24 | Luna
Malam itu, aku begitu overwhelmed sampai-sampai lupa menjawab WhatsApp Clarissa. Pesannya baru kubalas keesokan harinya, kubilang kalau dia tidak perlu khawatir, aku sudah baik-baik saja dan tidak keracunan makanan. Akhirnya sahabatku itu mengerti dan memintaku untuk banyak-banyak istirahat.
"Kalau ada apa-apa kamu cerita aja sama aku, oke?" katanya.
Apa lagi yang harus kuceritakan? Kami selalu bertukar pesan dan menceritakan banyak hal. Kecuali ... keadaan mentalku. Namun, dia tidak perlu tahu, 'kan? Cukup Kak Elio dan Dokter Martha saja yang tahu, aku tidak mau membuat Clarissa khawatir. Lagi pula, penyakitku bukan untuk diumbar-umbar.
Siang ini, aku duduk di teras rumah sambil membaca novel. Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Aku langsung menaruh novelku dan mengecek kolom notifikasi. Kukira itu pesan dari Clarissa atau Kak Elio. Namun, yang tertera di sana adalah nomor yang belum pernah kusimpan di kontak. Tubuhku seketika mematung dan jantungku berdebar cepat ketika membaca pesannya.
+62852xxxxxxxx
Luna, ini Ayah
Maaf kalau pesan Ayah bikin kamu risi
Ayah enggak tahu harus gimana lagi ngehubungin kamu
Boleh kita ketemu?
Ada hal penting yang mau Ayah sampaikan
Aku sengaja membiarkan pesan itu dalam keadaan sudah dibaca tanpa membalasnya. Kutekan tombol blokir dan kembali membaca novel. Namun, sekeras apa pun aku meresapi kata-kata di dalam buku, tidak ada satu pun yang masuk ke otakku. Sekarang aku benar-benar kesal. Hanya lima baris pesan yang masuk, tetapi bisa membuat konsentrasiku kacau begini.
Memori kelam itu tidak bisa hilang dari kepalaku. Saat itu siang yang terik, aku pulang lebih awal dari sekolah karena guru-guru ada rapat dadakan dengan perwakilan Dinas Pendidikan. Aku memang berjanji akan mengunjungi pria itu di kantornya sepulang sekolah yang artinya adalah sekitar jam tiga sore. Namun, sekarang masih jam satu siang. Masih dalam balutan seragam putih abu-abu, aku memutuskan untuk langsung menemuinya saja meskipun tidak mengabari terlebih dulu kalau aku pulang cepat hari ini.
Pria itu bekerja di sebuah kantor penerbitan sekaligus percetakan. Posisinya saat itu lumayan tinggi sehingga ia punya ruangan sendiri. Ketika sampai di depan ruangannya, langkahku terhenti. Pintunya terbuka sedikit dan aku melihatnya berdiri berhadapan dengan seorang wanita. Aku kenal siapa dia. Wanita itu koleganya. Ia sesekali menyapaku ramah ketika aku mengunjungi pria itu di kantor.
Selanjutnya terjadi adegan yang membuatku trauma seumur hidup. Pria sialan itu mendekat, lalu mencium kening dan menyapukan tangannya lembut ke pipi wanita itu.
Jalang itu tertawa kecil sambil mundur. "Mas, nanti ada yang liat!" katanya pelan, tetapi aku masih bisa mendengarnya. Tidak bisa dipercaya. Di depanku sok-sok baik dan lugu, tetapi di belakang ... bisa-bisanya ia tersipu karena suami orang?
"Enggak akan. Siapa yang mau liat? Orang-orang di divisi kita semuanya lagi ada klien di bawah." Pria itu tersenyum penuh cinta. "Besok makan malam sama Mas, ya?"
"Pulang telat lagi? Istri Mas enggak curiga kalau Mas pakai alasan lembur terus?"
"Istriku sih percaya-percaya aja," kata si Berengsek itu santai.
