30 | Luna
| Play and listen to the multimedia for a better experience |
Maybe I know somewhere deep in my soul
That love never lasts
And I've always lived like this
Keeping a comfortable distance
And up until now I had sworn to myself
That I'm content with loneliness
Because none of it was ever worth the risk
But you are the only exception
*****
Setelah mengunjungi Jakarta Aquarium di Neo Soho Mall, aku dan Kak Elio berburu kue dan pastry yang sedang hits di beberapa toko di Jakarta. Lumayan, kulineran sekalian riset kompetitor.
"Oke, sekarang kita ke mana lagi, nih?" tanyaku dengan senyum lebar sambil memakai seat belt. Kami baru saja mengunjungi salah satu toko pastry.
Kak Elio menganga, lalu menengok ke jok penumpang belakang di mana kotak-kotak pastry dan paper bag berserakan. "Buset! Kita udah beli banyak banget. Ini kamu mau riset kompetitor atau diem-diem kelaparan?"
Aku nyengir. "Mumpung lagi di Jakarta, Kak."
Cowok itu menengok smartwatch-nya. "Iya sih, tapi kita udah beli semua pastry best seller dari top three patisserie di Jakarta, 'kan? Kalau belum OTW Bandung sekarang ntar kemalaman sampainya loh."
Aku mencebik, tetapi kemudian mengangguk. "Ya udah deh kita pulang sekarang. Makan malamnya sambil jalan aja kali, ya? Sekalian coba sandwich croissant yang tadi dibeli."
Kak Elio mengangguk, lalu mulai menyalakan mesin mobil. "Oke, nanti kita berhenti dulu di rest area."
Kami pun berkendara pulang. Sekitar jam tujuh malam, kami menemukan rest area terdekat. Sambil menikmati makan malam, kami mendiskusikan sandwich yang kami beli dan mencatat improvement apa saja yang harus dilakukan Délice Cake and Pastry agar bisa membuat croissant seenak ini.
Setelah makan malam, aku pergi sebentar ke toilet untuk buang air kecil. Namun, ketika aku kembali dan hendak duduk, tiba-tiba aku melihat dua benda di jok mobil. Aku mengambil barang tersebut sebelum duduk. Ada kotak persegi panjang kecil berwarna biru muda dengan pita silver dan buku dengan sampul gradasi hitam ke ungu.
"Apa ini, Kak?" tanyaku pada Kak Elio yang duduk di jok pengemudi.
"Buka aja kotaknya."
Aku menoleh sekilas ke arah cowok itu. Ia tersenyum manis. Karena penasaran, langsung saja kubuka kotak di tanganku. Ternyata isinya ... kalung silver berbandul bulan sabit dengan beberapa batu kristal biru di tengahnya. Cantik sekali.
Mataku membola. Aku membuka mulut, hendak berbicara, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Akhinya aku mendongak ke arah Kak Elio dan bertanya, "Ini apa, Kak?"
"Kalung," jawabnya santai.
"Iya tau kalung, tapi buat apa? Ada event apa?"
"Enggak ada event apa-apa. Pengin aja ngasih kalung buat kamu." Kak Elio mengambil kotak di tanganku, mengeluarkan kalung tersebut dan berkata. "Balik badan! Aku pasangin."
Aku berkedip beberapa kali. Masih linglung, tetapi menurut saja. Kurasakan kedua tangan Kak Elio mengumpulkan rambut cokelat panjangku menjadi satu, lalu menyibakkannya ke depan bahu. Tengkukku kini terekspos. Jemarinya yang sedang memakaikan kalung bersentuhan dengan kulit leherku, menghasilkan sengatan-sengatan listrik kecil yang membuat dadaku berdebar tak keruan.
Setelah selesai, aku berbalik badan menghadapnya. Kutundukkan kepala, melihat bandul bulan sabit yang menggantung di leherku dan meraba-rabanya dengan jempol dan telunjukku. Aku tidak pernah memakai kalung seumur hidupku, apalagi pemberian orang lain. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun ... bulan ... seperti namaku. Kristal kecilnya pun manis sekali.
Aku senang sekali. Rasanya dadaku akan meledak sekarang juga.
"Cantik."
Spontan aku mendongak pada Kak Elio setelah mendengarnya. "Eh?"
"Kamu cantik pakai kalung itu," pujinya. Otomatis pipiku memanas.
Aku berusaha mengalihkan topik supaya tidak makin salah tingkah. Kualihkan fokus pada buku di tanganku yang lain. Judulnya If The Moon Never Existed.
"Kalau ini apa?" tanyaku lagi.
"Oh itu novel," katanya, "novel romance ringan gitu. Cuma dua ratusan halaman. Coba kamu baca."
"Tapi ... aku enggak suka novel murni romance."
"Baca aja dulu. Banyak kutipan Instagram-able di situ."
