37 | Luna
Aku menghabiskan sore ini dengan stalking akun Instagram Helena Anindita. Setiap melihat ia berfoto bersama Kak Elio, tertawa bersama, bahkan ... melihat reel waktu Kak Elio merangkul dan mencium pipi cewek itu, hatiku semakin nyeri, tetapi entah mengapa aku terus melakukannya. Sudah telanjur sakit hati, jadi sekalian saja 'kan? Supaya lega setelah selesai menangis?
Aku terperanjat ketika melihat jam di layar ponsel. Pukul empat sore. Astaga! Hari ini Ayah mengajakku bertemu di sebuah restoran di daerah Asia Afrika. Hampir saja aku terlambat. Langsung saja aku mengusap air mata dan turun dari ranjang, mengganti baju dan memesan ojek online menuju lokasi pertemuan.
Oke, mari lupakan sejenak cowok sialan itu.
Untung saja jalanan sore ini belum macet. Perjalanan hanya memakan waktu setengah jam saja. Rupanya, aku sampai lebih dulu di restoran. Kusebutkan nama Ayah pada waiter karena katanya beliau sudah memesan tempat, dan sang waiter pun menuntunku menuju meja yang sudah diberi label 'reserved'.
Semoga saja berbicara dengan Ayah bisa membuat suasana hatiku menjadi lebih baik.
Aku memesan air putih terlebih dulu sambil menunggu Ayah datang. Kukabari pria itu lewat WhatsApp, tapi sayangnya centang satu. Ah, sepertinya ponsel Ayah kehabisan baterai saat sedang di kantor.
Tidak lama kemudian, pesananku datang. Aku meneguk air mineral sambil melihat ke sekeliling. Sore ini restoran ramai. Banyak keluarga yang datang. Ibu, ayah, dan anak-anak mereka. Semuanya ceria, berinteraksi layaknya keluarga bahagia. Aku jadi iri, mengingat keluargaku tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu. Cepat-cepat kugelengkan kepala. Tidak apa-apa, setidaknya Ayah sudah mau memperbaiki hubungan kami yang sempat rusak, 'kan?
Menit demi menit berlalu. Aku berkali-kali mengecek jam di ponsel yang hanya bergerak sekitar sepuluh hingga lima belas menit saja. Kuedarkan pandangan ke sekeliling, ke pintu masuk, mencari presensi Ayah, tetapi pria itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Aku mengecek WhatsApp, masih centang satu. Ketika kutelepon, nomornya berada di luar jangkauan.
Aku positive thinking saja karena Ayah memang tidak pernah membawa charger ke kantor. Sekarang sudah jam lima sore. Mungkin beliau sedikit terlambat karena ada pekerjaan mendadak.
Waktu terus berjalan hingga tidak terasa langit yang awalnya biru cerah kini telah menggelap. Kucek ponsel, sudah jam enam sore lebih sedikit. Senyumku mulai hilang dan aku mulai kesal menunggu Ayah. Kenapa harus terlambat? Kenapa tidak ada kabar sama sekali darinya? Kalaupun benar ponselnya habis baterai, memangnya beliau tidak bisa meminjam ponsel koleganya untuk mengabariku dulu? Apa aku pulang saja? Tidak! Bagaimana jika aku pulang dan Ayah malah sedang menuju ke sini? Aku tidak ingin Ayah membuang waktunya sia-sia.
Sekarang pukul setengah tujuh malam. Sudah genap dua jam aku menunggu Ayah di restoran. Tiba-tiba saja, ada nomor tidak dikenal menghubungiku lewat WhatsApp. Langsung saja aku mengecek pesan yang masuk.
+6281xxxxxxxx
Luna, ini Ayah
Maaf Ayah enggak bisa datang hari ini
Ada sedikit masalah di rumah
Istri Ayah tahu kalau selama ini Ayah sering ketemu kamu
Dan sering pesan kue basah ke bundamu
Dia marah besar, ngelarang Ayah ketemu kamu lagi
Enggak ngerti juga dia tahu dari mana
Padahal dia udah resign lama dari kantor
Ini Ayah beli nomor baru khusus buat ngehubungin kamu
Kamu di mana sekarang?
