4 | Elio
Setelah menerima pesan itu, langsung saja aku janjian dengan calon klienku yang bernama Mas Dika. Kami ketemuan di kedai kopi dekat mantan kampusku dulu bersama calon istrinya. Ternyata, Mas Dika nikah sama seniornya di kampus. Lucu banget mereka. Orang lain fokus tugas akhir, eh mereka malah cinlok.
Mas Dika dan calon istrinya enggak perhitungan, soalnya sama-sama kerja di industri kreatif. Mereka juga enggak menawar harga di rate card-ku. Namun, calon istrinya Mas Dika lumayan banyak maunya. Ia meminta banyak hal untuk dipotret. Menurutku sih wajar. Menikah, 'kan, sekali seumur hidup. Pasti cewek-cewek enggan melewatkan satu momen pun untuk diabadikan.
Yang paling penting sih cuannya. Lumayan, bisa ditabung.
Hari H pun tiba. Aku datang pagi-pagi sekali ke sebuah kafe dengan interior bergaya shabby chic yang disulap menjadi lokasi resepsi pernikahan. Warna putih dan kayu dengan tone yang soft mendominasi. Pelaminan didekorasi dengan banyak bunga-bunga cantik. Enggak jauh dari sana, diletakkan banyak meja bulat dengan taplak putih berbahan sutra. Satu meja kira-kira bisa menampung delapan hingga sepuluh orang. Kalau kuperkirakan, tamu yang akan datang bahkan enggak mencapai seratus orang. Mungkin hanya delapan puluh tamu.
Ah, pernikahan Mas Dika dan Mbak Mika—aku baru tahu nama calon istrinya waktu lihat namanya di janur kuning depan kafe—adalah impian semua orang di Indonesia. Intimate, yang datang hanya orang-orang terdekat saja. Enggak ada tuh, drama enggak kenal tamu sendiri gara-gara tamu yang dimaksud adalah keluarga jauh dari tantenya Ayah atau teman arisannya Ibu.
Akad nikah dimulai sekitar pukul delapan pagi di masjid yang letaknya tepat di seberang kafe. Sambil merekam, aku berusaha menahan tawa ketika lidah Mas Dika terpeleset saat mengucapkan ijab kabul. Kata-kata tersebut harus diulang dari awal. Kelihatan jelas kalau Mas Dika gugup setengah mati. Setelah percobaan kedua, akhirnya ia berhasil dan para saksi mengucapkan 'sah'. Akhirnya, Mas Dika resmi melepas masa lajangnya.
Setelah menandatangani buku nikah dan bertukar cincin, kukira Mas Dika akan mencium kening istrinya sebagai ungkapan cinta sekaligus tanda bahwa mereka telah halal jika bersentuhan, seperti pengantin-pengantin lain. Ternyata ... mereka malah handshake ala-ala Peter Parker dan Ned Leeds di film Spider-Man! Lawak banget pasangan suami istri ini. Dengan sigap aku merekam handshake mereka.
Setelah akad nikah, ada break sampai jam sebelas siang. Sebelum resepsi dimulai, aku memotret sudut-sudut kafe yang menurutku cantik. Waktu lagi membidik dekorasi di dekat prasmanan, fokusku tertuju pada seorang pegawai katering yang rambutnya panjang bergelombang berwarna kecokelatan, diikat menjadi buntut kuda. Ia mengenakan kemeja polos berwarna rose pucat. Posisi cewek itu membelakangiku. Aku enggak bisa melihat wajahnya, tetapi sosoknya familier banget.
Hah? Enggak mungkin 'kan dia ada di sini?
Aku masih ngamatin cewek itu lewat layar LCD kamera DSLR-ku. Bersama seorang wanita paruh baya, ia menata berbagai macam kue dan pastry kecil di atas display yang berbentuk rak susun. Di posisinya sekarang, aku bisa lihat bagian samping wajahnya. Spontan kupencet tombol shutter. Aku menjauhkan kamera dan mengamati cewek itu lewat layar. Gambar tersebut ku-zoom in.
Katanya, setiap orang punya tujuh kembaran di seluruh dunia walaupun enggak sedarah. Kukira teori itu cuma diucapin sama orang iseng dan cuma buat nakut-nakutin doang, tapi sekarang aku percaya. Ini terlalu mirip. Kirain minus di mataku bertambah, tapi dilihat dari samping juga mirip banget.
