27 | Luna

Setelah pertemuan terakhirku dengan Ayah, hal-hal baik mulai berdatangan. Pesanan dari kantor Ayah selalu ada tiap minggunya, tetapi aku masih merahasiakannya dari Bunda. Followers Instagram Délice Cake and Pastry naik lumayan pesat dan banyak pesanan yang masuk, mulai dari yang jumlahnya satuan hingga lusinan. Aku dan Bunda mulai kewalahan menangani semua pesanan itu. Akhirnya, Bunda menyewa pegawai lepas harian untuk membantu kami.

Hari ini pun kami berencana membuat kue. Jam sepuluh pagi seorang pegawai lepas akan datang membantu kami. Kak Elio datang ke rumahku sekitar jam delapan pagi sebelum kami sibuk berkutat dengan peralatan baking. Cowok itu ingin membantuku membuat video Reel dan TikTok. Katanya, sebaiknya Délice Cake and Pastry juga fokus pada konten-konten video pendek, karena algoritma akan menyebarkan konten dengan format tersebut ke audience yang lebih luas. Bunda mengizinkan. Beliau malah senang jika aku bisa mencuri banyak ilmu dari cowok itu.

Pagi ini, dapur sudah dipenuhi oleh peralatan baking dan bahan-bahan kue. Kak Elio menunjukkan beberapa konten yang sedang trending di TikTok. Kami akan membuat ulang video tersebut menjadi versi kami sendiri.

"Nih, ada konten yang lagi viral. Nanti kamu tinggal pura-pura bikin kue aja, tapi mulutnya lipsync menyesuaikan audio. Oke?"

"Oke." Aku pun mengangguk.

Pertama-tama, Kak Elio mencari posisi dan angle kamera yang tepat. Tidak lupa pula mengamati pencahayaannya, memastikan tidak backlight atau over exposure. Setelah itu, ia mulai merekam aktingku menggunakan ponsel. Beberapa kali aku gagal dan tidak kuat menahan tawa, sehingga kami harus mengulanginya lagi dan lagi.

"Yang terakhir berhasil, 'kan? Kita pakai yang itu aja, ya. Yang lainnya hapus," kataku.

Cowok itu tidak menjawab, malah asyik menonton ulang video-video tadi. Sambil senyam-senyum aneh pula.

"Kak!"

Cowok itu berkedip, lalu mengalihkan pandangan padaku dan menyeringai jail. "BTS-nya aku simpen boleh enggak?"

Spontan aku melotot. "Ngapain disimpen?"

"Abis ekspresimu kalau lagi candid gini lucu," ucapnya tanpa dosa sambil menunjukkan ponselnya padaku. Di layar ada aku yang sedang cekikikan ketika pura-pura membuat kue.

"Enggak boleh! Hapus!" Aku mendekat dan mengulurkan tangan untuk merebut ponsel itu, tetapi Kak Elio malah menjauhkan tangannya. "Kakak! Siniin HP-nya!" Aku bergerak ke kanan untuk mengambil ponselnya, tetapi Kak Elio menghindar ke kiri, begitu pula sebaliknya. Lalu, cowok itu mengangkat tinggi-tinggi ponselnya. Menyebalkan! Aku yang hanya setinggi telinganya mana sampai?

"Kak, serius dong!" seruku yang mulai kesal.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki di belakang. Spontan kami menoleh dan melihat Bunda masuk ke dapur dengan langkah cepat, seolah-olah beliau adalah wanita paling sibuk sedunia. Ketika Kak Elio lengah, segera kurebut ponsel di tangannya.

"Luna!" protesnya.

"Sssttt!" Aku mendesis sambil menyembunyikan ponselnya di balik badanku.

Bunda yang sejak tadi mondar-mandir seperti mencari sesuatu akhirnya menoleh pada kami. "Loh, tadi katanya mau bikin video? Kok malah diem?"

"Tadi udah, kok," balasku.

"Oh ...." Lalu Bunda menoleh pada Kak Elio dan tersenyum lebar. "Makasih ya, Elio, udah bantuin Luna bikin konten sepagi ini."

Kak Elio langsung menghilangkan raut wajah jailnya dan tersenyum ramah layaknya 'anak baik-baik'. Aku pun memutar bola mata. "Iya, Tante. Maaf ya kalau tadi saya berisik," katanya.