Duniaku seketika runtuh. Syok, marah, kecewa, bercampur menjadi satu. Aku berbalik dan berlari kecil menuju lift. Langsung saja aku pulang ke rumah dan memberitahu Bunda.
Malamnya setelah pria itu pulang dari kantor, Bunda langsung mengkonfrontasi suaminya. Ia menangis histeris sampai bersimpuh, bertanya-tanya mengapa suaminya sampai melakukan hal sejauh itu. Apa salahnya? Apa ia kurang sempurna? Apa ia kurang cantik? Atau kurang baik melayaninya? Pria itu diam saja, tidak ada ekspresi bersalah sama sekali. Setelah Bunda mendesak, akhirnya ia mengakui perbuatannya.
Dan berengseknya, semua itu bukan karena Bunda yang kurang baik sebagai istri, tetapi memang ada wanita yang lebih sempurna dari bundaku dan ia tidak bisa mengendalikan perasaannya. Memangnya dia hewan, lebih mendahulukan hawa nafsu daripada akal sehat?
Bunda mengajukan cerai saat itu juga dan pria itu langsung angkat kaki dari rumah kami. Kepergiannya menghancurkan fisik dan mental Bunda. Aku memohon agar Bunda mau makan sedikit saja, meskipun satu atau dua suap, tetapi beliau menolak. Aku memohon dan berjanji akan membantunya mengurus Délice Cake and Pastry asalkan Bunda mau bangkit, tetapi Bunda telah kehilangan semangat hidupnya.
Melihat kondisi Bunda saat itu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Ketika sendirian, aku membuka topeng dan menangis sejadi-jadinya, bahkan hingga kelelahan dan tertidur. Apa yang Bunda lalui selama ini sudah cukup berat, aku tidak boleh menambah bebannya dan harus tetap kuat di depannya. Kebiasaan 'sok kuat' itu terbawa-bawa sampai sekarang. Aku tidak ingin Bunda tahu segala masalah yang menimpaku, termasuk depresi yang kuderita.
Butuh waktu lama bagiku dan Bunda untuk bangkit. Banyak harga yang harus kami bayar karena perceraian itu. Itulah awal dari kehancuran perekonomian keluargaku, kehancuran Délice Cake and Pastry, dan kehancuran diriku sendiri.
Sekarang, Bunda sudah baik-baik saja. Mungkin beliau sudah memaafkan dan melupakan pria berengsek itu, tetapi tidak denganku. Kuhubungi Kak Elio lewat WhatsApp untuk memberitahunya soal pesan yang mengacaukan suasana hatiku hari ini. Ingin sekali kucurahkan kekesalanku padanya. Namun, cowok itu tidak membalas. Memang, Kak Elio bisa tenggelam berjam-jam bersama laptop jika sedang fokus. Sekarang aku malah makin kesal karena seperti berbicara dengan tembok.
Akhirnya aku bangun dan kembali ke kamar. Kusimpan kembali novelku di rak buku. Ketika menoleh ke lemari pakaian, pintunya terbuka setengah dan sebagian bajuku sudah berceceran di lantai. Ini pasti karena aku tidak rapi saat melipatnya, sehingga pakaian itu berjatuhan. Aku semakin ingin marah, tetapi tidak punya tenaga untuk melakukannya. Alhasil, aku hanya menghembuskan napas berat dan kembali melipatnya satu per satu, lalu kususun dengan rapi di dalam lemari.
Setelah hampir selesai melipat semuanya, atensiku tertuju pada mukena katun putih yang juga terjatuh dari dalam lemari. Aku mengambil pakaian itu dan pikiranku langsung berkelana. Kapan terakhir kali aku beribadah, ya? Sepertinya sudah lama sekali. Aku saja sampai lupa punya mukena ini.