Wajahku pun berubah cerah. "Yang bener, Kak?"
Kak Elio tersenyum sambil mengangguk. "Aku nemu rekomendasi novel ini dari pacarnya temanku. Katanya, alurnya bagus dan enggak pasaran. Isinya sweet dan heartwarming gitu. Aku tau kamu enggak suka novel yang murni romance, apalagi alur mainstream, makanya aku coba baca dulu. Menurutku sih bagus, aku yakin kamu suka."
Novel ini masih bagus dan terawat, sepertinya baru Kak Elio saja yang membacanya. Ada sedikit noda kekuningan, tetapi tidak mengganggu. Penulisnya tidak familier karena ini buku impor yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ah, sepertinya menarik. Aku menyisir halamannya cepat dari awal hingga tengah-tengah. Sekilas, aku melihat sapuan stabilo ungu di beberapa lembarnya.
"Ini Kakak yang anotasi?" tanyaku lagi.
Cowok itu mengangguk lagi. "Aku anotasiin kutipan yang menurutku bagus. Lumayan bisa difoto buat ngisi feed Instagram kamu."
"Bukannya Kakak enggak suka baca novel?"
Kak Elio menggaruk tengkuk dan diam sejenak sebelum menjawab. "Ya ... aku cuma penasaran aja novelnya beneran bagus atau enggak. Masa aku rekomendasiin ke kamu tapi akunya sendiri enggak baca?"
"Ya ampun ... padahal enggak usah maksain baca juga enggak apa-apa. Langsung aja rekomendasiin ke aku."
Wajah Kak Elio mendadak serius, tetapi senyumnya tidak hilang. "Tapi aku mau coba baca novel karena kamu suka baca juga. Boleh 'kan kalau aku mau mengenal duniamu lebih jauh?" katanya dengan suara yang lebih deep.
Jantungku lagi-lagi berdetak kencang. Ah, Kak Elio ini kenapa, sih? Kenapa tidak bisa berhenti bikin aku tersipu dan salah tingkah kayak gini?
Perjalanan menuju Bandung pun berlanjut. Entah karena kecapekan menjelajahi kota orang atau karena hatiku terasa amat damai, tanpa sadar aku tertidur di sisa perjalanan. Kak Elio membangunkanku setelah sampai di depan kompleks perumahan. Aku sudah sepenuhnya segar dan bersiap membawa barang bawaan ketika mobil sudah sampai di depan rumah.
"Makasih banget ya, Kak! Aku seneng banget hari ini! Makasih juga kalung dan novelnya!" Aku pun pamit sebelum keluar dari mobil.
Cowok itu tersenyum sambil mengangguk. "Sama-sama. Aku juga happy kok hari ini."
"Besok istirahat, Kak. Kakak seharian ini nyetir terus, pasti capek banget."
Kak Elio tertawa kecil, lalu mengelus-elus puncak kepalaku. "Liat kamu seneng aja capekku langsung ilang, kok."
"Apaan sih," ketusku, tetapi bibirku sedikit berkedut membentuk senyuman kecil. "Udah ya, aku masuk."
"Oke! Night, Lun."
Aku pun keluar dari dalam mobil dan berdiri di depan pagar sambil melambaikan tangan. Honda Jazz putih Kak Elio bergerak menjauh dari rumahku dan menghilang ditelan kegelapan malam.
Padahal tubuhku lelah sekali, tetapi aku sama sekali tidak ingin tidur malam ini. Hormon bahagia meletup-letup di dalam tubuhku. Aku tidak pernah merasa senenang ini seumur hidupku. Aku mengubah posisi berbaring menghadap tembok, lalu menunduk dan menatap kalung bulan sabit pemberian Kak Elio. Senyum lebarku tak tertahan lagi. Aku menggenggam bandulnya, memejamkan mata dan menarik selimut.
Tahu-tahu saja aku sudah berpindah ke alam mimpi. Di tengah padang dandelion, di bawah langit biru yang cerah, kulihat Kak Elio yang berpakaian serbaputih berdiri di sana. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan padaku. Aku meraih tangannya dan kami pun berjalan beriringan di tengah hamparan bunga, tentu saja dengan jemari yang saling bertautan. Entah apa yang terjadi setelah itu, aku tidak mengingatnya ketika bangun. Namun, suasana hatiku menjadi amat baik di pagi harinya.
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
19 Oktober 2024
*****
Satu kata buat Elio di chapter ini?
Help aku nulis bab ini cekikikan sendiri kayak orang gila😭
Anyway, bingung enggak kenapa minggu ini Serene Night boom update?
Soalnya sekitar 20 tahunan yang lalu, tepat tanggal 19 Oktober, Nat brojol ke dunia. Jadi aku mau ngasih yang spesial buat kamu di hari ini🥳
Ke-uwu-an ini masih berlanjut! Selamat membaca chapter selanjutnya🤩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top