18 | Luna

Akhirnya, aku dan Kak Elio setuju membuat jadwal olahraga pagi. Untuk awalan, kami akan jogging seminggu sekali. Aku yang mengusulkan karena sepertinya jogging paling mudah dilakukan dan pilihan olahraga yang Kak Elio berikan tidak ada yang menarik. Pertama, sepedaan, aku tidak punya sepeda. Dua, zumba, apa itu zumba? Seperti apa gerakannya? Ketiga, nge-gym, itu 'kan olahraga buat cowok?

Dan di sinilah aku, hari Jumat pagi, berjalan memasuki Lapangan Saparua bersama Kak Elio. Area olahraga ini punya jogging track yang cukup luas dan sepi berhubung bukan akhir pekan. Kami menepi di dekat tribune dan melakukan pemanasan. Matahari belum terlalu tinggi, sehingga cahaya yang menyorot kulitku masih terasa hangat.

Setelah pemanasan, aku bersiap menuju jogging track untuk lari, tetapi Kak Elio menahanku.

"Kenapa, Kak?"

"Kamu belum terbiasa olahraga. Mending kamu jalan cepat dulu tiga putaran. Di putaran keempat, baru jogging. Jangan cepat-cepat, santai aja. Oh iya, coba pantau detak jantungmu juga." Cowok berkacamata itu melepas smartwatch yang dikenakannya. "Mana tangan kirimu?"

Refleks aku mengulurkan tangan kiriku, lalu Kak Elio memakaikan smartwatch-nya di pergelangan tanganku. Jemarinya yang menyapu kulitku terasa dingin, tetapi ada sensasi hangat juga. Aku menelan ludah. Rasanya seperti ada arus listrik kecil yang menggelitikku dan membuatku mematung di tempat.

Setelah mengencangkan strap, ia lanjut berkata, "Kalau kamu ngerasa deg-degan atau capek banget, coba cek layarnya. Kalau detak jantungmu lebih dari seratus tujuh puluh beats per minute, istirahat dulu jangan dipaksa lari."

"Iya, Kak."

Lalu aku mulai jalan cepat di jogging track. Kak Elio menyusul setelahnya. Aku menoleh, rupanya ia menyamakan langkahnya denganku.

"Kenapa Kakak enggak lari?" tanyaku.

Ia membetulkan posisi kacamata yang bertengger di hidungnya. "Ya enggak apa-apa, bareng aja. Takut kamu ilang."

Astaga, memangnya aku anak kecil? "Emangnya aku bakalan ilang ke mana? Jogging track-nya sepi, loh."

Cowok itu tertawa kecil. Sambil memutar bola mata, aku kembali menoleh ke depan dan melangkah cepat. Setelah tiga putaran, kami pun mulai jogging.

Baru dua putaran aku berlari, tetapi rasanya seperti mau mati. Luna Swastamita, salah besar kamu memilih jogging. Siapa yang bilang jogging itu gampang? Buktinya sekarang kamu sudah kehabisan napas begini.

Aku mengecek layar smartwatch. Masih seratus lima puluh tiga beats per minute. Seharusnya masih aman. Aku harus lanjut berlari, tetapi rasanya seperti ada seseorang yang meremas paru-paruku amat kuat. Karena mulai lelah, kecepatanku pun menurun, sedangkan Kak Elio tidak. Cowok itu sekarang berlari di depanku. Jaraknya masih dekat, mungkin hanya setengah meter. Kak Elio sama sekali tidak terlihat lelah padahal sejak tadi aku sudah megap-megap seperti ikan koi.

Cowok itu menoleh ke belakang dan bertanya, "Masih kuat, Lun?"

Aku tidak menjawab, masih berusaha sekuat tenaga mengatur napas.

"Udah capek, ya? Ya udah, setelah putaran ini kita istirahat dulu di tribune." Cowok itu bicara sambil menyugar poninya yang sedikit basah karena keringat.

Pandangan kami masih bertemu dan waktu terasa melambat. Mungkin otakku sudah konslet karena berlari terlalu lama, soalnya Kak Elio terlihat sedikit keren, apalagi ketika menyugar rambut seperti tadi. Padahal sedang olahraga, tetapi tidak terlihat kacau sedikit pun. Aku tidak menyangka cowok yang hanya mengenakan hoodie dan celana olahraga selutut bisa tampil se-attractive itu. Lalu, kakinya yang mengenakan running shoes—tiba-tiba terkilir karena menginjak kerikil tak kasat mata, dan cowok itu pun limbung.

