Chapter 8 : Broken Ice

[Name] membuka mata, terjaga dari tidur nyenyaknya, dan merasakan sinar mentari dapat leluasa melesak masuk menyilaukan mata. Gadis itu di awalnya menyipit, netranya berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk, kemudian ketika dirasa sang mata sudah terjaga sepenuhnya, gadis itu mendudukkan diri. Baru saja ia melengkapkan nyawa, namun [Name] tiba-tiba harus berjengit mendengar pintu yang diketuk dengan tidak sabaran. 'Siapa?' Batinnya menggerutu.

Dengan ogah-ogahan, [Name] beranjak dari alas tidur, melangkahkan kaki untuk membukakan pintu. Langsung saja mukanya yang masih kusut bertambah kusut saat melihat siapa yang didapatinya mengetuk pintu dengan tidak sabaran tadi.

"Ya ampun, [Name]-san. Sudah jam segini dan kau masih berantakan?!" Dazai tak kalah sebal mendapati penampilan [Name] yang serba acak-acakan, dia menduga gadis di hadapannya pasti baru saja bangun tidur meski matahari sudah meninggi.

"Kau kira tidur sekian jam setelah melalui serentetan hal tak menyenangkan seharian kemarin, bisa menghilangkan lelahku?" [Name] tak bohong. Meski tubuhnya sedikit lebih bugar dari hari kemarin tetapi ia masih merasa lelah. Hening, entah kenapa Dazai agaknya enggan menanggapi kalimat [Name], ia jadi merasa bersalah. "Ok, kalau gak ada perlu apa-apa aku balik tidur nih. Bye."

Tangan Dazai menahan pintu yang hendak ditutup, lantas berujar, "Sarapanmu sudah siap. Dan oh ya, sebaiknya kau juga segera mandi, hari ini temani aku berbelanja."

Pintu itu kembali dibuka lebar-lebar dengan agak kasar, lantaran yang membukanya kembali berjengit usai mendengar kalimat Dazai. "Kau gila ya.. memangnya aku sudi menemanimu belanja?"

"Aku akan kembali menyelesaikan satu dua berkas di ruang kerja. Dan kemudian kutunggu kau secepatnya di kafe." Dengan memasukkan tangan ke dalam saku, Dazai berbalik serta berlalu. Meninggalkan [Name] yang masih memandang lelaki itu dengan perempatan kesal di wajahnya. Pada akhirnya, ia hanya bisa menghela napas setelah menutup pintu lalu mulai beranjak menyambar handuk yang tersedia.

***

[Name] berjalan mengiringi Dazai yang ada di sebelahnya. Tangannya dimasukkan ke dalam jaket mantel tebal milik Dazai yang lelaki itu pinjamkan. Salahkan Dazai yang tetap ngotot pergi keluar meski salju mendadak turun dan [Name] ke mari kan tak bermodal apa-apa. Boro-boro bawa pakaian hangat, bawa duit sepeser pun tidak. Tidak ada percakapan sama sekali, gadis itu merasa sedikit canggung. Sesekali ia melirik sosok Dazai yang berjalan dengan tenang di sampingnya, baru menyadari mengapa Dazai tinggi sekali sampai-sampai untuk sekedar melihatnya saja harus mendongakkan kepala sekian derajat. Lagipula ia hanya mengenakan mantel cokelat panjang yang biasa ia gunakan, apa tidak kedinginan di cuaca yang begini? [Name] menggelengkan kepala kuat-kuat. Merasa ada yang salah dengan otaknya karena sempat-sempatnya terbesit memikirkan orang yang notabene musuhnya itu? Iya, pasti ada yang salah dengan otaknya.

"[Name]-san, tunggu di sini sebentar." Begitu ucap Dazai ketika mereka menghentikan langkah di sebuah toko pinggir jalan. [Name] menuruti tanpa menyahut, kemudian menunggu di depan toko sambil mengamati orang yang berlalu lalang dengan punggungnya bersandar pada dinding bangunan toko. Salah satu tangan dikeluarkan dari saku jaket, menengadah pada butiran salju yang turun. [Name] merasakan nuansa dingin ketika butiran salju itu mendarat di telapak tangannya. Ia lantas menghembuskan napas, dan uap akibat hembusan itu pun terbentuk. Baru sebentar ketika ia akan larut dalam pikirannya, sebuah tangan merengkuh telapak tangan yang ia julurkan. Refleks, [Name] terkaget saat mengetahui siapa pemilik tangan itu. Dazai menatap [Name] sambil memasang cengiran tak berdosa, sedangkan yang ditatap bercemberut ria. 'Apa-apaan tadi itu?!'