Kabari Ayah secepatnya ya
Aku meremas ponsel kuat-kuat. Emosiku yang sejak tadi tertahan mulai meledak. Kupeluk tubuhku lalu membungkuk, menunduk, dan memejamkan mata sambil menangis di pahaku. Saking marah, sedih, dan kecewanya, hanya air mataku yang keluar. Dadaku terlampau sesak, tubuhku dan jiwaku terlalu lelah untuk mengamuk.
Cewek bodoh! Sudah kubilang dari awal kalau yang namanya laki-laki itu selalu mengecewakan! Untuk apa memberi kesempatan kedua buat ayahmu? Ngapain membuka hati buat Kak Elio? Toh, akhirnya kamu juga yang sakit hati.
Suara berisik itu membuat darahku mendidih. Helena Anindita, istri baru Ayah, keduanya wanita jalang yang menghancurkan hidupku! Namun, aku merasa tidak bisa marah pada mereka. Akulah yang seharusnya disalahkan di sini. Akulah yang lengah menerima kembali Ayah dalam hidupku, juga Kak Elio.
Aku duduk tegak, mengusap kasar kedua mataku. Kutekan tombol blokir di ruang obrolanku bersama Ayah. Aku tidak ingin berbicara dengannya lagi. Sekarang, dia sudah mati bagiku. WhatsApp Kak Elio juga kublokir. Kubangun kembali dinding pembatas yang pernah kuhancurkan karena hatiku terlalu lembek sampai bisa-bisanya menerima kehadiran mereka. Aku tidak tahu apa yang merasukiku waktu itu sampai bisa selengah ini. Mulai detik ini, aku tidak boleh lagi disakiti oleh dua Makhluk Mars sialan itu.
Tidak, blokir WhatsApp saja tidak cukup. Aku membuka Instagram dan memblokir dua akun milik Kak Elio. Namun, di kepalaku masih terbayang-bayang wajah Helena Anindita, duplikatku yang amat sempurna. Bagaimana jika aku deactivate akun Instagram? Biar tidak penasaran buka-buka profilnya lagi? TikTok dan Twitter juga sekalian.
Setelah deactivate semua akun media sosial, perasaanku menjadi lebih lega. Aku berjalan gontai menuju kasir dan membayar pesananku, kemudian keluar restoran dan menyeret langkah di sepanjang trotoar tanpa arah tujuan. Aku hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah. Asia Afrika malam ini ramai. Banyak wisatawan yang berfoto di berbagai situs bersejarah bersama orang-orang berpakaian aneh, seperti pocong, Hello Kitty, Transformer, semuanya mencari pundi-pundi rupiah untuk ditukar dengan sesuap nasi.
Mataku berat, kepalaku pusing karena terlalu lama menangis hari ini. Langkahku gontai dan terkadang nyaris tersandung kaki sendiri. Lampu-lampu jalan perlahan terdistorsi menjadi cahaya yang amat menyilaukan, pemandangan di depanku memburam dan berputar, semua orang di hadapanku pun berbayang. Aku berkedip beberapa kali agar tetap sadar, tetapi sulit ketika kepalaku terlalu berisik dan tidak punya lagi tenaga untuk tetap bertahan.
Tiba-tiba seseorang menabrak bahuku. Aku pun limbung dan jatuh.
"Astaghfirullah!" seru suara perempuan di dekatku. Seseorang meraih tanganku dan membantuku untuk berdiri. Namun, aku tidak melihat wajahnya karena sedang menunduk. "Maaf, Teh."
Tenaga yang tersisa di tubuhku telah habis. Alih-alih ikut berdiri, badanku malah mengeras. Aku menolak untuk bangun dan tetap duduk lesehan. Aku menatap kosong lantai trotoar berbahan paving block.
"Teh, maaf. Ada yang sakit? Ada yang luka?" kata perempuan itu khawatir, masih mencoba menarikku untuk bangun.
Hatiku yang sakit. Hatiku yang terluka.
"Teh, bangun, jangan duduk di tengah trotoar." Sekarang suara laki-laki. Tangan yang kokoh mengguncang-guncang bahuku, tetapi aku tidak peduli.
"Biarin ... aku di sini ...." Aku berkata dengan suara tertahan.
