34 | Elio

Setelah menerima e-mail itu, semua berjalan lancar. Semoga niat baikku ini membuahkan hasil yang baik pula. Mood-ku bagus banget, aku jadi kepengin ngajak Luna jalan.

Kebetulan, lagi ada film fiksi ilmiah yang katanya seru di bioskop. Orang yang pre order tiket lewat online banyak banget, sampai harus bangun tengah malam buat booking tempat duduk. Sayangnya, aku kesiangan bangun waktu itu, jadi dapat tiket yang jam tayangnya agak malam. Kuberitahu Luna dan di luar dugaan ia mengiakan. Katanya, kalau siang-siang justru dia masih sibuk bikin kue. Pas banget. Nonton malam-malam bisa jadi healing buat dia.

Aku dan Luna memasuki bioskop pukul tujuh malam. Hari ini cewek itu pakai blus warna beige dan celana jeans, dilengkapi dengan flat shoes putih yang manis. Film belum dimulai, layar lebar masih menayangkan iklan-iklan. Di kanan kiri kami udah siap sedia popcorn dan soda.

"Ini ceritanya tentang apa, Kak?" tanya Luna sambil menyeruput soda.

"Jadi ada sepasang remaja di Amerika yang terpapar partikel asing dari dunia paralel. Mereka jadi bisa punya kendali terhadap waktu. Bahkan, si cewek jadi bisa ngelihat masa depan. Mereka satu sekolah, awalnya saling benci gara-gara salah paham, tapi akhirnya berteman waktu saling tahu superpower masing-masing. Tanpa sengaja, mereka nemuin rahasia besar tentang kehancuran dunia di masa depan." Aku menjelaskan panjang lebar.

"Sepasang remaja? Berarti cewek cowok? Terus mereka pacaran enggak pada akhirnya?" tanya cewek itu penasaran.

Aku tertawa kecil. "Ya enggak tau. Ini film sci-fi, Lun, bukan romance. Lagian dunia mau kiamat, siapa juga yang kepikiran buat pacaran?" Lalu intro film mulai diputar dan lampu bioskop satu per satu padam. "Sttt! Ngobrolnya nanti lagi. Udah mulai!" bisikku pada Luna.

Film berdurasi dua jam ini seru banget. Kadang, aku sampai enggak ngedip saking tegangnya. Kalau Luna, dia malah fokus sama adegan kocak kedua tokoh utama. Dasar cewek.

Di seperempat terakhir durasi, akhirnya kami sampai di klimaks cerita. Aku menoleh pada Luna dengan wajah excited. "Lun, plot twist-nya parah sih. Enggak nyangka ternyata bapaknya—" Ucapanku terhenti dan senyumku menghilang ketika melihatnya. Ternyata cewek itu ketiduran. Matanya merem, kepalanya nunduk, kedua tangannya dilipat di dada.

Duh, Luna, kalau lehermu sakit gimana? Blusmu juga tipis. Apa enggak kedinginan gara-gara AC?

Karena aku cowok yang baik, kulepas jaketku dan menyelimuti tubuhnya. Kuperbaiki juga posisi tidurnya. Kusandarkan kepalanya ke kursi bioskop. Namun, kepalanya malah jatuh ke bahuku. Luna bergumam enggak jelas, ia memutar sedikit tubuhnya dan meringsut mendekat. Kalau ini kartun, mukaku pasti udah merah kayak kepiting rebus.

Luna ndusel-ndusel di leherku, persis kayak anak kucing yang lagi nyari posisi tidur yang enak, lalu mengigau pelan. "Kak El ...."

Hah? Aku enggak salah dengar, 'kan? Tadi ... Luna nyebut namaku?

Aku diem, cengo kayak orang bego sambil senyam-senyum enggak jelas, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. Itu tadi beneran? Atau aku cuma halu doang? Aku balik natap layar, tapi jadi enggak fokus nonton. Speaker bioskop lagi enggak terlalu berisik, jadi kayaknya aku enggak salah dengar deh.

Enggak tahu, ah!

Waktu film udah beres, aku ngebangunin Luna. Dia langsung salah tingkah gitu, terus berkali-kali minta maaf gara-gara ketiduran. Ya enggak apa-apa sih, soalnya dia tidur di bahuku. Aku juga ikut senang. Dia balikin jaketku, tapi aku tolak dan nyuruh dia pakai aja sampai rumah, supaya enggak kedinginan waktu naik motor.

