14 | Elio

Sesudah merapikan properti di home photo studio-ku, aku meletakkan laptop dan kamera DSLR di atas meja kerja, lalu kuempaskan bokong di kursi. Kubuka laptop dan kutekan tombol power di pojok kanan keyboard. Hari ini mood-ku bagus banget. Kenalannya Tio yang punya bisnis baju-baju distro baru aja nyewa jasa fotografi dan studioku. Setelah hasil fotonya diedit dan dikirimkan, invoice-ku akan cair.

Bulan ini saldo rekeningku mengenaskan banget. Ditambah modus beli pastry ke Luna, makin bokek aku. Pakai gaya-gayaan 'kembaliannya buat kamu aja' lagi. Makan tuh kembalian!

Sebentar lagi, rekeningku akan kembali menggendut. Sebenarnya aku punya Teh Nadya yang udah jadi pelanggan tetap. Namun, produk terbaru bisnis hijabnya masih di tahap research and development, jadi ia belum membutuhkan jasa foto produkku.

Aku nyambungin kamera sama laptop, mindahin hasil foto yang kuambil sejam lalu. Harusnya sih aku mulai ngotak-atik Photoshop buat ngedit foto-foto tadi, tapi malah buka Chrome dan ngetik sesuatu di Google.

Mixed anxiety and depressive disorder (MADD)

Udah beberapa hari aku kepo banget soal ini. Dari sekian banyaknya hasil yang keluar, aku baca beberapa jurnal ilmiah. Selama satu jam ke depan aku berselancar di internet, mencari tahu tentang gabungan dua gangguan mental tersebut.

Banyak fakta mengejutkan yang aku baru tahu. Walaupun depresi dan kecemasan adalah gangguan yang bertolak belakang, tetapi seseorang bisa terjangkit keduanya secara bersamaan. Ketika depresi, suasana hati mereka akan cenderung memburuk. Minat mereka akan sesuatu yang dulu disukai pun hilang. Mereka akan memandang masa depan seolah-olah gelap, kehilangan harapan, dan bahkan sampai memikirkan kematian. Penderita juga akan mengalami kelelahan fisik dan mental yang ekstrim. Mereka seringkali dikira pemalas, padahal punya tenaga buat gerak aja enggak.

Sedangkan kecemasan, penderita akan sering tegang, sulit tidur, uring-uringan, ketakutan, dan terlalu cemas akan hal-hal kecil. Bisa juga overthinking, tapi sangat mengganggu keseharian dan udah butuh pengobatan.

Enggak kebayang gimana rasanya jadi Luna yang selalu cemas sama keadaannya, tetapi enggak punya minat dan tenaga untuk memperbaikinya. Pasti capek banget.

Fakta lain yang baru kutahui soal penderita depresi, karena senyawa kimia di otak penderita mengalami gangguan, mereka kehilangan fungsi kognitifnya. Penderita akan sulit berkonsentrasi bahkan sering lupa hal-hal yang penting.

Aku manggut-manggut. Ah, pantesan Luna pernah ngelamun dan enggak fokus waktu ngobrol sama aku. Makanya, seseorang yang mengidap depresi berat membutuhkan obat-obatan. Mereka enggak cuma mengalami gangguan mood, tapi juga gangguan di otaknya. Itu sama aja dengan sakit fisik.

"Pantesan penderita depresi berat yang dirukiah dan disuruh ibadah tanpa pergi ke dokter gejalanya malah makin parah." Aku bermonolog. Pengobatan spiritual emang penting, tetapi akan sia-sia tanpa pengobatan dengan ahlinya.

Aku bersandar pada kursi sambil meregangkan tangan. Ternyata dia sama Luna bertolak belakang banget. Dia itu orangnya passionate, ceria, dan selalu menebar energi positif. Sedangkan Luna—mungkin karena sedang depresi—jarang senyum. Kadang Luna bicara macam-macam, tetapi ia cenderung memandang diri dan lingkungannya secara negatif. Dia sehangat matahari pagi, sedangkan Luna begitu dingin bagaikan bulan di malam hari yang cahayanya tertutup awan mendung. Pada akhirnya, ia tenggelam di kegelapan malam.

Apa yang Ibu bilang benar. Dia sama Luna tuh cangkangnya aja yang mirip, tapi dalamnya beda jauh. Perlahan-lahan, sosok cewek yang memenuhi otakku—campuran antara dia dan Luna—terbagi, tapi kedua bagiannya enggak identik kayak ameba yang membelah diri. Sekarang, sosok yang awalnya tunggal itu terbagi menjadi dua individu yang amat berbeda di kepalaku.

