40 | Luna

Aku berjalan sambil sedikit mengentakkan kaki. Tanganku terkepal kuat karena terlalu emosi. Di depan pintu, hadir sosok yang sangat ingin kuhindari, cowok yang kuharap lenyap dari muka bumi—dan tentu saja dari memoriku. Aku rela hilang ingatan untuk menghapus presensinya di kepalaku, juga segala kenangan itu. Rasanya menyakitkan ketika sudah dibawa terbang ke langit ketujuh, lalu tiba-tiba diempaskan begitu saja ke tanah.

Kak Elio yang semula terlihat kalut tiba-tiba menunjukkan raut wajah lega dan senang ketika melihatku menghampirinya. Senyumnya begitu lebar. "Syukurlah, kamu enggak kenapa-napa."

'Enggak kenapa-napa' katanya? Dia bercanda, ya? Tidak tahukah dia bahwa tiga hari ini aku menderita karenanya?

Ia memindai wajahku. Senyumnya perlahan memudar, tergantikan oleh ekspresi khawatir. "Wajahmu kelihatan capek banget. Kamu kurang tidur?" tanyanya.

Aku menoleh ke ruang keluarga dan melihat Bunda sedang duduk di sofa sambil menonton televisi. Aku sudah siap memuntahkan semua emosiku pada cowok itu, tetapi tidak di sini. Kucubit lengan kemeja katun Kak Elio, lalu kutarik cowok itu ke luar rumah. Kami berjalan cepat menuju lapangan kosong yang letaknya tidak terlampau jauh. Di sana sepi, berbeda dengan gang rumahku yang jarak antara rumah ke rumahnya sangat dekat. Jangan lupakan pula dinding-dinding yang tipis. Tidak hanya Bunda yang akan mendengar percakapan kami, tetapi juga para tetangga.

"Lun, aku kepikiran soal kamu. Kenapa matamu bengkak banget? Kenapa enggak respons WA-ku? Apa aku bikin salah?" Cowok itu bertanya lagi sambil memijat kedua lenganku lembut.

Dengan kasar kutepis kedua tangan cowok itu. "Kakak apa-apaan, sih? Ngapain bilang-bilang soal penyakitku ke Clarissa?" tanyaku ketus.

Cowok itu mendesah panjang sambil memijit pelipisnya. "Maaf, aku keceplosan waktu itu."

"Kakak tau enggak kalau itu privasi buat aku? Selama ini yang tau tuh cuma Kakak dan psikiaterku! Aku enggak ngasih tahu Kakak cuma buat ngebiarin Kakak nyebarin ke orang-orang!"

"Clarissa juga khawatir sama keadaan kamu. Dia sahabat kamu, dia berhak tau."

"Justru karena dia sahabatku, aku enggak mau ngebebanin dia dengan penyakitku!" bentakku.

"Penyakitmu bukan beban, Luna," balas cowok itu lembut, "kamu enggak bisa selamanya berdiri sendirian. Banyak orang-orang yang beneran peduli sama kamu dan mau nemenin kamu sampai sembuh."

"Termasuk Kakak?" Kulontarkan pertanyaan retoris, tetapi cowok itu tidak mengiyakan. Dari nada bicaraku, dia sudah peka bahwa aku tidak memerlukan jawaban. "Kalau gitu, jelasin siapa Helena!"

"Helena lagi? Kamu salah denger waktu itu, Lun!" Cowok itu tetap ngotot.

"Helena Anindita. Meninggal tahun 2025 karena kecelakaan di Jembatan Layang Pasupati."

Air muka Kak Elio langsung berubah, seperti maling yang baru saja kepergok. Wajahnya sepucat kertas. Cowok itu menghindari tatapanku, sepertinya sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan, meskipun sebenarnya aku tidak butuh penjelasannya. Aku hanya senang membuatnya mati kutu seperti ini.

Kak Elio harus merasakan apa yang kurasakan.

"Luna ...," katanya lirih, lalu ia mendongak dan pandangan kami kembali bertemu. "Dia udah meninggal dua—enggak, hampir tiga tahun yang lalu. Kamu ... cemburu?"

Aku tertawa remeh dan memasang tampang sinis. Cemburu katanya? Yang benar saja!

"Oke. Aku minta maaf udah bohong sama kamu. Helena itu mantanku sebelum ketemu kamu. Dia udah enggak ada. Aku udah enggak punya perasaan apa-apa sama dia. Aku bahkan udah unfollow dan hapus foto-foto dia dari Instagram-ku."

