1 | Elio

| Play and listen to the multimedia for a better experience |

Living all alone kinda forgot it's been that long

Since someone's gone

I've been trying to be a little bit strong

And it is not that easy to be exactly who I was

My shit is done

Now it's time for me try to moving on

*****

Di Rabu pagi yang indah, setelah salat Idulfitri. Masih mengenakan baju koko, aku berdiam diri di kamar sambil menonton film thriller yang sudah lama banget nangkring di watchlist-ku. Tiba-tiba saja, terdengar kegaduhan di depan rumahku dan seseorang membanting pintu kamar. Aku menoleh, salah satu keponakan kembarku berteriak, "Mbah Mila sama Kakek Damar sudah datang!"

"Biasa aja kali, enggak usah banting pintu!" protesku.

Keponakan kembarku yang lain muncul dari balik pintu. "Om Elio, buruan keluar!"

Aku menggeram pelan sambil memutar bola mata. Kututup laptop, lalu turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Keanu, sang kakak, menggandeng lengan kananku. Sedangkan Keenan, sang adik, memegangi lengan kiriku. Aku menuruni tangga, lalu berjalan melewati ruang keluarga menuju gerbang depan rumah bersama dua tuyul berusia lima tahun dengan potongan rambut menyerupai mangkok. Kakak sulung dan kakak iparku sudah berada di depan gerbang.

Ibu yang sedari tadi diam di dapur berjalan tergopoh-gopoh untuk menyambut Tante Mila dan Om Damar, kemudian bertemu kami di pintu masuk. Ia lalu meneriaki Bapak yang sedang merokok di teras rumah. "Bapak! Berhenti dulu! Jangan merokok di dekat Si Kembar!"

Sambil mengeluh, Bapak mematikan rokoknya di asbak, lalu menyusul Ibu ke gerbang. Di sana, kami menyambut kedatangan Tante Mila dan Om Damar. Setelah kakek dan nenekku meninggal tiga tahun lalu, kumpul keluarga besar saat Idulfitri dialihkan ke rumahku, karena bapakku adalah putra sulung, sementara Tante Mila adalah adik bungsu. Kami bersalaman dan maaf-maafan. Gina, anak tunggal Tante Mila dan Om Damar, juga datang hari ini. Namun, ia membawa seseorang yang enggak kukenal. Cowok tinggi berusia sekitar akhir dua puluhan, rambut bergaya spike, tampan tipikal mas-mas Jawa.

Gina memperkenalkan cowok itu padaku. "El, kenalin, Mas Angga."

Aku menyalami Mas Angga meskipun sambil planga-plongo, enggak tahu siapa dia.

Keluarga besarku sudah kumpul semua, minus Teh Fira, kakak keduaku dan suaminya. Ketika kuliah, Teh Fira bertemu Mas Marshal, bule Jerman yang lagi ikut program pertukaran pelajar. Karena sering ketemu di kelas yang sama, mereka jadi saling suka. Waktu Mas Marshal log in jadi mualaf, mereka memutuskan untuk menikah dan menetap di Jerman. Karena Idulfitri kali ini mereka enggak sempat pulang ke Indonesia, keluarga besar kami menghubungi mereka lewat Skype. Meskipun ada perbedaan waktu antara Eropa dan Asia, mereka enggak keberatan.

Waktu melakukan panggilan Skype, tiba-tiba saja Gina berdiri di depan ruang keluarga bersama Mas Angga. Kayaknya ada hal serius yang ingin mereka sampaikan. Malu-malu, Gina mengumumkan bahwa ia dan Mas Angga akan melangsungkan acara lamaran tiga bulan dari sekarang. Berita itu disambut amat baik oleh keluargaku. Semua tersenyum sambil memberikan selamat, juga mengucapkan syukur akan ada anggota baru lagi di keluarga besar kami. Aku mengucapkan selamat sebagai formalitas. Rupanya, Mas Angga adalah orang yang sudah dipacari Gina selama setahun, dan enggak lama lagi akan berubah status menjadi tunangan.

Setelah pengumuman bahagia dan panggilan Skype berakhir, keluarga besar kami berbondong-bondong pergi ke ruang makan untuk menyantap hidangan Idulfitri, termasuk opor ayam, rendang, dan ketupat. Keanu dan Keenan mencuri toples nastar dan kastengel, lalu berlari sambil berteriak, membawanya ke ruang keluarga. Teh Nadya, kakak sulungku sekaligus ibu Si Kembar, meneriaki mereka untuk hati-hati agar toples kue enggak jatuh.

