Serendipity 2: That Flower
Aku merapatkan coatku dan berjalan lebih cepat. Ini sudah jam 6 dan aku belum beli apa-apa untuk acara nanti malam. Udara semakin dingin.
"Ah itu ada florist."
Aku memutuskan untuk membeli bunga saja untuknya.
"Selamat dat-"
Sosok itu, gadis itu!
"Lisa??" Aku tersenyum melihatnya.
"-tang..." Ia tampak terkejut melihatku.
"Wah, kerja disini ya?"
Aku berjalan mendekat sambil mengamati florist yang dipenuhi bunga segar warna-warni. Tata letaknya tidak membosankan. Ruangan yang didominasi kayu berwarna cokelat ini dibuat minimalis, selain itu juga banyak lampu bohlam kecil bergantungan di jendela kaca dan tepian rak kayunya. Tapi kesan minimalis tak membuat florist ini sempit, lebih terasa... Nyaman.
"Eh... Enggak... Eh... Iya, saya... Kerja disini."
Lisa tersenyum kikuk.
"Jangan pakai saya ah, kaku banget."
"Hehe. Iya."
Aku tersenyum melihat ia bersikap kikuk. Gadis ini lucu.
"Ih kok bohong sih?"
Seorang gadis berkaos pink muncul dari bawah meja.
"Florist ini punya lisa kok. Dia bosnya."
"Chaeyoung!" Lisa melotot, melempar tatapan tajam pada gadis yang sekarang berdiri disebelahnya sambil memegang vas bunga kaca.
"Oh ya?" Tanyaku, takjub.
"Iya. Oh iya kenalin, Chaeyoung, asisten terbaik Lisa disini."
Gadis bernama Chaeyoung ini melempar senyum ramah sambil mengulurkan tangan kanannya, tangan kirinya masih memegang vas bunga berbentuk tabung transparan.
"Jennie." Aku menyambut uluran tangannya.
"Bohong. Dia bukan asisten terbaik, tapi termalas."
Lisa menatap Chaeyoung dengan tatapan mengejek.
"Kok aku dijelekin depan tamu sih. Jahat."
Chaeyoung tampak merengut.
"Hahaha. Biasanya orang malas bisa mencari jalan tercepat untuk menyelesaikan tugas."
Aku mencoba mencairkan suasana.
"Nah itu temanmu tau tuh. Memang seleramu aja yang payah, Lisa."
Chaeyoung tertawa menunjukku dan menunjuk Lisa kemudian.
"Sok berselera bagus." Lisa tersenyum sinis.
"Ah iya, ada yang bisa dibantu? Cari bunga ya?"
Lisa kembali menatapku sambil tersenyum. Hey, senyumnya khas. Membuatku betah melihatnya.
"Yaiyalah cari bunga. Masa cari masalah."
Aku tertawa mendengar suara sahutan Chaeyoung dari meja bundar yang terletak di dekat meja kasir ini. Dia berjalan mendekat kemari, sambil meletakkan vas bunga berisi edelweis yang sudah ditatanya dengan rapi diatas meja kasir.
"Ya iya sih. Bener juga." Sahut Lisa. Dia tertawa kecil.
"Untuk siapa?" Lanjutnya.
"Hmm... Untuk mantan." Jawabku, sedikit ragu.
Chaeyoung menatapku dengan tatapan tak percaya. Terkejut mungkin. Aneh ya memberi bunga pada mantan? Berbeda dengan Lisa yang masih bisa tersenyum.
"Dia suka bunga? Wah pria yang romantis. Dia suka bunga apa?"
Aku bingung menjawab pertanyaan Lisa. Tapi, tak ada salahnya kuluruskan, kan?
"Hmm... Sebenarnya dia perempuan. Hehe. Aku belum tau mau kasih dia bunga apa. Aku keliling dulu ya."
Aku mendapati Lisa terkejut dari air mukanya. Seperti "what?!" Tapi biarlah. Memang dia bukan laki-laki, kan?
Aku berjalan melirik bunga-bunga cantik di toko ini. Dari sekian banyak bunga, aku menjatuhkan pilihanku pada bunga lavender yang terletak di dalam showcase dekat pintu masuk.
"Mau yang ini?" Lisa sudah muncul dihadapanku. Dia tersenyum.
"Iya." Aku menyerahkan bunga itu padanya.
Lisa membawanya ke meja bundar tempat Chaeyoung duduk tadi. Dia mengambil beberapa peralatan untuk membungkus bunga itu. Aku hanya memperhatikan ia mengerjai bunga itu dengan telatennya.
"Selesai." Lisa tersenyum menatap bunga lavender yang sudah selesai dijadikan buket olehnya itu.
"Mau dikasih tulisan lewat surat atau kartu?" Ia kembali menatapku.
"Kartu aja."
"Kartunya warna apa?"
"Ungu aja."
"Ungu muda atau ungu tua?"
"Mmm... Ungu tua aja."
"Yang besar atau yang kecil?"