"Kakak!" Spontan aku berteriak dan mengulurkan tangan untuk menarik hoodie-nya. Ketika tubuh cowok itu nyaris jatuh, tangannya sigap menopang badan. Berkat aku menarik hoodie-nya pula Kak Elio tidak jadi mencium pasir merah di lintasan jogging track. Untung saja.

"Kak? Enggak apa-apa?" Aku membantunya berdiri. "Duh, kalau lagi lari lihat ke depan dong!"

Cowok itu tidak menjawab. Ia masih menatapku tanpa ekspresi sambil menyingkirkan pasir yang menempel di telapak tangannya.

"Kak? Pergelangan kakinya keseleo enggak? Bisa jalan?"

Perlahan, seringai jail tersungging di wajahnya. "Kamu khawatir sama aku?"

Aku melotot saking speechless-nya. Wajahku tiba-tiba terasa panas. Cowok sialan! Memangnya salah kalau aku refleks menanyakan keadaan orang yang baru saja terjatuh?

"Nyesel udah nanya!" kataku ketus.

Aku berbalik dan berjalan cepat untuk membuang jauh-jauh rasa maluku. Tawa menyebalkan cowok itu terdengar dari arah belakang. Tidak lama kemudian, Kak Elio sudah berada di sampingku. Ia menyejajarkan langkahnya denganku dan bertanya dengan nada yang tidak kalah menyebalkan. "Kamu ngambek? Hm?"

Bodo amat.

"Kalau ngambek gini bukannya serem. Malah lucu."

Lucu matamu!

"Yah, ngambek beneran. Maaf, ya?"

Minta maaf tapi ekspresi mukanya usil kayak gitu. Nyebelin. Aku memutar bola mata, menambah kecepatan, meninggalkan Kak Elio di belakang.

"Lunaaa, maaaaf. Pulangnya aku beliin kupat tahu, yaaa?"

*****

Aku merasa seperti cewek murahan. Disogok kupat tahu saja amarahku langsung hilang.

Setelah olahraga, kami langsung menuju tenda kupat tahu kaki lima yang ada di samping Lapangan Saparua. Kak Elio juga memesan es kelapa muda, sedangkan aku cukup hanya minum air mineral botolan saja.

"Kak, aku enggak mau jogging lagi. Capek banget!" keluhku sambil mengunyah kupat tahu.

Cowok itu tertawa kecil. "Itu karena kamu belum terbiasa. Kalau minggu depan nge-gym mau? Angkat beban enggak akan secapek kardio."

"Membership gym bukannya mahal ya, Kak? Aku enggak ada uang."

"Bisa bayar harian kok, dan biasanya ada diskon buat mahasiswa. Masih nyimpen kartu mahasiswa waktu kuliah dulu enggak?"

Aku berpikir sejenak. "Kayaknya masih ada. Nanti aku bongkar kamar dulu."

Kak Elio menyeruput es kelapa mudanya. "Ya udah, minggu depan kita ke gym punya temanku. Di sana murah, alat-alatnya lengkap. Walaupun enggak include PT, sih."

Aku melirik tangan Kak Elio yang sedang memegang sedotan. Telapaknya tampak ganjil, dan ternyata ada luka di sana. Tidak sampai berdarah, tetapi kulitnya terkelupas. Itu pasti luka waktu terjatuh tadi. Kenapa Kak Elio malah sok kuat, sih? Bukannya menepi dulu ngobatin lukanya, malah lanjut jogging sambil cengengesan.

Setelah membayar sarapan, kami berkendara pulang. Di jalan, aku melihat apotek di jejeran ruko-ruko. Refleks kutepuk-tepuk bahu Kak Elio. "Kak! Sebentar! Berhenti dulu di apotek!"

Cowok itu mengurangi kecepatan, kemudian berbelok untuk parkir di depan apotek. "Kenapa, Lun? Kamu sakit apa?"

Aku tidak menjawab dan langsung melompat turun dari motor matic Kak Elio. Setelah membeli plester dan obat luka, aku kembali ke motor.

Kak Elio menatap bingung plastik putih yang kubawa. "Itu apa?"

"Obat luka."

"Ngapain kamu beli obat luka?" tanyanya.

"Ini buat Kakak." Aku meraih tangan kanannya yang tadi memegang stang motor, lalu membuka telapaknya. "Kenapa Kakak enggak bilang kalau luka?"