Tanganku menyendok kuah opor ayam dan menuangkannya ke piring, tetapi pikiranku melayang entah ke mana. Gina, sepupuku yang sebaya denganku, sudah menemukan calon suami. Aku penasaran gimana rasanya punya seseorang yang akan menemanimu hingga akhir hayat. Sudah lama hatiku enggak dihuni siapa pun dan aku hampir lupa gimana rasanya naksir cewek.

Aku bergabung bersama yang lain di ruang keluarga, menikmati hidangan Idulfitri sambil mengobrol. Keanu dan Keenan masih berlari-lari mengelilingi ruangan sambil berteriak, membuat Teh Nadya kelimpungan dan enggak bisa menikmati sarapannya dengan tenang. Untung saja A Rafi, kakak iparku sekaligus suami Teh Nadya, bersedia mengurus Si Kembar sementara Teh Nadya makan. Kulirik Ibu yang sedang mengobrol bersama Tante Mila, Gina, dan Mas Angga, sedangkan Bapak dan Om Damar sudah menghilang dari pandangan. Sudah bisa ditebak kalau mereka pergi ke teras rumah untuk lanjut mengisap tembakau.

Baru saja mau menyendok potongan ketupat dan kuah opor, Tante Mila bertanya, "Elio kapan nyusul?"

Ah, pertanyaan ini lagi. Aku pura-pura bodoh saja dengan balik bertanya, "Nyusul apaan? Nyusul Teh Fira ke Jerman?"

Tante Mila tertawa kecil. "Bukan, lah. Kapan nyusul Gina bawa gandengan pas lebaran? Terus, kapan mau nikahnya?"

Kemudian Gina menimpali. "Eh, emangnya Elio sudah punya pacar lagi? Bukannya ...."

Aku tersenyum simpul dan berusaha tenang, padahal tersinggung. "Belum punya pacar, gimana mau dibawa pas lebaran?"

"Oh ...." Gina manggut-manggut.

Ibu tersenyum tipis sambil menepuk-nepuk paha Tante Mila. "Doain aja, ya. Elio katanya mau ngembangin bisnis home photo studio-nya dulu, baru nikah."

Tante Mila dan Gina mengangguk. Aku kembali menyendok ketupat, sementara orang-orang yang bertanya kembali mengobrol. Suasana hatiku amburadul hanya karena satu pertanyaan dari Tante Mila. Kenapa harus ngebanding-bandingin sama orang lain? Emangnya aku enggak mau nikah, nyusul kedua kakakku? Ya jelas mau, lah! Lagi pula, ruang koneksiku sudah menyempit. Di mana aku harus mencari calon pacar? Aku anti banget main dating apps.

Entahlah, setelah dia pergi ... aku merasa belum siap untuk membuka hati lagi. Atau ... aku memang enggak mau membuka hati?

*****

Jam sembilan malam rumahku sudah tenang. Keluarga Tante Mila sudah pulang, baterai yang terpasang di tubuh Keanu dan Keenan sudah nyaris habis. Teh Nadya dan A Rafi sudah membawa mereka ke kamar untuk tidur. Aku pun sudah kembali ke kamar. Walaupun lelah secara fisik dan mental setelah bersosialisasi seharian, kantuk enggak kunjung datang.

Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke balkon kamar. Ketika membuka pintu kaca, udara dingin menusuk lengan dan kakiku. Wajar saja, aku hanya mengenakan kaos dan celana selutut. Kedua kakiku bergerak menuju railing balkon dan menyandarkan kedua tangan di sana, menikmati malam yang begitu tenang. Hariku sudah buruk karena pertanyaan Tante Mila dan telingaku nyaris budek setelah seharian mendengar teriakan Si Kembar. Aku pantas menikmati kedamaian ini.

Terdengar ketukan dari arah pintu kamar, disusul suara ibu yang teredam. "Elio? Sudah tidur?"

"Belum. Masuk, Bu!" Aku berteriak.

Ibu membuka pintu dan masuk kamar. "Loh, kenapa belum tidur? Besok bangun pagi, ya! Kita silaturahmi sama tetangga-tetangga."

Aku tersenyum simpul dan mengangguk. "Iya, Bu."

Namun, ibuku enggak langsung keluar. Ia menatapku dengan raut khawatir.

"Kenapa?" tanyaku.

Ibuku yang mengenakan daster dan menyepol rambutnya asal tersenyum tipis, kemudian menyusulku ke balkon. Ketika sudah sampai di sampingku, beliau bertanya, "Lagi ada masalah apa, sih, El? Seharian ini kamu banyak diem, loh."

