39 | Luna

Bunda mengunjungiku setiap waktu makan. Beliau meletakkan piring dengan nasi dan berbagai lauk di atasnya, serta gelas berisi air mineral di meja belajarku. Ketika berbalik badan dari tembok, wanita itu sudah hilang dari pandangan. Dengan ogah-ogahan aku mencoba bangun dan menelan suapan pertama, tetapi semua lauk rasanya pahit di lidah dan lambungku semakin mual. Bahkan ketika perutku mulai berbunyi dan tubuhku terasa amat lemas, hasrat untuk mengisi perut sudah benar-benar hilang. Meskipun begitu, aku tetap memaksakan diri untuk makan karena sudah telanjur salatri.

Malam ini pun aku masih kesulitan tidur nyenyak. Tahu-tahu saja di luar sudah terang dan Bunda masuk ke kamar membawakan sarapan pagi. Wanita itu selalu memberikan lauk baru untukku meskipun makanan di piring sebelumnya belum tandas. Aku masih enggan bangun dari ranjang. Sarapan yang dibawa Bunda sama sekali tidak kulirik. Pasti lauknya pun sudah dingin. Ah, mau hangat ataupun tidak, aku memang tidak bernafsu memakannya.

Lagi pula, untuk apa makan jika sudah berniat untuk mati perlahan?

Di tengah lamunan panjang, aku dikejutkan dengan getaran di ponselku. Dengan malas aku meraba-raba ranjang untuk mencari benda pipih itu. Ketika melihat layar, rupanya Clarissa yang menghubungiku. Sekarang masih jam sepuluh pagi, bukankah cewek itu sedang bekerja? Aku mendesah pelan. Sahabatku yang satu itu gigih sekali meneleponku berulang-ulang dua hari ini. Aku lelah menolak panggilannya, jadi kuputuskan untuk mengetuk ikon telepon hijau kali ini.

"Halo?" Akhirnya aku bangun dan menjawab.

"Luna! Ya ampun, akhirnya dijawab! Kenapa sih enggak balas chat dan ngangkat telepon dari kemarin?" Clarissa berbicara cepat dari seberang telepon. Aku mengernyit dan refleks menjauhkan ponsel dari telinga.

"Aku lagi enggak ada energi buat bales. Bukannya udah biasa ya kalau aku slow response?" balasku datar.

"Iya, kamu emang pernah enggak balas chat-ku tiga bulan, tapi IG-mu juga ilang! Kamu kenapa sih sampai deactivate medsos? Kamu enggak apa-apa, 'kan?" tanya sahabatku itu dengan nada khawatir.

"Lagi pengin aja deactivate medsos, biar hati damai," ucapku, lagi-lagi dengan nada datar.

"Lun, kamu tuh social media junkie! Jujur sama aku, kamu lagi ada masalah apa? Kamu enggak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"

Aku mendesah panjang. "Emangnya aku bakalan ngapain, Ris?"

Terdengar geraman putus asa dari seberang telepon. "Aku udah tau kalau selama ini kamu punya depresi dan gangguan kecemasan. Enggak usah pura-pura lagi!"

Mataku membola saking terkejutnya. Hening untuk beberapa detik ketika otakku mencoba memproses perkataan Clarissa. "Kamu ... tau dari mana?"

"Enggak penting aku tau dari mana. Suara kamu kayak orang lemas, enggak ada gairah hidup. Kamu deactivate medsos. Kamu enggak balas chat orang-orang, seolah-olah ngilang gitu aja. Aku khawatir, Luna!" seru cewek itu.

"Ris, kamu tau dari mana?" Aku mengulang pertanyaanku.

"Dari Kak Elio! Puas?" balasnya.

Bola mataku kian membulat. "Bentar. Kenapa kamu—sejak kapan kamu kenal Kak Elio?"

Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku, sampai-sampai aku tidak tahu harus melontarkan yang mana dulu. Semuanya kian membingungkan. Kenapa Clarissa bisa tahu dari cowok sialan itu? Memangnya mereka pernah mengobrol?

"Enggak penting, Lun. Yang penting sekarang tuh keadaan kamu. Kita sahabatan enggak cuma satu dua tahun, loh. Kamu tau gimana perasaanku waktu tau kamu sakit dari orang lain, bukan dari kamunya langsung? Sakit, Lun!"