"Hah?" Kak Elio beralih mengamati telapaknya sendiri. "Aku bahkan enggak sadar kalau luka. Enggak sakit juga."

Aku geleng-geleng kepala. Kuberikan plastik itu padanya. "Nih, obatin dulu."

"Enggak usah. Luka ginian mah besok juga sembuh."

"Kak! Nanti infeksi!" Karena kesal, kutarik saja tangannya. Aku mulai mencuci lukanya dengan sisa air mineral yang kubeli. Kukeringkan dengan tisu. Setelahnya, kuolesi obat luka dan kututup dengan plester.

"Kak Elio jangan salah sangka. Aku tuh cuma kasihan sama Kakak. Udah capek-capek nemenin aku jogging, eh malah luka. Aku jadi enggak enak. Ini bukan karena aku khawatir sama Kakak, ya," cerocosku sambil meratakan plester agar lemnya merekat sempurna.

Setelah luka selesai ditutup, aku mendongak ke arahnya. Tidak ada satu pun kata yang terucap dari mulutnya. Ia menatapku datar. Perlahan-lahan, senyum kecil terbit di wajahnya. Kenapa Kak Elio malah senyum kayak gitu? Aku jadi tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Jangan-jangan .... Refleks aku mengelap area sekitar bibir, jaga-jaga kalau ada saus kacang kupat tahu yang menempel di sana.

Cowok itu tertawa kecil. Ia meraih tanganku dan menjauhkannya dari area bibir. "Kenapa malah ngelap bibir kayak gitu, sih?"

"Ada saus kacang yang nempel ya, Kak?" tanyaku malu-malu.

Kak Elio tertawa sedikit lebih kencang. "Enggak ada, kok. Kenapa mikir kayak gitu?"

"Habisnya ... Kak Elio natap aku aneh kayak tadi."

Senyum cowok itu makin lebar. Ia tidak kunjung memberiku jawaban, malah asyik menatapku dengan cara yang sama. Cukup lama hingga aku risi.

Tangannya terulur ke arah kepalaku, lalu menepuk-nepuknya pelan. Aku berkedip beberapa kali saking terkejutnya. Ada sensasi menggelitik yang begitu aneh di perutku, seperti ada kawanan kupu-kupu yang mencakar-cakar dinding lambungku. Tubuhku seperti membeku, tidak sanggup bergerak sedikit pun. Aneh, asing, tetapi hangat.

"Makasih udah ngobatin aku. Makasih juga asupan serotonin dan endorfinnya," katanya dengan nada rendah dan pelan. Suaranya terdengar lebih deep.

"Dopaminnya enggak?"

"Belum, soalnya kita baru olahraga sekali," jawabnya.

"'Kan, harusnya aku yang dapat hormon bahagianya. Kok malah Kakak?"

Cowok itu tertawa kecil. "Emangnya kamu enggak happy jogging sama aku?"

Aku diam sejenak, lalu membalas, "Hmmm, biasa aja sih, tapi badanku kerasanya lebih segar aja gitu."

"Ya udah, tandanya kita harus sering-sering olahraga bareng kayak gini." Cowok itu menelengkan kepala ke arah jok penumpang motornya. "Yuk, pulang!"

Aku merapikan plester, obat merah, tisu, dan botol mineral, lalu kumasukkan ke dalam tas. Setelahnya, aku kembali naik ke motornya.

"Oh iya, makasih juga asupan oksitosinnya," katanya tanpa dosa.

"Apaan sih, Kak?" ketusku. "Udah, buruan pulang!"

Kak Elio tertawa pelan. Lalu ia menyalakan mesin motornya. Sejurus kemudian, kami kembali bergulat dengan lalu lintas pagi Kota Bandung.

Aku pernah membaca jurnal ilmiah tentang oksitosin. Berdasarkan tulisan di sana, hormon itu akan memberikan kita rasa percaya dan ikatan yang lebih kuat terhadap seseorang. Dalam kasusku, Kak Elio ... tunggu, kenapa juga aku mengaitkan cowok itu dengan oksitosin? Sudah gila kamu, Luna!

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

11 Agustus 2024

*****

Ada yang denial guys😭🫵

Satu kata buat Luna di part ini?

Satu kata buat Elio di part ini?

Maaf update-nya kesorean ya. Gapapa, yang penting bisa update🥹

See you on the next chapter guys, semoga asupan fluffy dariku bisa nge-boost mood kamu di malam Senin~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top