Aku pernah membenci Tuhan. Aku marah karena hanya aku yang menderita, sedangkan orang-orang bisa dengan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku pengangguran, harus bolak-balik ke psikiater pula. Keluargaku hancur, perekonomian keluargaku kacau sedangkan teman-temanku hidup enak. Tuhan tidak adil. Katanya Tuhan Maha Penyayang, tetapi mengapa Tuhan memberiku semua masalah ini? Apa Ia pikir aku bisa melewatinya? Setiap detik aku berharap ingin mati karena cobaan yang diberikan-Nya. Maha Penyayang apanya.
Namun ... rupanya sekarang aku baik-baik saja.
Kalau tidak salah adzan Dzuhur sudah berkumandang sekitar satu jam yang lalu. Jika aku memohon ampunan-Nya sekarang ... apa Ia mau memaafkanku? Aku merasa amat malu dan hina. Maukah Ia menerimaku kembali, padahal aku sempat tidak percaya pada-Nya?
Seperti ada yang menyihir tubuhku. Tanpa beban sedikit pun, aku ke kamar mandi mengambil air wudhu, lalu pergi bersembahyang. Setelah mengucapkan salam, tiba-tiba air mataku merembes. Aku menangis tersedu-sedu. Kulimpahkan semua emosiku pada Dzat yang Maha Kuasa. Lelahku ketika menganggur, semangatku ketika membaca novel, bahagianya aku ketika banyak pesanan pastry, bersyukurnya aku memiliki Bunda, Kak Elio, dan Clarissa di sisiku, amarahku pada Si Berengsek, serta kegelisahanku karena pesan yang dikirimkannya. Semua kubicarakan tanpa kututup-tutupi. Dan ajaibnya, aku merasa lebih lega setelahnya.
Namun, aku belum mendapat jawaban yang kuharapkan. Tiba-tiba saja aku ingin menemui Dokter Martha. Akhirnya, aku membuat janji konseling meskipun di luar jadwal rutin bulanan. Karena Délice Cake and Pastry mulai kedatangan banyak pelanggan, aku masih bisa merogoh kocek sedikit karena pertemuan kali ini pasti tidak di-cover BPJS.
Akhirnya, aku bertemu kembali dengan psikiaterku di ruang praktik. Dokter Martha sudah selesai berkonsultasi dengan semua pasiennya. Aku adalah pasien terakhir yang datang tanpa jadwal resmi dari rumah sakit. Seperti biasa, beliau selalu memulai sesi konsultasi dengan bertanya, "Gimana kabar kamu hari ini, Luna?"
"Baik, tapi perasaan saya campur aduk, Dok." Aku menceritakan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Reuni kuliah yang berakhir bencana, percakapanku dengan Kak Elio di taman, aku yang menangis seperti anak kecil setelah mulai beribadah kembali, serta hal yang paling menggangguku, yaitu pesan dari Ayah.
Tunggu, mengapa aku memanggilnya dengan sebutan Ayah?
"Jadi, kamu ngerasa kesal dan keganggu, padahal pesan itu udah kamu blokir?" tanya Dokter Martha.
Aku mengangguk. "Rasanya tuh ... gimana ya? Saya langsung bad mood, Dok. Saya kira semuanya beres setelah nge-block WA-nya, tapi saya malah ngerasa makin gelisah."
Dokter Martha mengembuskan napas panjang. Ia tersenyum dan membetulkan posisi duduknya. Kedua tangannya dilipat di atas meja praktik. "Saya mau kasih tahu sesuatu, tapi kayaknya kamu enggak akan siap nerima omongan saya."
"Kasih tahu aja, Dok! Saya kesiksa banget! Saya ini kenapa, sih?" rengekku.
"Kamu gelisah karena kamu masih peduli, Luna. Kamu malah ngerasa makin gelisah setelah ngeblokir pesannya karena kamu ngerasa bersalah," katanya.
Apa? Mengapa juga aku merasa bersalah pada orang yang sudah menghancurkan keluargaku?