"Aku lagi capek aja, Bu. Tenagaku habis gara-gara seharian ngasuh Keanu dan Keenan."

Ibu menoleh padaku. "Kamu enggak kepikiran perkataan Tante Mila tadi, 'kan?"

Aku membuang muka, menatap kosong atap rumah tetangga di depanku, lalu diam sejenak. "Ketahuan, ya?"

Ibu enggak menjawab lagi. Keheningan meliputi kami selama beberapa waktu.

Dengan perasaan amat bersalah, aku menunduk dan berkata, "Bu, maafin Elio, ya."

"Maaf buat apa?"

"Karena Elio belum bisa ngenalin seseorang ke Ibu, kayak Gina ngenalin Mas Angga ke Tante Mila. Maaf kalau Elio masih betah ngejomlo."

"El ...." Suara Ibu begitu lembut. Ia mengelus pelan punggungku. "Siapa yang bilang kalau Ibu keberatan kamu ngejomlo? Kamu, 'kan, lagi ngurusin home photo studio-mu."

"Tapi Elio sudah dua tujuh, Bu. Keasyikan cari duit sampai enggak minat nyari pasangan, emangnya Ibu enggak khawatir?"

"Ibu tahu harus putus secara mendadak itu berat dan sembuhnya enggak instan. Ibu tahu kamu masih butuh waktu buat berdamai sama hal itu."

Aku menoleh pada Ibu. "Siapa yang bilang Elio belum move on?"

"Sudah dua tahun, loh, El, dan kamu enggak pacaran sama siapa-siapa. Apa lagi kalau belum move on?"

Ibu terlalu mengenal anaknya dan aku enggak suka itu. Aku pengin menyembunyikan perasaan gundah dan semua kesulitanku, tetapi Ibu selalu tahu.

"El, dengerin Ibu, ya." Ibu berkata lagi dengan nada lembut. "Ibu senang, kok, kalau kamu mau fokus bisnis dulu buat bisa mandiri. Toh, nanti setelah berkeluarga, kamu bakalan lebih tenang karena sudah bisa stabil secara finansial. Lakuin aja apa yang menurut kamu baik buat masa depan. Soal jodoh, biar Ibu yang bantu doa supaya kamu dikasih yang terbaik."

Tiba-tiba mataku terasa panas. Aku pun mendongak sambil berkedip. Setelah diperhatikan, langit malam ini sepi banget. Bintang yang muncul juga bisa dihitung jari. Tapi ... suasananya tenang banget.

Ibu menoleh padaku, kemudian berkata, "Nggak perlu buru-buru buat mengejar segala sesuatu. Enggak pernah ada yang bilang kalau kita wajib menikah di umur dua puluh tujuh dan punya anak di usia tiga puluh. Ibu cuma pengin kamu bahagia."

Padahal udara dingin, tetapi entah mengapa hatiku mendadak hangat. Mungkin karena perkataan Ibu. Beliau mengelus punggungku lagi dan kami berdiri bersebelahan dalam keheningan. Pada akhirnya, Ibu berbalik meninggalkan balkon, lalu keluar kamar.

Aku pun memutuskan untuk kembali ke kamar. Setelah menutup pintu kaca rapat-rapat, aku melepas kacamata dan meletakkannya di atas nakas, lalu masuk ke dalam selimut. Ketika menutup mata, bayangan cewek berambut panjang bergelombang berwarna kecokelatan muncul di hadapanku. Ia menggenggam tanganku erat, seolah-olah enggak mau melepasku begitu saja. Waktu terasa begitu lambat ketika bersamanya. Ketika ia berbalik, aku melihat sepasang iris cokelat tua yang indah dan bibir tipisnya yang melengkung manis. Tahu-tahu saja beban berat di hatiku terangkat dan aku berpindah ke alam mimpi dengan perasaan yang lebih tenang.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

4 Mei 2024

*****

Yang waktu lebaran kemaren ditanyain "Kapan nikah?" atau "Mana pasangannya? Enggak dibawa?" absen dulu sini🙋‍♂️

Yha sama, author-nya juga ditanya gituan. Tapi kujawab, "Pacarku lagi wamil."😞

Gimana bab 1-nya? Semoga udah cukup mengenal Elio, ya!

Insyaallah aku update tiap minggu, tapi karena sekarang aku udah full time jadi budak korporat, doain aja masih bisa nulis di waktu luang.

Thank you so much! Sampai jumpa minggu depan~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top