Terus, tiba-tiba aku kepikiran ekspresi Luna waktu kepergok lagi ngeliatin aku di spion. Dia langsung salting dan buang muka. Pipinya merah dan dia ngomong lebih cepat dari biasanya. Padahal, aku sengaja ngubah posisi spion motor supaya bisa lihat wajahnya selama perjalanan pulang. Cuma niat ngintip sesekali, kok. Eh, malah Luna duluan yang lihat aku di spion.

"Imut banget," gumamku.

Lalu, aku menangkap bayangan wajahku di layar laptop yang sedang dalam mode sleep. Astaga, aku senyam-senyum sendiri kayak remaja puber! Kubuang jauh-jauh senyumku dan lanjut pasang muka datar. Kunyalakan kembali laptop dan kembali fokus pada pekerjaanku.

Baru aja buka Photoshop, samar-samar terdengar kegaduhan di ruangan lain dalam rumahku. Itu suara Ibu dan Bapak. Aku berusaha fokus kerja, tapi enggak bisa. Mereka ini ngapain sih? Debat capres? Sambil menggerutu, aku beranjak dan pergi keluar ruangan.

Aku berjalan menuju ruang keluarga dan menemukan Bapak yang lagi duduk di sofa, sedangkan Ibu berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang.

"Kenapa bisa lupa minum obat lagi sih, Pak?" tanya Ibu selembut mungkin. Terdengar dari nada suaranya kalau Ibu berusaha menahan emosi.

"Enggak ada yang ngingetin sih," balas Bapak cuek.

"Kalau hipertensi dan jantungnya kena lagi gimana?"

"Jangan doain yang jelek-jelek dong, Bu." Bapak malah ketus.

"Kok malah sewot ke Ibu?" Aku memotong perdebatan mereka. Kedua orang tuaku pun menoleh padaku. "Bapak sendiri harus inget jadwal minum obatnya dong! Kita 'kan enggak bisa selalu ngingetin setiap saat. Kalau takut lupa bisa pasang reminder di HP, apa susahnya?"
Ibu mengambil bungkus rokok dan pemantik api yang tergeletak di meja kopi.

"Eh, kok diambil?" protes Bapak pada Ibu.

"Jatah ngerokok hari ini udah abis," tegas Ibu.

"Baru juga tiga batang, Bu. Ngurangin dari sebungkus jadi tiga batang sehari itu penyiksaan. Setidaknya setengah bungkus aja dulu." Bapak memohon sambil memelas.

"Biarin aja. Kalau sakau tahan! Mau jantungnya kambuh lagi?" omelku.

"Enggak tau, ah!" Bapak kesal. Sambil bersungut-sungut, beliau beranjak dari sofa dan melangkah menuju pintu depan.

Aku mendesah berat, lalu saling pandang sama Ibu. Wanita paruh baya itu merengut, lalu menggeleng. Kelihatan jelas beliau capek ngehadapin suaminya yang keras kepala. Ada yang bilang ketika seseorang telah mencapai usia lanjut, mentalnya akan kembali lagi ke masa kanak-kanak. Pantas aja makin tua kelakuan Bapak malah makin kayak bocah.

Kulangkahkan kaki untuk menyusul Bapak. Sesampainya di teras rumah, beliau sedang duduk di kursi rotan sambil melipat tangan di dada. Bibirnya mencebik. Wajahnya mirip kayak anak SMA yang lagi ngambek sama pacarnya. Aku geleng-geleng kepala, lalu ikut duduk di kursi sebelahnya.

"Kenapa sih Ibu malah nyumpahin Bapak yang jelek-jelek? Padahal, Ibu tau kalau Bapak takut pergi ke rumah sakit," keluh bapakku.

"Bukan nyumpahin," balasku dengan nada serendah mungkin. Sabar, Elio. "Kalau Bapak enggak mau balik ke rumah sakit, disiplin minum obatnya dan berhenti ngerokok! Bapak juga jarang gerak, 'kan? Gimana jantungnya mau kuat?"

"Ya abis mau gimana. Bapak gampang capek."

"Makanya dilatih jantungnya biar enggak gampang capek!" Kutarik napas dalam-dalam untuk meredam emosi. Sabar. Orang sabar disayang Luna. "Ya udah, biar makin sehat, rutin sepedaan pagi sama Elio kayak dulu, yuk?"

"Tapi seminggu sekali aja," tawar Bapak.

"Iya, tapi kalau udah terbiasa, kita naikin intensitasnya jadi dua kali seminggu, oke?"

"Oke." Bapak mengangguk.