Aku pengin ngambil beberapa gambar lagi, tetapi cewek itu berbalik badan dan menangkap pandanganku. Langsung saja aku berpura-pura mengabadikan hal lain walaupun jantungku rasanya mau meledak. Resepsi hampir dimulai, tetapi aku enggak bisa fokus pada pekerjaanku.
Enggak, Elio. Kamu sudah dibayar. Harus profesional. Fokus aja motret selama acara berlangsung!
*****
Pukul dua siang, acara resepsi pun berakhir. Kedua pengantin sudah meninggalkan pelaminan dan nyaris sebagian besar tamu sudah pulang. Kafe lengang untuk sejenak, yang tersisa adalah tim dekorasi, cleaning service, dan pegawai katering. Mas Dika berpesan, akan ada boks konsumsi untukku dan sebaiknya jangan langsung pulang setelah resepsi berakhir. Jadi, aku duduk di salah satu kursi makan, bersabar menunggu bagianku. Lumayan, makan siang gratis. Tadi pagi cuma makan roti selai kacang dan aku super lapar.
Aku menoleh ke bagian prasmanan. Stand makanan berat sudah ludes, stand minuman juga sudah kosong. Namun, masih ada beberapa pencuci mulut di salah satu stand. Pegawai cewek tadi memasukkan kembali kue-kue dari rak display ke dalam boks kontainer. Mungkin sisanya akan dibawa pulang oleh pengantin. Tanpa diperintahkan, badanku berdiri. Langsung saja kuhampiri cewek itu ke stand.
Sesampainya di sana, aku enggak langsung mengajaknya bicara. Aku mematung di depan stand kayak orang goblok. Lagi pula, aku harus ngomong apa? 'Hai, kamu siapa, ya? Kok kamu mirip banget sama orang yang pernah kukenal?', gitu?
"Kenapa, Mas? Dari tadi ngelihat ke sini terus. Penasaran mau icip?" Ibu-ibu yang mengenakan seragam yang sama seperti cewek itu mengajakku bicara.
Aku tertegun. Alih-alih menjawab, aku malah fokus pada wajah cewek di sampingnya. Iris cokelat tua yang sama, bibir tipis yang sama, bahkan tingginya pun sama. Hanya saja cewek ini lebih kurus dan wajahnya lebih natural. Maksudku, sepertinya cewek ini enggak banyak memakai makeup. Beda banget sama dia yang tiap hari enggak bisa lepas dari makeup.
Ibu-ibu tadi mengambil mini pastry dengan selai stroberi dari dalam kontainer. "Ini best seller-nya kita. Cobain, Mas."
Aku mengambil mini pastry itu, lalu memakannya. Wah, rasa pastry ini di atas rata-rata! Menteganya meleleh di lidah dan flaky banget! Rasa buttery bercampur dengan manis dan segarnya selai, nge-blend banget di mulut.
Hah? Lebay kamu, Elio! Udah kayak food blogger aja. Tapi enggak bohong, mini pastry ini enak banget!
"Luna, Bunda mau ke toilet dulu, ya. Kamu beresin dulu sendiri." Ibu itu berkata pada si cewek, kemudian berjalan menjauh dari stand. Ah, jadi namanya Luna? Oke, ada kesempatan buat ngobrol sama cewek itu. Masalahnya, aku harus ngomong apa?
Kualihkan pandangan pada tumpukan kartu nama di atas stand. Kuambil satu, lalu kubaca isinya. "Délice Cake and Pastry? Loh, ini ... toko kue yang pernah ada di Dago itu, 'kan?"
Cewek itu mendongak ke arahku, lalu menjawab, "Iya, Mas. Dulu kami sempat punya toko sendiri di Dago, tapi sekarang kami cuma jual lewat online dan made by order."
"Aku tau toko ini. Dulu pernah viral, 'kan? Tapi, aku belum pernah beli sih." Bagus, Elio. Ada bahasan yang bisa dijadikan topik pembicaraan! "Enak, loh! Aku heran kenapa yang viral sekarang tuh malah toko yang ada di Jalan Citarum, bukannya Délice! Padahal yang itu overprice, enggak sesuai sama rasanya yang biasa aja."