Bunda pun tertawa kecil. "Ah, enggak kok. Saya yang harus minta maaf dan berterima kasih karena kamu udah banyak bantuin bisnis kami." Lalu, wanita itu menoleh padaku. "Bunda mau ke Pasar Baru sebentar. Ada bahan yang lupa dibeli kemarin. Terus, Teh Atikah enggak bisa ke rumah hari ini. Anaknya sakit."

Teh Atikah adalah pegawai lepas harian kami. Aku pun mengernyit. "Loh, nanti yang bantuin kita bikin kue siapa? Pesanan lagi banyak, loh!"

Bunda tersenyum lebar dan menoleh pada Kak Elio. "Elio lagi nganggur, 'kan?"

Kak Elio terkesiap dan menjawab dengan gugup. "Hah? Saya? Nganggur sih, tapi saya enggak bisa bikin kue—"

"Ajarin, Lun." Bunda menepuk-nepuk lenganku, masih dengan senyum lebarnya. "Bikin kue sus mah gampang, pemula juga bisa. Ya udah, Bunda pergi dulu, ya. Takut macet kalau kesiangan."

Aku membuka mulut hendak protes, tetapi Bunda sudah berlalu meninggalkan kami. Siapa bilang membuat kue sus itu mudah? Memang mudah bagi kami yang terbiasa membuat kue. Namun, bagi Kak Elio yang sehari-hari hanya memegang kamera mana bisa!

Akhirnya, aku hanya bisa mendesah pasrah. "Maaf ya, Kak, jadi ngerepotin."

"Ya ... mau gimana lagi." Kak Elio menggaruk-garuk tengkuknya canggung. "Aku enggak pernah bikin kue. Nanti kalau gagal gimana?"

"Kakak bantu aku bikin vlanya aja gimana? Lebih gampang, tinggal nyampur bahan doang."

"Oke, deh." Kak Elio pun mengangguk. "Ya udah, sambil kamu bikin adonan susnya, aku coba ambil beberapa footage aja. Nanti videonya bisa kamu jadiin konten semacam daily life as a baker gitu."

"Tapi jangan ngerekam yang aneh-aneh, loh!" protesku.

Cowok dengan kacamata bingkai tipis itu pun terkikih. "Iyaaa! Sana bikin dulu adonannya!"

Aku mendengkus. Tanpa membuang banyak waktu, aku pun mulai membuat adonan kue sus. Sambil berkutat dengan bahan-bahan kue dan peralatan baking, Kak Elio mengambil beberapa video. Cowok itu mengatakan aku tidak perlu memedulikannya, fokus saja membuat kue dan anggap saja ia tidak ada. Mana bisa semudah itu. Setiap kali aku bergerak, kamera selalu terarah padaku. Awalnya aku canggung dan risi, tetapi kucoba untuk fokus saja pada pekerjaanku. Lagi pula, video yang diambilnya pasti berguna untuk dijadikan konten. Aku harus bersabar sedikit saja.

Akhirnya, adonan sus telah selesai dibuat dan sudah dicetak di loyang. Kumasukkan loyang tersebut ke dalam oven. Kak Elio juga membuat video time lapse ketika adonan sedang dipanggang. Hasilnya pun cocok untuk dijadikan konten. Cukup menyenangkan melihat adonan yang awal mulanya kecil dan basah, lalu perlahan-lahan mengering dan mengembang di dalam oven.

Setengah jam kemudian, kukeluarkan sus tadi dari dalam oven dan membiarkannya dingin di suhu ruang. Setelahnya, aku memperlihatkan resep vla sus berbagai rasa pada Kak Elio dan menjelaskan cara membuatnya dengan kalimat sesederhana mungkin. Cowok itu mengangguk-angguk, tetapi aku tidak yakin ia mengerti sepenuhnya.

Sementara Kak Elio mencampurkan bahan-bahan vla, aku mencicil mencuci peralatan baking yang sudah tidak digunakan. Aku bisa stres sendiri jika harus mencucinya sekaligus di akhir.

"Lun?"

"Iya?" jawabku tanpa menoleh, masih sibuk mencuci mangkok stainless steel di wastafel.

"Ini ... katanya harus masukin vanilla essence secukupnya. Secukupnya itu segimana?"

"Satu atau dua tetes aja. Nanti harum vanilanya kerasa kok."

"Hah? Ini bentuknya serbuk, loh."