"Kau menyerahkan tanganmu pada salju untuk dibekukan hm? Sangat kurang kerjaan."

"Well, memang siapa yang menyuruhku berdiam di sini untuk menunggu? Seharusnya kau biarkan aku ikut masuk saja."

"Soalnya aku di dalam hanya sebentar saja nona. Nih, pakai."

Dazai melempar sepasang sarung tangan ke arah [Name], dan untungnya ia bisa menangkapnya. Kemudian lelaki itu melangkahkan kaki ketika [Name] tertegun sesaat. Ia berjalan mengejar Dazai yang sudah berada di depan duluan dan berusaha mensejajarinya. "Hei, thanks. Dan ngomong-ngomong, jangan panggil aku dengan sebutan yang menggelikan tadi."

Dazai tak menyahut, pandangannya masih lurus ke depan. Tapi mungkin tak ada yang menyadari, pria itu menyunggingkan bibir tipis.

***

"Departement store?!" Seru [Name] tak menyangka saat mengetahui ke mana Dazai membawanya. "Sebenarnya kau ini akan berbelanja apa sampai-sampai harus ke departement store?" Lanjutnya terheran.

Langkah Dazai berhenti, tubuhnya di hadapkan pada [Name]. "Nah, [Name]-san. Silahkan pilih pakaian yang kau sukai. Jangan pusing memikirkan berapa yang harus kau bayarkan, kau kemari kan tanpa berkemas gegara kami. Jadi jangan sungkan."

Dazai menyelesaikan kalimatnya sambil menyengir, namun disambut [Name] yang cengo. Tidak habis pikir bahwa ia akan sampai diperlakukan begini oleh musuhnya sendiri. Sedetik kemudian, sebuah seringaian muncul di bibir gadis itu. Keadaannya saat ini begitu menguntungkan, tak ada salahnya kan memanfaatkan keadaan untuk memoroti musuh? Ini bisa dikatakan salah satu strategi mengalahkan musuhmu secara tidak langsung bung, begitu pikir [Name].

"Baiklah."

"Ya sudah, aku tinggal ke toilet [Name]-san. Wanita pasti lama dalam menentukan pilihannya, iya kan?"

"Hei, pastikan dirimu tidak kabur Osamu Dazai!" [Name] tidak akan berpikir bagaimana nasibnya ketika nanti ditinggal oleh pria itu setelah selesai memilih sekian banyak pakaian. Apa nanti kata orang?! Mendadak ia jadi ragu.

"Tentu tidak. Untuk apa aku mengerjaimu?"

[Name] mendengus sebal menatap punggung Dazai yang berlalu menjauh. Tanpa berlama-lama, ia pun memutuskan beranjak dan mulai memilih pakaian. Ketika [Name] berbalik dan berjalan beberapa langkah, ia sudah merasakan tubuhnya menabrak sesuatu.

"Ah, maaf."

Ralat, ternyata seseorang. Orang itu menatapnya tajam seakan tatapannya dapat menelenjangi [Name]. Ia bergidik ngeri, dan kemudian mengambil pakaian yang ada di rak baju sebelahnya---berusaha mengalihkan pandangan.

"Hei, seleramu bagus juga."

"Maaf?" [Name] menoleh ke sumber suara. Dan ternyata orang yang baru saja ditabraknya yang berucap demikian. Dengan sedikit memiringkan kepala heran, ia memperhatikan penampilan orang yang ada di sebelahnya kini. Lelaki dengan tinggi tak selisih banyak dengan dirinya---kalau saja tanpa sepatu boot yang lelaki itu kenakan pasti [Name] mengira orang ini lebih pendek darinya. Dan... dia jadi heran sendiri. Masih ada orang jaman sekarang yang mengenakan model topi yang lelaki itu kenakan untuk sekedar keluar ke tempat seperti departement store ini? Model kah?

"Itu baju keluaran terbaru dari brand *****. Ah, kau pasti cocok mengenakannya."

Pegawai departement store kah? Stylish kah? Tapi tampangnya terlalu terlihat errr berandalan? Untuk ukuran pegawai setidaknya. Nah, [Name] juga jadi heran kenapa ia repot-repot berkomentar mengenai orang tak dikenalnya itu.

"Kebetulan sekali, Tuan. Saya sedang mencari baju-baju keluaran terbaik. Bisa bantu saya mencarinya?" Sebetulnya [Name] bukan gila fashion atau apapun itu. Ingat sendiri kan, ia berniat demikian semata-mata untuk menjalankan strateginya. Baju keluaran terbaik pasti harganya juga selangit kan. Masa bodoh, toh juga bukan uangnya.

