ruangan terang benderang, tapi hunian ini kerasa gelap dan suram buatku.
Aku memarkirkan motor di garasi rumah, terus ngebawa masuk kantong plastik berisi cemilan dan kopi kemasan. Supaya enggak bosan di rumah kadang-kadang aku jalan-jalan di sekitar komplek, terus mampir ke minimarket buat beli cemilan.
Waktu mau masuk ke dalam rumah, sekilas aku menoleh ke arah teras dan melihat Bapak sedang duduk di kursi rotan, mengisap tembakau sambil melihat-lihat tanaman di pekarangan.
Lalu muncul Ibu dari dalam rumah. "Pak, tempe bacem di atas meja-loh? Bapak ngerokok lagi?" Beliau berkacak pinggang di depan pintu dan mengomel.
Kening Bapak pun berkerut. "Baru setengah bungkus hari ini, Bu."
"Katanya mau ngurangin jadi tiga batang sehari?"
Lalu kedua orang tuaku pun berdebat kecil, pemandangan yang biasa kunikmati beberapa bulan ke belakang. Lalu aku sadar kalau yang tadi itu cuma kilas balik di kepalaku. Sekarang, kursi rotan di sana sudah kehilangan pemiliknya. Teras rumahku lengang, enggak akan ada lagi yang nongkrong di sana.
Aku enggak percaya bisa mikir kayak gini, tapi sumpah, aku kangen lihat Bapak ngerokok di teras rumah. Padahal waktu pria itu masih hidup, aku kesal setengah mati lihat dia nongkrong-nongkrong enggak jelas sambil ngeisap racun. Kayak enggak ada kerjaan lain aja.
Ternyata rumah kerasa sepi banget tanpa Bapak, ya? Ah, kalau aja Bapak masih ada ....
Waktu aku masuk ke rumah, dari arah ruang keluarga aku dengar salah satu dari keponakanku nangis. Ternyata Keanu. Langsung aja aku datangi mereka.
"Kenapa nangis? Mau cemilan? Om bawa keripik kentang nih," kataku sambil berjongkok di depan Keanu dan Keenan yang duduk lesehan di karpet.
"Keanu ... mau ... main ... Godzilla ...," kata bocah itu di sela-sela isakannya.
Aku nyengir dan langsung menerkam pinggang keponakanku itu dengan kedua tangan. "Hap! Nih Godzilla-nya makan Keanu!"
Namun, tangis Keanu makin kencang. "Enggak mau sama Om Elio! Maunya sama Kakek!"
Lalu senyuman hilang dari wajahku dan jantungku mencelus berkilo-kilometer dalamnya.
"Tapi kata Bunda Kakek lagi bobo, kita enggak boleh ganggu! Kamu baca buku aja sama aku!" ujar Keenan yang lagi megang buku cerita di sebelahnya.
"Bangunin Kakeknya!" cicit Keanu sambil mengusap-ngusap matanya.
"Kata Bunda Kakek enggak akan bisa bangun lagi." Kali ini Keenan berkata begitu sambil cemberut.
Raungan Keanu berlanjut dan kedua kakinya menendang-nendang karpet. "Masa ada orang bobo enggak bangun lagi? Namanya juga bobo, pasti besoknya bangun lagi! Keanu mau main sama Kakeeeek ...!"
Padahal seminggu ini perasaanku seolah-olah mati. Setelah nangis di depan ruang ICU, aku enggak pernah bisa ngeluarin air mata lagi saking hampanya. Namun, ngelihat reaksi keponakanku tiba-tiba saja pandanganku memburam dan setetes air mengalir di pipiku.
"Om Elio ... kok nangis ngikutin Keanu?" tanya Keenan polos.
"Hah?" Dengan cepat aku nunduk dan ngelap mataku yang basah. "Enggak, Om enggak nangis." Bohong. Padahal suaraku serak gini.
"Om ...." Keanu langsung berhenti mewek dan meluk aku. "Maafin Keanu ya kalau Keanu bandel ...," ceplos bocah itu pelan.
Aku masih nunduk, menggeleng sekuat tenaga dan suaraku yang pelan pun patah-patah. "Enggak. Ini ... bukan salah Keanu ...."
"Terus kenapa Om sedih?" tanyanya lagi.
Aku enggak tahu mau jawab apa. Aku cuekin aja pertanyaan itu.
Keenan juga ikut memelukku. Bocah itu mengelus-elus lenganku dan berkata lirih, "Jangan nangis, Om ...."
Kurentangkan kedua tangan untuk membawa dua keponakan kembarku ke dalam dekapan. Kupeluk mereka erat. Jemariku meremas kaos yang mereka kenakan.
Aku pengin nangis meraung-raung juga kayak Keanu. Aku juga mau teriak kalau aku kangen Bapak. Aku nyesel enggak bisa ngelakuin yang terbaik sebagai anak bontot. Aku nyesel enggak bisa nyegah Bapak collapse. Kalau aja aku bisa lebih rajin ngebujuk Bapak buat kontrol ke dokter, bantu ingetin Bapak buat minum obat dan berhenti ngerokok, terus rutin olahraga sama Bapak, mungkin sekarang pria itu masih ada, masih bisa pura-pura jadi Godzilla buat nemenin Keanu main.
Kukira kehilangan Luna udah cukup bikin menderita, tapi ternyata aku ngerasa lebih terpuruk lagi setelah kepergian Bapak. Aku enggak tahu besok-besok Tuhan mau ngerebut apa lagi dariku, dan aku enggak mau bayangin. Aku enggak yakin bisa bertahan ngelaluin rasa sakit yang lebih dari ini.
Otakku mendadak penuh dan aku balik enggak bisa mikir, padahal beberapa hari ini perasaanku udah lumayan membaik. Kayaknya harus tidur cepat hari ini. Tapi sebelum itu, seperti biasa aku harus ngecek e-mail dan DM yang masuk di semua media sosialku. Enggak tahu sejak kapan, ini udah jadi rutinitas yang wajib dilakuin sebelum tidur. Kalau tidur tanpa ngecek laptop tuh rasanya kayak ada yang kurang.
Lalu aku ngelihat e-mail teratas yang masuk di inbox. Pengirimnya sama kayak orang yang beberapa minggu lalu ngasih kabar baik.
Apa ini? Jangan-jangan ....
Jantungku berdebar-debar dan badanku yang lemas tiba-tiba terisi penuh dengan energi. Kuklik e-mail tersebut dan membaca body-nya. Ini ... beneran 'kan? Bukan mimpi 'kan?
Senyum lebarku enggak tertahan lagi. Dugaanku salah. Kukira Tuhan mau terus-terusan ngasih cobaan. Kukira besok-besoknya Tuhan mau ngambil sesuatu lagi dariku, tapi ini jelas-jelas kabar baik. Tuhan ngasih aku kesempatan emas supaya bisa ngebantu Luna.
Ah, Luna ya?
Lalu perasaan berat di dadaku muncul lagi. Sekarang di wajahku cuma tersisa senyuman miris. Aku meringis dan pengin ngetawain diri sendiri. Jelas-jelas Luna enggak mau lihat wajahku lagi, tapi kenapa aku masih aja berjuang sampai segininya? Emang goblok kamu, Elio!
Kalau Luna masih aja nutup rapat-rapat hatinya, tandanya aku harus mundur, 'kan?
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
18 Januari 2025
*****
Gimana nih? Si paling ugal-ugalan akhirnya nyerah juga😔
Serene Night udah tamat di KaryaKarsa! Search NatWinchester di KaryaKarsa atau klik link di bio~
See you very soon❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top