"Eh?" Aku menoleh pada Kak Elio yang sedang berdiri di depan meja stainless steel dengan raut wajah bingung sambil memegang bungkusan kecil. "Oh, itu vanili bubuk, Kak. Beda. Kita pakainya vanilla essence. Ambil aja di lemari yang tadi." Aku kembali fokus mencuci.

"Oke." Terdengar langkah kaki Kak Elio dan suara pintu lemari yang terbuka. "Bentuknya kayak gimana?"

"Botolnya warna putih merah, isinya satu liter," jawabku.

Kembali terdengar beberapa barang yang dipindah-pindahkan. Pasti Kak Elio sedang mengubek-ubek lemari. "Enggak ada, Lun."

"Ada, kok!"

"Enggak ada, Lun, sumpah. Coba kamu yang cari."

Aku mulai kesal. Dasar cowok! Kalau mencari sesuatu pasti dengan mulut, bukan dengan mata. "Bentar Kak, nanggung tinggal dua lagi."

"Sini dulu bentar!" desak cowok itu.

Aku masih fokus mencuci karena tanganku telanjur basah. Aku malas jika harus mengeringkannya, tetapi nanti basah lagi karena harus lanjut mencuci sisanya. Kak Elio terus memanggilku dengan tidak sabar. Akhirnya, aku mematikan kran air dan mengelap tangan dengan handuk kecil. "Sebentar!"

Baru saja berbalik dan hendak berjalan cepat menuju lemari, tiba-tiba saja dahiku menabrak sesuatu yang keras dan tajam.

"Aduh!"

"Aw!"

Aku meringis sambil memijit dahiku, sedangkan Kak Elio yang sudah berada di hadapanku pun mengaduh sambil mengelus-elus dagunya. Ah, jadi ketika aku berbalik dan hendak berjalan, Kak Elio pun bergerak mendekatiku, dan akhirnya kami pun bertabrakan.

"Aduhaduhaduh ... dagukuuu ...," keluh cowok itu. Ketika melihatku kesakitan, dengan sigap ia menangkup pipiku dan mengelus-elus dahiku, seolah-olah rasa sakit di dagunya sudah hilang dan malah berpindah ke dahiku. "Ya ampun, Lun, sori. Aku enggak tau kamu mau balik badan."

Aku pun mengangguk cepat sambil meringis. "Iya, iya, Kak. Enggak apa-apa." Padahal cuma nabrak dagu, tetapi dahiku rasanya sakit sekali. Memangnya dagu Kak Elio setajam itu, ya?

"Duh, sakit banget, ya? Soriii ...," kata Kak Elio panik sambil mengelus-elus dahiku lembut dengan jempolnya. Jari di tangan satunya lagi mengelus-elus pipiku. Wajahku seperti adonan kue yang diacak-acak, tetapi entah mengapa rasanya nyaman dielus-elus seperti ini. Jadi, aku berpura-pura kesakitan saja supaya posisi kami terus seperti ini.

Aku memejamkan mata sambil menikmati belaian jempolnya di wajahku. Ketika akhirnya rasa sakit itu memudar, aku membuka mata. Ketika mendongak, aku baru sadar kalau jarak wajah kami sudah amat dekat, mungkin hanya sejengkal. Kak Elio masih menatapku khawatir, dan entah mengapa aku senang ditatap seperti ini. Seperti ... akhirnya ada orang yang memberiku afeksi setelah lelah menghadapi masalah hidup yang tak ada habisnya. Aku bisa istirahat sejenak sambil dimanja.

Aku ingin terus begini.

Jantungku mulai berdebar cepat dan sentuhan jarinya di wajahku amat hangat. Jempol yang semula berada di dahiku, perlahan-lahan turun ke pipi. Cowok itu mengusap kedua pipiku lembut dan lagi-lagi aku mematung di sana. Serius, sepertinya Kak Elio punya semacam kekuatan magis yang selalu berhasil menghipnotisku.

Perlahan, jempolnya turun kembali ke ... bibirku. Ia mengusapnya perlahan. Kedua manik hitam legamnya yang semula menatap mataku pun turun ke bibir. Raut wajahnya yang semula khawatir kini melembut. Kedua lututku terasa lemas. Apalagi dari jarak sedekat ini, aku dapat mencium aroma tubuh Kak Elio. Campuran citrus dan green tea yang segar, semakin aku mabuk dibuatnya.

Apa ini? Seharusnya aku mundur dan menepis tangannya, 'kan? Namun, mengapa aku tidak melakukannya? Apa aku juga menginginkannya? Apalagi kami di rumah sendirian. Sudah gila kamu, Luna!