Ya, tapi foto-foto Kak Elio di akun Helena lupa di-untag, tuh.

"Dia udah jadi masa lalu, lembaran kisah dari buku yang udah aku tutup. Lembaran barunya? Itu kamu." Cowok itu mendekat, sehingga aku harus mendongak sedikit lagi untuk menatap tajam kedua matanya. "Aku udah ninggalin memori sama Helena di masa lalu. Aku mau bikin memori baru sama kamu. Kamu masa depan aku, Luna."

Aku tertawa lagi. Perkataannya terdengar lucu di telingaku. Dia masih bisa muluk-muluk rupanya. Apa dia sadar apa yang baru saja keluar dari mulutnya? Apa dia sadar betapa serius ucapannya tadi?

Wajah Kak Elio terlihat lebih lelah dari sebelumnya. "Aku enggak tau kamu udah selesai baca novel yang kukasih atau belum, tapi ya udah, aku kasih tau aja. Coba kamu cek halaman terakhir dan baca tulisan di sticky notes yang kutempel di sana. Waktu kubilang kamulah masa depanku, I mean it. Aku enggak berniat main-main sama cewek di umur segini. Waktu kutulis sticky notes itu, aku enggak asal nulis. Apa yang kutulis di sana sesuai dengan isi hati aku, begitu pula semua kutipan yang kuberi stabilo ungu."

"Aku tau. Aku udah baca novelnya sampai beres dan udah baca sticky notes-nya juga," balasku santai.

Kedua mata Kak Elio membola sedikit. Ia membuang napas pasrah. "Terus kenapa kamu enggak ngasih tau aku? Kenapa kamu ngilang? Kenapa kamu block WA-ku? Kenapa kamu ngegantungin aku dan bikin aku menderita kayak gini? Kalau kamu enggak suka, kamu tinggal nolak aja, 'kan?"

Justru karena aku suka banget sama kamu, Kak, makanya aku bersikap kayak gini waktu kamu nyakitin aku! Ingin sekali kuteriakkan kata-kata itu di depan wajahnya, tetapi egoku terlalu tinggi. Semuanya tidak sesederhana yang dia pikir. Ini bukan masalah suka atau tidak suka. Dia kira hanya dirinyalah yang menderita di sini?

"Kamu masih enggak percaya sama perasaanku?" Suara Kak Elio kian melemah, terlihat jelas bahwa ia mulai frustrasi.

"Aku percaya, tapi masalahnya, kenapa Kakak milih aku? Apa karena aku ngingetin Kakak sama Helena?"

Setelah pertanyaan itu terlontar, cowok itu semakin mati kutu. Ia membuka mulut, gelagapan tidak tahu harus menjawab apa, padahal semenit yang lalu ia benar-benar percaya diri. Ia menyugar poni curtain-nya, lalu memejamkan mata sejenak untuk menarik napas. "Enggak. Aku sayang kamu karena kamu itu Luna, bukan Helena."

Tiba-tiba saja ia berani menatap kedua mataku langsung. Kepercayaan dirinya kembali. Kali ini wajahnya terlihat serius dan sama sekali tidak ada keraguan yang tersirat. "Semua yang aku lakuin buat kamu, juga perasaan aku, itu karena aku tulus sama kamu. Aku serius mau bangun masa depan sama kamu. Aku harus jelasin sampai kayak gimana lagi, Luna Swastamita? Aku harus gimana supaya kamu percaya?"

Kedua manik sehitam obsidiannya mengisyaratkan ketulusan dan kejujuran. Aku tahu itu. Pasti butuh keberanian yang besar untuk mengatakan hal semacam itu sambil menatap mataku. Kali ini ia tidak berpaling, tidak terbata-bata, tidak mati kutu. Itu ucapan paling serius yang pernah kudengar dari seseorang.

Bohong jika kubilang bahwa aku tidak goyah. Jika egoku tidak setinggi langit dan aku berbesar hati mau memaafkannya, aku pasti langsung maju dan memeluk tubuhnya erat, memohon supaya ia tetap ada di sisiku. Aku ingin Kak Elio terus mengukir kenangan di hatiku. Aku ingin ia menjadi bagian dari masa depanku juga.

Namun ... tetap saja.

"Kalau gitu, kenapa waktu di resepsi pernikahan Teh Mika, Kak Elio secara random datang ke booth Délice? Ngedatangin aku dan nawarin jasa foto gratis? Apa Kak Elio mikir, 'Aku suka dia dan aku mau bangun masa depan sama dia'? Atau justru Kakak mikir, 'Aku ngelihat sosok yang mirip mantan terindahku. Aku mau deketin dia supaya hatiku enggak kosong lagi'?"