Aku mendengkus kasar dan memijat pangkal hidung. "Maaf. Aku sengaja enggak cerita karena enggak mau bikin kamu khawatir. Kita udah beda kota, kamu sibuk kerja, aku enggak mau kamu kepikiran soal aku. Lagi pula, aku bisa handle masalahku sendiri."

"Tapi dengan diamnya kamu, itu bikin aku makin khawatir! Apalagi setelah sikap ganjil kamu waktu terakhir kita ketemu!" sembur Clarissa. Lalu terdengar kegaduhan dari seberang telepon. Samar-samar terdengar suara orang lain dan suara seseorang memukul permukaan yang keras berkali-kali, seperti papan kayu. "Maaf, saya lagi nelpon!" Suara cewek itu sedikit menjauh, kemudian normal kembali. "Sori, aku lagi di toilet kantor."

"Kerja, Ris, bukannya nelpon aku."

"Tau enggak? Aku bela-belain nelpon kamu padahal deadline kerjaanku lagi banyak banget! Sekhawatir itu aku sama kamu, Lun! Kamu sahabat aku. Aku enggak masalah kamu mau ngacangin chat aku berbulan-bulan, chat Kak Elio juga. Aku enggak masalah kalau kamu lagi enggak punya energi buat ngobrol sama aku, tapi bisa enggak sesekali ngasih kabar gimana keadaan kamu? Atau minimal angkat telepon? Supaya aku enggak kepikiran dan bisa fokus kerja."

Alisku spontan bertaut. "Kak Elio ngadu sama kamu gara-gara chat-nya aku kacangin? Dia bilang apa?"

"Dia juga khawatir sama kamu. Dan enggak, dia enggak ngadu. Dia benar-benar concern sama keadaan kamu sampai enggak ada pilihan lain selain nanya aku, tapi aku yang bahkan dekat banget sama kamu aja enggak tahu kabar kamu! Bayangin gimana paniknya kita berdua!" Cewek itu tidak berhenti mengomel.

Inilah alasan mengapa aku enggan menceritakan penyakitku pada orang-orang. Mereka akan khawatir berlebihan dan akan membuatku semakin tertekan. Padahal, aku akan cerita dengan sendirinya jika aku ingin, atau jika keadaanku sudah membaik. Mengapa sulit sekali untuk mengerti, sih? Mengapa mereka tidak mau membiarkanku sendirian untuk menenangkan diri? Justru semua pertanyaan mereka yang membuatku semakin menderita.

"Luna." Terdengar ketukan di pintu kamarku, lalu seseorang membukanya. Aku mendongak dan menjauhkan ponsel dari telinga. Wajah Bunda menyembul di celah pintu. "Ada Elio di luar. Katanya mau ketemu kamu," kata wanita itu.

Kak Elio? Yang benar saja!

"Lun? Kamu masih di sana?" Terdengar kembali suara Clarissa di telepon.

Aku kembali mendekatkan benda pipih itu ke telinga. "Ris, sekarang aku baik-baik aja. Serius. Kita ngobrol lagi nanti, ya. Ada yang harus kuurus dulu."

"Luna—!" Kuputus sambungan telepon dan suara Clarissa pun lenyap.

Aku turun dari ranjang dan mengikuti Bunda keluar kamar. Tanganku terkepal saking geramnya, rahangku mengeras. Emosi yang selama ini tidak ada tiba-tiba muncul ke permukaan. Aku tahu siapa yang sepatutnya disalahkan atas semua penderitaan yang kurasakan beberapa hari ini, dan kepada orang itulah aku harus memuntahkan seluruh amarah yang bergejolak di dadaku.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

14 Desember 2024

*****

Selama dua puluh sekian tahun Nat Winchester hidup, baru tau kata 'salatri' udah ada di KBBI😭🫵 Sundanese pride

Anywaaay, di next chapter kita bakalan ketemu Elio lagi~

Yang enggak sabar pengin tau lanjutannya bisa langsung mampir aja ke KaryaKarsa.
Di sana udah update sampai chapter 46, banyak yang manis-manis pula🫠

Search NatWinchester di KaryaKarsa atau klik link di bio~

See you very soon❤️


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top