Setelah keluar dari bioskop, Luna enggak berhenti minta maaf. "Duh, Kak, maaf banget ya. Padahal ini film kesukaan Kakak, tapi aku malah ketiduran. Seharian ini pesanan kue lagi banyak, aku udah di dapur dari subuh."

"Ya udah, mau gimana lagi. Enggak apa-apa, kok. Sekarang mau langsung pulang?"

Cewek rambut cokelat bergelombang yang digerai itu ngecek jam di ponselnya. "Udah jam sembilan. Makan dulu gimana, Kak? Soalnya aku harus minum obat."

Langsung saja aku dan Luna menuju restoran fast food Jepang di dalam mal. Kami pesan masing-masing satu set chicken teriyaki bento. Luna cerita kalau dia enggak sempat makan siang. Pantas saja makannya lahap banget. Bahkan, kecepatan makannya hampir sama denganku. Padahal biasanya cewek-cewek makannya lama, 'kan?

Selesai makan, cewek itu membuka kotak obat kecil dan mengambil satu pil berwarna putih-biru, meminumnya, lalu meneguk air putih.

"Itu antidepresan?" tanyaku.

Luna menggeleng. "Bukan. Kalau antidepresan diminumnya pagi." Ia pun mendesah panjang. "Abis minum obat ini pasti aku tambah ngantuk."

"Emang bikin ngantuk, ya?"

Ia mengangguk. "Nyaris semua obat psikotropika bikin ngantuk. Soalnya biar kita tenang, supaya bisa istirahat."

Oke, itu pengetahuan baru buatku. Kami selesai makan sekitar pukul setengah sepuluh. Luna mengabari bundanya kalau ia pulang bersamaku, supaya wanita itu enggak terlalu khawatir. Saat berjalan keluar mal, tiba-tiba aku penasaran soal novel yang kemarin kuberikan padanya.

"Masih belum beres baca novelnya, Lun?" tanyaku.

Cewek itu entah kenapa jadi gugup. Dia membuka mulut, kayak pengin ngomong tapi enggan. "Oh, itu .... Anu ...."

Cepat-cepat aku menggeleng dan tersenyum supaya Luna enggak ngerasa bersalah. "Eh, enggak apa-apa, Lun, aku cuma nanya kok. Lanjutin aja bacanya kalau belum beres."

Luna buka mulut lagi, tapi akhirnya enggak jadi ngomong. Dia nunduk dan mengelus-elus lengan, kayak bingung mau ngapain. Suasana jadi canggung banget. Duh, aku jadi ngerasa enggak enak. Dia pasti sibuk banget bikin kue. Kalau aku nanya-nanya terus kesannya kayak terlalu maksa enggak sih?

Kini, kami sudah berada di luar gedung. Aku sengaja memarkirkan motor di seberang mal supaya biaya parkir enggak terlalu mahal. Lagi pula, kami parkir di toko buku. Sebelum nonton, Luna pengin mampir ke sana dulu. Jadi, ya sudah, sekalian saja.

Cewek itu menguap dan terkantuk-kantuk. Sesekali aku melihatnya menundukkan kepala sambil merem, lalu kembali tegak dan melotot saking kagetnya. Astaga, secapek itu ya ternyata? Kayaknya salah banget aku ngajak dia nonton di hari sibuk bikin kue.

Luna menyeberang jalan duluan tanpa melihat sekitar. Dari arah kanan lampu putih menyilaukan menyorot kami. Aku menoleh dan telingaku rasanya sakit mendengar bunyi klakson yang begitu nyaring. Mobil Avanza silver. Aku menoleh lagi pada Luna dan tiba-tiba cewek itu berubah menjadi sosok yang lain; cewek dengan fitur wajah persis sepertinya, dilapisi make-up tipis, kardigan putih dan dres bunga-bunga selutut, sepatu putih, rambut cokelat panjang bergelombang yang dikuncir kuda.

Itu ... kali terakhir aku melihatnya.

"Helena!" teriakku sambil menarik tangannya dan mundur kembali ke trotoar.