Bahkan ketika Kak Elio memejamkan mata dan perlahan mengikis jarak, lalu mengangkat daguku agar aku menengadah ke arahnya, aku masih diam di tempat. Poni curtain-nya jatuh mengusap wajahku. Hangat napasnya kian terasa dan dadaku rasanya hampir meledak. Ah, masa bodoh! Kututup saja mataku.

Dari luar rumah tiba-tiba saja terdengar pintu pagar terbuka dan seruan yang cukup keras. "Paket!"

Jantungku nyaris berhenti berdetak. Spontan aku melotot dan mendorong tubuh Kak Elio. Cowok itu pun limbung. Tangannya meraih meja stainless steel untuk berpegangan, tetapi permukaannya terlalu licin sehingga tangannya tergelincir dan menyenggol sekantong tepung yang ada di atas meja. Alhasil, cowok itu pun jatuh ke lantai, tertimpa tepung yang tumpah pula. Kemeja flanel dan wajahnya hampir seluruhnya berwarna putih.

Spontan aku melongo dan membeku di tempat. Tidak! Ini bukan waktunya buat bengong! Segera kuhampiri Kak Elio dan menarik tangannya untuk bangun. "Kak! Maaf refleks!"

Kak Elio melepas kacamatanya dan terbatuk-batuk. Butiran tepung beterbangan di udara. "I-iya, enggak apa-apa," katanya sambil meringis, "itu paketmu datang."

"Malah mikirin paket!" seruku sambil membantunya berdiri. "Bisa bangun? Ada yang sakit, enggak?"

"Badanku semuanya sakit," katanya sambil meringis, tetapi sambil cengengesan juga. Setelah kubantu, barulah ia bisa berdiri. Cowok itu menyapukan sisa tepung dari wajah dan kemejanya.

"Kak, aduh, aku ngerasa bersalah banget. Maaf ya, Kak ...," kataku memelas.

"Udah, enggak apa-apa. Salahku juga mau ci—"

Dengan segera aku membungkam mulutnya dengan telapak tangan. "Enggak usah diperjelas! Ya udah, aku mau ngambil paket dulu."

Kulangkahkan kaki secepat kilat menuju pintu depan, mengabaikan Kak Elio yang masih membersihkan diri di dapur.

Aku tidak pernah merasa semalu ini seumur hidupku. Wajahku panas sekali dan seharian ini aku tidak berani melirik cowok itu. Jantungku berdebar semakin parah. Atmosfer di dapur mendadak canggung sekali. Kami membuat kue sus dalam keheningan, bahkan hingga Bunda datang dan bertanya mengapa kami yang awal mulanya berisik tiba-tiba diam seribu bahasa, mengapa kami tidak lanjut membuat video untuk konten, dan mengapa pula kemeja Kak Elio kotor. Di antara kami tidak ada yang berinisiatif menjelaskan.

Seandainya Bunda tahu apa yang baru saja terjadi. Tidak! Jika Bunda tahu, namaku akan langsung dicoret dari kartu keluarga.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

28 September 2024

*****

"Kak Nat, Serene Night itu trope-nya apa sih?"

Maka dengan bangga aku akan menjawab: He fell first and HE FELL HARDER😭

Elio sekali lagi jatoh di depan Luna bakalan dapet piring cantik sih ini.

Anyway, kemaren-kemaren aku scroll TikTok dan enggak sengaja nemu influencer yang KOK ELIO BANGET LOOKS-NYA??? Curtain cut??? Kacamataan?? Atletis??? KAGET???

Ini aku capture dari TikTok breobreyen LOL

Minus kumisan sama bingkai kacamatanya tebal aja sih dia ini. Soalnya Elio tuh enggak kumisan dan bingkai kacamatanya tipis. Dan... agak terlalu bulky, tapi enggak tau kenapa pas ngedit bab ini dan ngedeskripsiin Elio, yang muncul di otakku malah orang ini😭

Kalian bayangin Elio mirip siapa? Atau punya bayangan sendiri di otak kalian?

Kalau punya bayangan sendiri enggak apa-apa sih, sebebas kalian aja bayangin Elio kayak gimana. Yang penting kalian nyaman bacanya😋

Oh iya, aku mau ngasih tau kalau bab-bab selanjutnya bakal penuh sama yang manis-manis, jadi siapin mental ya🔥 See you very soon!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top