"Yang kecil aja." Aku tersenyum melihatnya.
"Mau ditulisin atau tulis sendiri?"
"Ditulisin boleh."
"Tintanya warna apa?"
"Bacottt!" Chaeyoung berteriak dari meja kasir.
Aku tertawa. Tidak bisa tidak.
"Ungu aja."
"Sebentar ya." Lisa tersenyum kecil kemudian berjalan ke meja kasir dan mengambil susunan kartu di rak atas. Ia membawa pena tinta dan sebuah kartu lucu berwarna ungu.
"Tulis saja, Selamat Ulang Tahun, Jisoo."
"Baik." Lisa segera menulis dengan semangat. Setelahnya ia menempelkan kartu itu di buket.
"Ini." Lisa menyerahkan bunga itu padaku.
"Berapa?"
"Bayar ke Chaeyoung aja." Lisa membereskan perkakasnya di meja.
Aku melangkah ke kasir. Meraba coatku mencari dompet. Dompet... Dompetku?! Tidak ada??
"Duh... Mana ya." Aku masih mencari dompetku.
"Sudah Chae? Kasih dia harga spesial." Kata Lisa dari tempat duduknya.
"Sebentar... Dompetku gak ketemu."
Aku masih mencari dompetku yang tidak kunjung kutemukan.
"Harga teman." Dia tersenyum.
Aku bingung, aku melirik Chaeyoung. Chaeyoung menahan tawanya.
"Gratis!" Teriaknya.
"Hah?" Aku bingung.
"Kami sudah mau tutup, gak usah bayar, Jen." Lisa berjalan mendekat, meletakkan kembali perkakasnya ke rak.
"Serius?"
"Iya."
"Kok gitu. Jangan donk. Aku jadi gak enak nih."
"Serius. Bawa aja." Lisa meyakinkanku yang masih bingung ini.
"Nanti rugi." Ujarku, padahal dompetku masih tidak ketemu. Bikin malu saja.
"Gak ada yang rugi dari berbuat baik."
"Wooow. Lisaaa~" Chaeyoung tertawa mendengar ucapan Lisa.
Aku melirik jam tangan, sudah setengah 7 dan sebentar lagi Kai akan datang menjemputku.
"Aku pasti ganti."
Ujarku sebelum melangkah keluar dari tempat itu.
***
"Jen!"
Jisoo terlihat senang sekali melihatku datang. Ia tampak sangat cantik dengan dress putih selututnya.
"Happy birthday ya." Aku menyerahkan buket lavender di tanganku tapi dia memelukku, cukup erat.
"Kirain gak bakal dateng. Makasih udah dateng." Bisiknya.
"Sama-sama." Ujarku, sambil melepas pelukannya.
"Sendirian?" Ia masih menatapku lekat-lekat.
"Sama pacar." Aku tersenyum.
"Pacar?"
Wajah Jisoo berubah seratus delapan puluh koma nol derajat. Ia tampak terkejut.
"Iya. Dia masih di depan tadi ketemu kenalan dia."
Aku mencari sosok Kai di tengah pool yang ramai ini tapi sepertinya dia masih di lobby hotel.
"Dari kapan?" Jisoo menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Baru tiga bulan kok." Jawabku, santai.
"Secepat itu?" Ia mengerutkan keningnya.
"Apanya?" Aku bingung.
"Kita baru pisah 6 bulan, Jen."
Ah, aku malas sekali dia mengungkit hal ini.
"Jisoo, let's not ruin your day. I gotta go now. Happy birthday. I wish all the best for you, friend."
Aku baru hendak melangkah pergi, tiba-tiba Kai menyapaku.
"Hai. Kelamaan ya?"
"Eh, enggak kok. Ini baru mau pamit." Aku menoleh kearahnya.
"Kenalin, ini Jisoo, yang lagi ulang tahun. Jisoo, ini Kai."
"Hai." Kai mengulurkan tangannya pada Jisoo.
"Jisoo."
Satu detik... Dua detik.... Tiga detik... Empat detik... Kai belum juga melepas tangan Jisoo. Jisoo tampak risih.
"Kai?" Aku menatapnya.
"Becanda. Hahaha. Happy birthday ya." Kai tertawa, menambah tingkat ketampanannya sepuluh kali lipat.
"Thank's." Jawab Jisoo sambil tersenyum tipis.
"Kami pulang dulu ya." Pamitku.
"Sekarang? Cepet banget?" Kai menatapku, kaget.
"Kamu kelamaan di depan." Aku menatapnya tajam.
"Hehehe. Maaf. Ayo sayang. Kami pamit dulu, Jisoo. Nice to meet you."
Aku menggandeng tangan Kai yang kemejanya senada dengan dressku, biru langit.
"Jennie!"
Jisoo menyebut namaku setelah kami berjalan dua langkah. Aku menoleh kearahnya.
"Nice to see you again." Dia tersenyum.
Aku mengangguk dan membalas senyumannya.
***
To be continue...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top