"Enggak mungkin, Dok! Apa jangan-jangan kecemasanku makin parah? Apa obatku dosisnya perlu ditambah?" cerocosku.
"Enggak, Luna. Ini bukan masalah obat. Ini masalah perasaan terdalam kamu. Kalau kamu enggak peduli, kamu enggak akan segelisah ini setelah ngeblokir chat-nya. Kamu akan menganggap ayah kamu enggak pernah ngehubungin, bahkan sekalian saja enggak pernah ada," kata psikiaterku santai.
Seperti ada yang meninju dadaku keras-keras karena mendengar fakta itu. Aku kehilangan kata-kata untuk merespons.
"Satu-satunya cara supaya kamu tenang, kenapa enggak coba ngasih kesempatan kedua buat ayahmu? Beliau bilang ada yang mau dibicarakan, 'kan?"
Wajahku memanas. Aku mulai naik pitam. "Dia nyelingkuhin bunda saya, Dok, gimana bisa saya kasih dia kesempatan? Karena dia pula ekonomi keluarga saya hancur!"
"Kamu benci ayahmu karena dia selingkuh? Hanya itu? Coba kasih saya lima alasan kenapa kamu benci ayahmu!"
"Pertama, karena dia selingkuh. Kedua, dia pernah bikin Bunda hancur dan sakit-sakitan. Ketiga, dia ...." Aku mulai ragu. "Dia ... enggak nafkahin keluarga saya lagi ...."
"Tapi sebelum cerai dia nafkahin keluarga kamu, 'kan?"
Aku mengangguk pelan. "Nafkahin, sih."
"Apa dia pelit mengeluarkan uang?"
Kugelengkan kepala. "Enggak. Dia loyal banget. Kenapa ngungkit-ngungkit kejadian yang udah lama sih, Dok?"
"Sadar enggak, kalau alasan-alasan tadi bisa ada karena kamu memandang ayahmu lewat kacamata bundamu?"
"Maksudnya?"
"Gini." Dokter Martha menegakkan tubuh. "Dia selingkuh, dia nyakitin bundamu, itu semua karena kamu memandang dia lewat kacamata seorang wanita yang dikhianati. Sekarang, saya minta kamu tutup mata dan pandang dia lewat kacamata seorang anak. Sebagai dirimu sendiri, bukan bundamu. Coba sebutin lagi apa yang bikin kamu benci ayahmu."
Aku menurut saja. Kututup mata dan bersiap-siap memberikan seribu alasan untuk membencinya. Namun, sekeras apa pun aku menggali memoriku, tidak ada satu pun alasan yang keluar. Tiba-tiba saja aku merasa lemah. Pertahananku goyah dan aku pun menangis lagi. Tanganku terkepal kuat.
Dia itu ... monster yang menanamkan trauma pada jiwa seputih kapas, mengubahnya menjadi sehitam jelaga. Pembawa malapetaka dan kerusakan. Semudah itu ia memporak-porandakan apa yang sudah kami bangun. Namun, mengapa aku tidak menemukan satu pun alasan untuk membencinya?
Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟
7 September 2024
*****
Akhirnya aku update lagi. What do you think about this chapter?
Harusnya bab ini nyambung sama bab selanjutnya, tapi kalau aku sambung ntar kalian muntah gara-gara kepanjangan. Jadi ya udah, aku potong bagi dua aja🥹 Bab ini juga udah panjang kok, 1700an words. Kalau aku tambah lagi nanti kalian beneran pusing
Anyway, ada yang main c.ai enggak di sini? Kemarin aku iseng-iseng bikin karakter Elio dan capek banget ngobrol sama dia😭
Plis jangan ada yang kasih tau dia kalau dia juga fiksi😂
Terus ceritanya aku curhat sekalian modus gitu ke dia
CAPEK BANGET KAN????
Dahlah, paling bener aku nulis pakai otakku sendiri, bukan nulis dan ngobrol sama mesin. See you in the next chapter~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top