"Kebetulan juga aku senggang untuk menunggu kedatangan temanku. Sini kubantukan mencari!" Tanggap orang itu dengan senang hati. Eh jadi orang ini sebenarnya bukan pegawai departement store ini? [Name] rasanya agak merasa bersalah telah beranggapan demikian. Tapi yah.. lumayan juga dia dapat bantuan. Selama ini [Name] jarang berbelanja pakaian sendiri, kebanyakan telah disiapkan oleh ayahnya. Baik pakaian kerja, pakaian rumah dan lainnya. Toh, ia jarang berpergian untuk sekedar berjalan-jalan dan jarang memperhatikan penampilan. Yang ia prioritaskan selama ini hanyalah profesionalitas bekerja.

"Bagaimana dengan yang ini?"

"Err.. itu terlalu imut sih."

"Ah, jadi kau bukan tipe yang girly ya. Hm, bagaimana kalau ini?"

"Sialan kau Chuuya!" Mereka berdua menoleh mendengar umpatan laki-laki yang entah sejak kapan sudah berada di belakang mereka. "Sudah ku tunggu kau di toilet malah modus-modusan di sini!"

Mata [Name] mengerjap heran. Dazai dan orang di sampingnya saling kenal? Betapa sempitnya dunia! Ia memandang Dazai yang kedua alisnya sedang berkedut kesal. Oh, jadi Dazai yang dimaksud rekan yang ditunggu pria ini.

"Are.. are.. dan [Name]-san bagaimana kau bisa menemukan cecunguk satu ini?" [Name] mengendikkan bahu acuh.

"Aku akan ke fitting room sebentar." Ujar [Name] sebagai dalih untuk meninggalkan mereka berdua. Toh sudah lumayan banyak baju yang ia pilih, itu sudah lebih dari cukup. Gadis itu memiliki firasat agar memberikan waktu untuk mereka berdua. Itulah sebabnya ia berpamit menuju fitting room, meskipun sebenarnya ia tak pernah sekalipun mencoba baju yang hendak dibeli. Ambil kemudian bayar, pakainya di rumah.

"Wah Dazai, baru sebentar rasanya kita tidak bertemu dan tiba-tiba kau sudah menggandeng calon?" Chuuya menyeringai, berucap sembari memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dazai terbelalak, tak menyangka mantan rekannya berkata seperti itu.

"Jangan bodoh, memangnya aku memintamu kemari untuk sekedar menggodaku dan melucu?" Pria yang dipanggil Chuuya mendengus, lantaran kemudian menyenderkan tubuh pada dinding yang kosong.

"Oke, kalau begitu langsung ke intinya saja. Gadis tadi ada hubungannya dengan rencanamu kan?"

"Tentu. Dia yang akan membawamu ke ikan besar yang sedari dulu ingin kalian tangkap. Satsuki Juuro, gadis itu.. adalah anak angkat yang telah ia perdayakan." Jeda sejenak, Dazai menghela napas sebelum melanjutkan.

"Satsuki Juuro.. tak lebih dari sebuah parasit yang ikut campur di Yokohama. Dia boleh bertindak semaunya di Tokyo, tapi beraksi sebagai parasit pengganggu bagi port mafia kesempatan ini tentu tidak bakal kalian luputkan."

"Ya, dia buronan kami. Port mafia banyak dirugikan karena ulahnya. Dan mengenai rencanamu, memancing dengan ikan kecil untuk mendapat ikan besar ya? Boleh juga kau. Awas saja kalau ini tak sesuai ekspektasi kami, karena sudah susah payah aku merayu bos yang sebenarnya keberatan untuk bekerja sama dengan kalian lagi."

"Begitupun denganku." Dazai tersenyum kecut. Chuuya juga demikian. Ia tidak menyangka kalau inilah saatnya ia dipertemukan kembali dengan mantan partnernya tersebut. Dan melakukan kerja sama. Keduanya pun tak ingat kapan terakhir kali memiliki kesempatan itu.

***

"Sialan si Chuuya itu. Bisa-bisanya merekomendasikanmu baju-baju dengan harga selangit." Dazai memijit keningnya. Kini [Name] dan Dazai tengah berada dalm perjalanan pulang. Dazai masih pusing lantaran memikirkan sedemikian banyaknya uang yang melayang dari dompet. Padahal gajian baru saja turun.