Cewek itu tertawa kecil. "Dulu kami pernah viral, kok. Tapi ...." Ia mengembuskan napas berat. "Sama kayak bisnis lain, kita terdampak COVID-19. Udah syukur masih bisa bertahan, enggak sampai gulung tikar."
"Setidaknya masih bisa jualan, ya kan?"
"Tapi tetap aja sih, Mas. Sekarang sepi banget. Buat makan sehari-hari aja susah." Cewek itu tersenyum miris. Lalu, ia berkata dengan gugup. "Eh, maaf kalau saya oversharing."
"Santai aja." Lalu kuulurkan tangan padanya. "Kita belum kenalan, nih. Elio."
Cewek itu menyambut uluran tanganku. "Luna."
"Enggak terdampak COVID-19 aja, zaman sekarang segala macam sektor bisnis emang lagi struggling, sih. Aku punya home photo studio di rumah dan sepi juga."
"Oh ...." Luna manggut-manggut, seperti berusaha simpati padaku.
"Délice aktif di medsos enggak, sih?" tanyaku.
Luna menggeleng. "Enggak. Dulu kami sempat punya tim medsos sendiri, tapi sekarang yang pegang medsos full Bunda. Kami bingung harus posting apa. Biasanya, kami posting setiap ada yang beli, semacam testimoni gitu. Sisanya ... belum kepikiran."
Tiba-tiba saja, terbesit satu ide di otakku, sebuah ide cemerlang yang mungkin bisa membantu bisnisnya. Sekaligus ... menguntungkan untuk diriku sendiri.
"Gini, Mbak Lun. Coba aktif aja dulu di medsos, terutama Instagram. Biasanya, orang-orang tertarik beli kalau medsosnya sering update," ucapku sambil mengangkat kamera, "buat awalan, gimana kalau nge-post foto-foto produk dulu, biar bisa sekalian update price list juga? Enggak harus semua, yang best seller aja dulu. Aku bisa bantu buat foto produknya."
"Maksudnya? Tapi, saya enggak bisa bayar jasa fotografer—"
"Gratis, kok." Aku tersenyum. Ya, Délice Cake and Pastry ini bisnis kuliner yang cukup potensial. Mereka pernah berjaya. Jika aku ambil proyek ini dan media sosialnya melejit, namaku juga akan ikut melambung. "Aku sering pegang bisnis F&B, tapi kalau kue dan pastry belum pernah. Lumayan buat nambah-nambah portfolio. Nguntungin di aku, nguntungin di Délice juga. Gimana?"
Luna diam, terlihat berpikir keras untuk beberapa detik. "Oke, deh. Tapi, saya harus diskusi dulu sama Bunda."
"Gampang. Enggak buru-buru, kok." Aku membuka resleting waist bag, mengeluarkan pulpen dan notes kecil dari dalam sana. Setelah menuliskan sesuatu di halaman yang kosong, kurobek halaman tersebut dan kuberikan pada Luna. "Nanti kalau mau hubungi aku di sini, ya. Ada kontak WA, terus Mbak Luna juga bisa lihat-lihat portfolioku dulu di website ini."
Luna menerima sobekan notes dariku. Bersamaan dengan itu, seorang pegawai mendatangi kami dan menyerahkan boks konsumsi. Setelah ibu Luna kembali dari toilet, ia juga membungkus beberapa mini pastry untukku. Tentu aku sungkan dan menolak, tetapi mereka memaksa. Jadi kuterima saja. Setelahnya, aku berterima kasih dan pamit untuk pulang.
Pukul setengah tiga sore, aku sudah bergulat melawan lalu lintas Kota Bandung. Sekarang akhir pekan, wajar saja jika jalanan macet. Sambil bersenandung dan tersenyum, aku mengendarai Honda PCX 160 hitamku hingga sampai di rumah. Aku enggak sabar menunggu Luna menghubungiku.
Waktu itu, aku enggak nyangka pertemuanku dengan cewek random di acara pernikahan yang enggak kalah random akan mengubah hidupku selamanya.
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
25 Mei 2024
*****
Mika sama Dika udah dapetin happy ending-nya mereka. Luna sama Elio kira-kira kapan ya?
Yha, baru aja kenal😫 Sabar ya, perjalanan masih panjang (dan berliku)
Anyway, just ask, kalian kalau baca cerita lebih suka yang happy ending atau sad ending sih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top