Akhirnya satu masalah selesai. Ngomong sama orang tua yang enggak melek kesehatan emang butuh kesabaran ekstra.

Tiba-tiba, Ibu muncul dari balik pintu bawa plastik ziplock kecil. "Pak, kenapa enggak bilang kalau obat hipertensinya mau abis?"

"Oh iya, Bapak lupa," balasnya santai.

Ibu mengangkat plastik tersebut dan menggoyang-goyangkannya. "Uang pensiunan bulan ini nyisa berapa? Ini harus cepat-cepat dibeli di apotek ya, soalnya enggak di-cover BPJS."

"Enggak tau. Kayaknya masih ada sedikit. Intip aja di dompet," balas Bapak cuek.

Dengan inisiatif sendiri aku berdiri dari kursi rotan. "Biar Elio aja yang beli. Butuh berapa strip?"

"Beli aja buat sebulan. Tiga strip. Sekalian nitip beli bahan-bahan makanan, ya!"

"Kenapa enggak beli di pasar aja?"

"Ibu lupa ke pasar tadi pagi. Darurat, El, nanti Ibu enggak bisa masak makan malam."

"Jadi Elio harus ke supermarket juga dong, Bu?" keluhku.

"Iya. Enggak apa-apa, 'kan? Ibu ambil uangnya dulu sekalian bikinin daftar belanja, ya."

Aku langsung nyesel. Tau tadi enggak usah sok-sok jadi anak yang berbakti. Setelah menerima daftar belanjaan dan uang dari Ibu, aku bertanya, "Ini uangnya enggak kebanyakan, Bu?"

"Bawa aja dulu. Cukup kok harusnya," balas ibuku penuh keyakinan.

Ya udah kalau Ibu bilang gitu. Aku bergegas mengeluarkan motorku dari garasi, lalu berkendara menuju apotek dan supermarket depan komplek.

Obat hipertensi di apotek sih murah, enggak sampai tiga puluh ribu. Namun, harga bahan-bahan makanan beda lagi.

Sesampainya di supermarket aku langsung ke display telur ayam negeri. Alisku otomatis bertaut. Hah? Emangnya harga telur sekilo segini, ya? Enggak cuma telur, tapi cabai juga! Aku tau dari berita kalau harga cabai selalu naik, tapi masa sampai semahal ini? Belum lagi dada ayam fillet. Mana Ibu minta sekilo. Iya sih, kalau beli di pasar bisa lebih murah, tapi tetap aja.

Kucek daftar belanjaan, masih ada detergen dan minyak goreng. Otakku mengkalkulasi cepat, apa aku harus beli merk yang paling murah atau beli merk yang biasa kami pakai tapi ukurannya lebih kecil?

Akhirnya aku pergi ke kasir setelah milih merk yang biasa kami pakai. Ternyata, uang yang dikasih Ibu nyisa sedikit, dan itu pun langsung abis bayar tukang parkir. Buset! Kalau ceritaku hari ini dijadiin headline berita, judulnya bakalan kayak gini; 'Elio Sandyakala, bujang lapuk dua puluh tujuh tahun, syok berat gara-gara disuruh belanja sama ibunya.' Lah, jelas syok. Selama ini aku cuma tau jadi. Makanan udah dimasakin, baju juga udah dicuciin.

Sepanjang perjalanan pulang aku ngelamun kayak bocah polos yang baru tau kejamnya dunia. Ternyata bertahan hidup itu mahal banget. Selama ini aku cuma numpang hidup di rumah kayak benalu. Padahal kalau udah stabil secara finansial, aku enggak perlu hidup pakai uang pensiunan Bapak. Tiba-tiba semangatku yang awalnya melempem kembali. Sesampainya di rumah, aku langsung ngedit foto sampai malam. Besoknya, aku sibuk memperbarui portfolio online-ku.

Kalau studio fotoku ramai, kalau orang-orang nyewa jasa fotografiku, aku enggak perlu ngerepotin Bapak dan Ibu lagi. Biar aja uang pensiunan Bapak dipakai buat bayar pengobatan dan kebutuhan sehari-hari mereka. Aku harus tau diri dan membiayai hidupku sendiri.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

2 Agustus 2024

*****

Elio be like:

Elio adalah aku yang shick shack shock pas mulai belanja kebutuhan buat diri sendiri🥹 Ternyata apa-apa tuh mahal banget, mana kebanyakan self reward!

Yang udah umur 20-an ke atas, coba kasih tau aku barang termahal apa yang pernah kamu beli!

Akhirnya punya waktu buat ngetik di sela-sela break kerja. Doain aku tetep konsisten nulis bulan ini ya guys!🥹 See you very soon!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top