Lagi, kepercayaan diri Kak Elio lenyap meninggalkan tubuhnya. Ia kembali mati kutu, tetapi sekarang makin parah. Cowok itu menggeram pelan sambil mengacak-acak rambutnya. Seolah-olah amarah, putus asa, dan frustasi menyerang batinnya sekaligus.

"Enggak usah dijawab, Kak. Aku udah tau jawabannya," kataku sambil tersenyum miris.

Setelah geraman putus asa yang panjang, ia menjawab, "Oke, aku emang ngelihat kamu sebagai Helena pada awalnya." Setelahnya, cowok itu kembali gelagapan, sepertinya sadar sudah salah bicara.

"Bentar. Dengerin aku dulu. Omonganku belum selesai." Raut wajahnya dengan cepat kembali serius. "Tapi perasaanku ke kamu yang sekarang itu benar-benar nyata karena kamu adalah diri kamu, bukan orang lain. Oke, mungkin kamu sama Helena mukanya mirip, tapi ... kalian tuh beda banget. Pola pikir, cara ngomong, hobinya, semuanya jauh berbeda. Kamu sama Helena bukan orang yang sama, dan aku udah aware dari lama. Hati sama otakku enggak sebego yang kamu pikir. Helena udah benar-benar lenyap dari hati aku. Dia udah meninggal, ngapain juga aku stay di masa lalu? Nyiksa diri sendiri namanya."

Aku menatapnya sinis. Mungkin karena sudah kelewat frustrasi, omongannya jadi ke mana-mana. Aku tahu perasaannya padaku sekarang amat tulus, tetapi fakta bahwa di awal ia melihatku sebagai Helena tetap tidak bisa kuterima. Mau bagaimanapun, semua ini berawal karena ia menganggapku sebagai cewek sialan itu, bukan karena memang benar-benar ingin mendekatiku.

Kuhela napas panjang. Aku mengangkat kedua tangan, menyibak rambut ke belakang bahu, dan meraih kaitan kalung berbandul bulan dan bintang kecil di tengkukku.

"Lun, jangan bikin aku kesiksa kayak gini ...," lirih cowok itu, nyaris berbisik. Matanya berubah sayu, mulutnya tertekuk, bahunya turun. Wajah Kak Elio benar-benar menunjukkan keputusasaan. Ia maju dan hendak meraih kedua tanganku, tetapi dengan segera aku mundur untuk menghindar. "Kamu mau ngapain? Jawab aku, jangan diam aja!"

Setelah kaitan kalung itu terlepas, kulempar perhiasan itu tepat ke arahnya. Dengan sigap ia mencoba menangkapnya dengan kedua tangan, tetapi gagal. Benda berkilauan itu jatuh ke tanah pada akhirnya.

"Aku enggak butuh kalung ini. Pulang, Kak. Aku enggak mau ngelihat Kakak lagi," ucapku dingin sebagai penutup perdebatan panjang ini.

Kubalikkan tubuh dan berjalan cepat kembali ke rumah. Terdengar derap langkah kaki dan suara lemah cowok itu yang memanggil namaku berulang kali, tetapi aku tidak peduli. Sesampainya di rumah, aku langsung membanting pintu tepat di depan wajahnya. Kak Elio menggedor pintu beberapa kali sambil menyebut namaku, tetapi kedua kakiku tidak berhenti. Bahkan, untuk menengok ke belakang pun enggan.

Bunda tergopoh-gopoh menghampiriku. "Luna, itu Elio manggil-manggil kamu. Kenapa? Kalian berantem?" Nada ucapannya terdengar antara kepo atau khawatir.

"Biarin. Suruh pulang aja, Bun." Aku menjawab singkat tanpa menoleh sedikit pun. Kulewati tubuh Bunda dan berjalan kembali ke kamar.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

21 Desember 2024

*****

No comment sama chapter ini🥲

Menurut kalian di sini siapa yang salah? Luna atau Elio?

Kalau kamu jadi Luna, kamu bakalan kasih Elio kesempatan enggak setelah masa lalunya terungkap?

Di KaryaKarsa udah update sampai chapter 47 ya! Tinggal menghitung jari menuju ending. Search NatWinchester di KaryaKarsa atau klik link di bio~

See you very soon❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top