"Teh, ngehalangin jalan. Berdiri dulu yuk," kata laki-laki itu lagi.
"Biarin ... aku mati aja ...," lirihku sambil terisak. Air mataku mulai mendobrak keluar. Aku berjongkok di tengah trotoar dan mengubur wajah di paha, kemudian menangis lagi. Kali ini lebih kencang, lebih lepas, sampai-sampai bahuku naik turun dan napasku terengah-engah. Emosi yang sejak tadi terpendam keluar semua dalam satu tarikan napas.
Saat kegelapan meliputiku, rasanya di sekitarku menjadi lebih ramai. Suara yang terdengar bukan hanya milik si perempuan dan laki-laki, tetapi lebih banyak lagi. Anak-anak, bapak-bapak, semuanya bergumam tidak jelas, suaranya bercampur aduk dengan deru mesin kendaraan.
"Neng, teu nanaon? Hayu, gugah heula (Neng, enggak apa-apa? Ayo, bangun dulu)," ucap seorang laki-laki tetapi suaranya lebih berat. Ia mengelus-elus bahuku.
"Biarin aku mati!" jeritku frustrasi.
"Astaghfirullah, Neng, istighfar! Orang lain yang udah dipanggil Allah mah pengin idup lagi, pengin ibadah lagi biar banyak pahala. Ini Eneng malah pengin mati. Dosa, Neng ...." Suara dari seorang pria tua sok bijak membuatku semakin muak. Diam! Aku tidak ingin mendengar ceramah! Kalian tidak tahu apa yang sudah menimpaku hari ini! Kalau kalian yang mengalami, belum tentu juga kalian kuat.
Sakit. Aku lelah terus-menerus merasakan perih. Dadaku rasanya seperti ditindih beban yang amat berat. Sekalian saja tidak usah bernapas lagi, 'kan? Memang tidak ada cara lagi untuk meraih kedamaian selain mati.
Terdengar suara seorang perempuan yang lebih lembut. "Teh, saya enggak tahu Teteh kenapa, tapi bangun dulu, yuk? Kalau enggak pengin cerita enggak apa-apa, yang penting menepi dulu. Tenangin diri. Saya temenin."
Perempuan itu ... sepertinya tulus. Akhirnya aku melemaskan tubuh ketika orang-orang membopongku berdiri. Aku masih menunduk, berjalan gontai menuju tepi trotoar dan duduk di bangku komunal dekat sana. Orang-orang yang berkerumun di sekitarku satu per satu bubar, kecuali seorang cewek berhijab dan cowok dengan potongan rambut undercut. Ada pula satpam dengan logo salah satu bank swasta di seragamnya. Ternyata, sekarang aku sedang duduk di depan kantor cabang bank itu.
"Teh, minum dulu," ujar satpam itu sambil menyodorkan botol air mineral yang masih tersegel.
Badanku sekarang dalam mode autopilot. Dengan tatapan kosong, kubuka saja tutupnya dan mengambil tegukan pertama. Rasanya mual. Tubuhku saja sampai menolak air mineral. Kutatap lantai trotoar tanpa berkedip dalam waktu yang sangat lama. Aku ingin pergi dari sini, ke tempat di mana aku bisa sendirian tanpa rasa sakit, dan sudah jelas tempat itu bukanlah rumah, atau di mana pun di dunia ini.
"Teh, ke sini sama siapa? Sendirian? Perlu kami antar pulang?" tanya cowok dengan model rambut undercut itu.
Aku tidak berminat menjawab. Pikiranku terlampau penuh. Sebenarnya, banyak pertanyaan yang mereka ajukan padaku, seperti di mana aku tinggal, mengapa aku menangis dan menjerit histeris seperti tadi, dan sebagainya. Namun sekali lagi, aku masih tidak ingin memberikan jawaban. Untuk apa pula. Memangnya mereka bisa membuat perasaanku lebih baik?
Karena aku masih bungkam, ketiga orang tadi membawaku pergi dari sana. Sekali lagi, tubuhku masih dalam mode autopilot. Aku sudah tidak peduli lagi jika mereka semua ternyata orang jahat yang akan membawaku ke tempat berbahaya. Apa gunanya hidup? Toh, aku akan terus merasakan sakit. Tidak apa-apa jika mereka berniat mengambil ginjalku dan membiarkanku mati membusuk. Lebih cepat pergi dari dunia ini lebih baik.