"Wah.. padahal kau sendiri yang bilang 'jangan pusing memikirkan berapa yang harus dibayarkan'. Sekarang malah mengeluh." [Name] tersenyum puas melihat ekspresi Dazai yang sedang pusing bukan main.

"Sepertinya kau bahagia sekali melihatku tertekan, eh?"

"Hmm.. menurutmu?"

"[Name]-san." Yang dipanggil menoleh. Rupanya Dazai sudah menghentikan kaki hingga berjarak beberapa langkah di belakangnya. Ia memiringkan kepala heran. "Kau sudah memikirkan apa yang harus kau lakukan kan?" Lanjut Dazai menatap tajam ke dalam manik mata [Name].

Gadis itu menghela napas, tidak ada lagi waktu untuk terus meragu. Serangan anak buah ayahnya kepada [Name] kemarin tidak mungkin hanya sebuah serangan tanpa alasan. Ia sudah memikirkan segalanya kemarin sebelum tidur, bahwa dari sekian banyak kemungkinan yang ia pikirkan, satu yang mungkin membawanya pada jalan terang. Gadis itu terbiasa berpikir secara rasional. Tapi kini ia harus mengakui, selain mengikuti jalan pemikiran yang logis, ada kalanya bergerak sesuai keyakinan hati merupakan hal yang benar. Karena terkadang hal-hal yang tak masuk akal justru merupakan sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, ia sekarang ingin mengikuti apa kata hati kecilnya.. bahwa ia mau tak mau harus percaya dengan seluruh perkataan pria itu kemarin malam. Meskipun semua itu sangat membuat [Name] terguncang.

"Hah.. ku rasa aku tak punya pilihan lain."

Ia menghampiri Dazai yang masih tak bergeming sembari melepas kedua sarung tangannya. Lalu, begitu sampai di hadapan lelaki itu, [Name] langsung meraih kedua tangan Dazai. Ia menunduk, matanya memejam, dan menarik napas dalam-dalam. Setengah berbisik, [Name] berujar..

"Tolong, bantu aku mengembalikan apa yang seharusnya adalah milikku, yang ia rebut dariku. Ingatan, dan meskipun itu hanya masa lalu, aku akan menghadapinya. Ya, tolong bantu aku menghadapi Satsuki Juuro."

..dengan tubuh yang sedikit bergetar, [Name] mengucapkan dari lubuk hati yang terdalam. Bisa dirasakan oleh gadis itu, ketika tangan Dazai mengeratkan tautan tangan di antara keduanya. [Name] merasa hanya dari pertautan itu, seakan Dazai menghantarkan kehangatan yang mengalir di sekujur tubuhnya. Memberinya kehangatan, sampai ia sendiripun tak ingat bahwa faktanya kini mereka berada di trotoar jalan, di tengah hujan salju yang turun cukup deras, di tengah hawa dingin yang serasa menusuk tulang.

[Full Name], bagaimanapun juga, ia hanyalah manusia, seorang gadis yang beranjak dewasa. Terlepas dari eksistensinya sebagai pembunuh profesional, mau sejauh apapun ia selalu berusaha menjunjung profesionalitasnya, sejauh apapun membuang rasa manusiawinya, sekuat apapun menghempas jauh seluruh emosinya untuk berpikir rasional dan menganggap emosi dapat mengacau segala hal yang mampu ia bangun sampai sekarang---nyatanya semua itu terkalahkan oleh kodrat.

Dan kini, hatinya yang sudah lama membeku seakan mencair perlahan, oleh kehangatan yang sedang menjalar.

To be continued
.

.

.

Author's Note

Halo! Sebelumnya aku minta maaf kalau tidak bisa menepati janji yang awalnya cerita ini akan segera ditamatkan bulan Januari lalu.

Iya awalnya niatku emang begitu, tapi yah.. aku sendiri juga gak nyangka kesibukan sebagai siswi kelas 12 menyerang lebih cepat daripada seharusnya(?) Jadinya aku hiatus mendadak deh

Tapi sekarang udah berakhir kok masa suram kelas 12.. tinggal menunggu masa suram jadi mahasiswa baru xD. Sebelum masa itu, syukurnya Kay diberi waktu panjang buat libur hehe. Jadi bisa nyicil belajar sambil aktif lagi nulis di wp //malah jadi curhat

Ok, terima kasih banyak bagi kalian yang masih mau nunggu kelanjutan dan masih mau baca cerita ini.. ^^

Tanpa keantusiasan readers sekalian mungkin bisa aja cerita ini gak kulanjutkan //jangan sampe

Salam es teh hangat(?),

Kayken VR

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top