Mafia

"Keren ya, jadi mafia. Nembak orang kek nembak burung."

"Bap4k kau keren, diburu polisi ege!" Celetus Arnold kemudian duduk menghadap terbaik, menatapi Bay yang sedang asik-asiknya mengkhayal.

"Justru keren woi diburu polisi. Lo bayangin nih, kita berhasil nyuri--"

"Kita?" beo Arnold menolak. "Nggak, nggak, nggak, lo aja deh. Gue mah ogah ditangkap sama polisi."

"--eh, denger dulu bego, belum selesai gue ngomong ini."

"Iya-iya, nih gue dengarin." Arnold menopang dagunya dengan telapak tangan.

"Misal, denger ya MISAL. Misal kita jadi mafia terus berhasil nyuri mobil miliarder dan kita ngendarain itu sambil nyalip lalu lintas, beh ... nggak kebayang gue kerennya. Auto dilirik dan dibuat film mafia terbaik sih itu."

"Bukannya tuh adegan mafia dikejar polisi udah banyak di perfilman ya, Bay?"

Bay berdecak kesal. "Ah, lo mah nggak bisa diajak bercanda, heran gue. Mengkhayal aja dulu, gitu loh, jangan diseriusin. Pantes aja lo masih stuck disitu-situ aja."

"Idih, apa hubungannya, Bay?"

"Oh, jelas ada dong! Bagi gue, mengkhayal dan berekspektasi tinggi itu merupakan karunia Tuhan yang nggak banyak disadari manusia. Asal lo tau ya, gue udah bayangin jadi mafia, punya banyak anggota yang sekali gue jentikin jari, auto bergerak sesuai dengan apa yang gue mau."

"Buset, bisa telepati semua tuh member lo?!"

"Bukan bego, astaga! Maksudnya jentikan itu tuh kode buat gerak sesuai dengan rencana. Masa lo nggak paham gituan sih, Nold? Apa jangan-jangan lo nggak pernah nonton film mafia?"

"Emang," jawab Arnold santai, ia merasa tak ada yang salah jika seorang manusia belum menonton genre film mafia. Lagi pula, Arnold kan memang tidak menyukai adegan tembak-tembakan dan perang.

"Wah, pantes lo masih cupu gitu. Sini deh, gue kasih CD film mafia, lo wajib nonton, gue jamin lo bakal kecanduan. Percaya deh sama gue."

"Dih, nggak ah, mager gue nonton gituan. Mending nonton anime."

"Dih, WIBU!"

Byanka yang baru datang ke kelas dan melihat kegaduan diantara keduanya ikut mendekat dan menyimak perdebatan mereka.

"Apa lagi yang kalian ributin kali ini?" tanya Byanka.

"Biasa, Byan, nih Arnold sifatnya norak cupu banget. Hari gini masih nonton Anime, kek anak kecil banget nggak sih!"

"Oh itu. Sebenarnya biasa aja sih, kenapa banget harus diributin masalah gituan. Gue pribadi masih suka nonton Anya, Spy Family, dan beberapa anime yang lagi on-going, dan gue rasa nggak yang salah kalau nonton anime di usia gini."

"Dih, pantes aja kalian berdua suka nyambung kalo ngobrol, sama-sama wibu rupanya." Bay beralih mengejek Byanka.

Byanka menghela napas berat dengan memutar bola matanya. "Ini masih pagi ya, jangan sampe tuh muka lo gue ubah jadi darah."

"Wow, gas aja sih, lo pikir gue takut, agen mata-mata amatir?!" Bay bangkit, ia membentuk jarinya seperti sedang memegang pistol dengan raut wajah sedingin kutup es.

"Oke, gue ikutan permainan lo." Byanka memutar telunjuknya dan mengajukan tangannya dengan posisi jari sama seperti yang Bay lakukan. "Bem!"

Kemudian Byanka tertawa lebar, sementara Bay terkejut dan tak paham kenapa gadis di depannya ini malah tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa lo?"

"Kagak, cuma lucu aja. Lo sampe seserius itu ngebela sesuatu. Padahal mah, dengan lo ngebela mafia, gak ada hal yang lo dapatin. Padahal mah, setiap orang punya selera masing-masing dan kita semua nggak ada hak buat ngatur-ngatur selera orang. Semoga lo paham deh, Bay, soalnya kalo masih suka ngatur selera orang itu, namanya norak."

"Nah, denger tuh, Bay."

"Dih, ucapan seorang wibu itu tidak valid!"

***
Next!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top