Mobil MPV dengan kecepatan tinggi itu melintas tepat di hadapan kami. Telat sedetik saja mungkin akan hilang satu nyawa malam ini. Cewek itu terhuyung ke arahku dan aku langsung menangkapnya.

Rasa takut yang amat besar meliputiku. Berita duka dua tahun lalu mendadak berputar lagi di kepalaku; Avanza silver, kecelakaan maut Jembatan Layang Pasupati. Hanya dengan mengingatnya saja tubuhku langsung bergetar hebat, oksigen di seluruh tubuhku seolah-olah disedot keluar. Sesak sekali rasanya.

Kulingkarkan kedua tangan di tubuhnya. Wajahnya kini terkubur di kemeja cokelat yang kukenakan, daguku menempel di pucuk kepalanya. Aku menunduk, memejamkan mata dan mengubur wajah di rambutnya. Pelukanku amat erat, enggak rela ngelepas dia lagi. Soalnya kalau kulepaskan, aku ... enggak tahu apa lagi yang akan terjadi nantinya.

"Jangan ... tinggalin ... aku ... lagi ...," bisikku dengan suara patah-patah. Kumohon, jangan pernah pergi lagi dariku.

"K-kak? Kakak kenapa?" Cewek itu menepuk-nepuk punggungku, berusaha melepas dekapanku. "Kak, lepas, sesak ...."

Kedua mataku terbuka dan aku kembali ke realitas. Suara itu ... milik Luna, bukan Helena. Dengan cepat aku melonggarkan pelukanku dan menunduk ke arahnya. Astaga, aku mikir apa, sih? Yang ada di hadapanku ini Luna, bukan orang yang sudah pergi dua tahun yang lalu.

Luna menatapku heran sekaligus khawatir. "Muka Kakak pucat. Kakak enggak apa-apa?"

Aku memaksakan diri untuk senyum dan menggeleng, lalu memeluknya lagi, kali ini lebih lembut dan enggak terlalu erat. "Enggak apa-apa. Lain kali kamu hati-hati kalau nyeberang, ya," ucapku lirih sambil mengelus rambut cokelat panjangnya.

"Helena siapa?" tanya Luna.

Jantungku seolah-olah berhenti. Aku melepas pelukan, kehilangan kata-kata. Keringat dingin menetes di dahiku. Sial! Kenapa harus keceplosan nyebut namanya, sih?

"Kak? Helena siapa?" desak Luna.

Elio, cepat cari alasan! "Hah? Siapa? Aku tadi neriakin Luna, kok." Ah, alasan bodoh! Luna mana percaya!

Kedua alis Luna bertaut. "Enggak kok, tadi jelas-jelas Kakak neriakin nama Helena."

"Kamu tuh lagi dalam keadaan ngantuk berat. Tadi sadar enggak kamu nyaris ketiduran pas lagi jalan? Kamu salah dengar kali." Aku merangkul bahunya dan menuntunnya menyeberang jalan raya menuju parkiran toko buku. "Mending sekarang kita pulang dulu. Udah malam, nanti bundamu khawatir. Istirahat dan tidur yang nyenyak biar enggak salah dengar lagi."

Kami berkendara pulang dalam diam. Memang dasarnya aku yang lagi ketakutan dan parnoan parah, keheningan di antara kami kerasa ganjil. Apa Luna bungkam karena kecapekan? Atau jangan-jangan dia sibuk mikirin siapa Helena?

Aku menggeleng, mengenyahkan segala prasangka burukku. Aku bukan cenayang, enggak ada gunanya juga menebak-nebak isi kepala orang. Kuharap semuanya baik-baik saja dan semoga yang terjadi barusan bukanlah bom waktu dalam hubungan kami.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

9 November 2024

*****

Ups....🙈

Jadi aku nulis part ini sambil dengerin lagu My Chemical Romance - Helena, dan ada lirik yang bilang 'When both our cars collide.' Hm... tabrakan mobil ya ... menarik nih kalo mantannya Elio dikasih nama Helena🙂 Yaaa walaupun ini agak maksa sih, tapi Helena isn't a bad name.

Anyway, kalau kamu penasaran film apa yang ditonton Elio sama Luna di bioskop, coba main ke lapak ini

Selamat deg-degan nunggu POV Luna~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top