Ternyata, mereka membawaku ke polsek terdekat. Aku dituntun untuk duduk berhadap-hadapan dengan seorang petugas, sedangkan tiga orang yang membawaku menceritakan apa yang terjadi. Setelahnya, mereka hilang dari pandangan. Polisi yang menanganiku berisik sekali. Ia menanyakan banyak hal, sedangkan aku sudah tidak punya energi untuk menjawabnya. Ketika pria itu memintaku untuk menyerahkan KTP, aku menurut saja, yang terpenting mulut bawelnya diam untuk satu menit saja.
"Aku ... mau pulang," kataku lirih. Hari ini cukup melelahkan. Kalau tidak bisa mati hari ini, setidaknya aku ingin kembali ke ranjang dan tidur sampai pagi.
"Ada wali yang bisa jemput enggak?" tanya pria itu.
Masih dengan tatapan kosong, aku menggeleng pelan. "Enggak apa-apa, saya pulang sendiri aja." Aku tidak ingin melibatkan Bunda. Aku pergi dalam keadaan baik-baik saja. Beliau akan kaget jika aku pulang dalam keadaan hancur begini.
"Enggak bisa. Nanti kamu kenapa-napa di jalan. Kita izinin pulang, asal ada wali atau kerabat yang bisa ngejemput. Kalau enggak ada, ya terpaksa menginap di sini," ujar polisi bertubuh buncit itu.
Tidak! Lebih baik tidur di ranjang sendiri, 'kan? Orang yang pertama kali ada di pikiranku selalu Kak Elio, tetapi dengan segera aku mencoret namanya dari kepalaku. Sayangnya Clarissa juga masih bekerja di Karawang. Akhirnya aku terpaksa memberikan kontak Bunda dan polisi di sana meneleponnya.
Setengah jam kemudian, wanita paruh baya itu datang, berjalan tergopoh-gopoh dari pintu masuk polsek menuju ke arahku. Ia masih memakai daster rumahan, hanya saja dilapisi jaket. Sepertinya beliau terburu-buru ke sini. Raut wajahnya terlihat amat khawatir. Kedua matanya berkaca-kaca. Tanpa basa-basi lagi ia memelukku yang duduk di sofa tunggu.
"Ya Allah ... Luna ... kamu kenapa bisa ada di sini? Kamu enggak apa-apa, 'kan?"
Bunda membombardirku dengan ratusan pertanyaan yang membuatku pusing. Katanya mengapa polisi bilang aku seperti orang linglung, mengapa aku bisa ditemukan di tengah-tengah trotoar ketika sedang menangis histeris, dan berbagai pertanyaan lainnya. Aku tidak tahu harus menjawab dari mana. Tiba-tiba saja air mataku menetes lagi. Dadaku kembali sesak.
Melihat Bunda sekhawatir ini ... sedangkan aku ... hanya bisa menyusahkannya. Padahal aku sudah berjanji tidak akan membuatnya khawatir dan menambah bebannya.
Emosiku tidak tertahankan lagi. Di pelukan hangat Bunda, tiba-tiba saja aku merasa lemah. Aku yang selama ini pura-pura kuat pun akhirnya tumbang. Aku pun menangis kembali di bahunya. Kedua tanganku balas mendekap tubuh wanita itu. Bahuku kembali naik turun seirama dengan napasku yang tidak beraturan.
Maafkan aku, Bunda.
Maaf.
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
30 November 2024
*****
Coba kasih aku emoji yang ngegambarin perasaan kalian waktu baca bab ini!
Kalau aku pas nulis: 😨😔😢
Anyway, chapter 38-43 udah update di KaryaKarsa ya! Search NatWinchester atau klik link di bio!
Kemarin KK emang error, update-ku enggak masuk ke beberapa notif pembaca. Aku udah hubungi pihak KK. Kalau seandainya kemarin notifnya enggak masuk, kalian bisa unfollow lalu follow lagi akun KK-ku, ya! Make sure kamu juga follow WP dan save cerita ini ke library supaya dapet update di sini, in case KK error lagi ke depannya.
See you very soon peeps~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top