Chapter 3: Forecast
Aku mencium aroma sosis panggang dan telur yang membuatku terbangun. Tanpa kusadari, aku berjalan begitu saja sampai ke dapur. Aku menatap sarapan di meja dan langsung menyambarnya. Tanpa pikir panjang, aku menghabiskannya hanya dalam waktu satu menit saja. Rasanya seperti belum makan berhari-hari, perutku terasa sangat lapar.
"Kau menghabiskan sarapanku?" tanya sebuah suara dari belakangku.
Aku menoleh dan mendapati Xander yang sedang melipat kedua lengannya di dada. "Kukira ini untukku, lagi pula aku kira kau tidak makan-makanan kaum fana," sindirku. Mengingat, dia pernah menyindirku dengan sebutan fana, sekarang aku yang membalasnya.
Xander tidak mengatakan apa pun, bahkan ekspresinya biasa saja. Jika ada lomba wajah datar paling lama, dia pasti akan menang. Dia sering menunjukkan wajah datarnya bahkan hampir setiap kali aku berbicara dengannya. Seperti manusia tanpa ekspresi, tapi dia bukan manusia.
"Aku mengampunimu karena kau baru saja bangun dari tidur panjangmu." Xander kemudian beralih pada lemari pendingin di sebelahnya.
"Mengampuni? Huh? Yang benar saja?" ejekku.
"Kau tertidur selama empat hari dan aku memakluminya," kata Xander.
Aku tersedak. "Empat hari?" tanyaku terkejut. "Bagaimana bisa?" tanyaku lagi sambil melihat pakaianku yang sudah berganti. "Apa yang kau lakukan padaku?"
"Aku tidak melakukan apa pun. Kau yang berusaha melukai dirimu sendiri dengan memanjat gerbang, kau ingat?" Xander mengeluarkan sekotak persedian telurnya.
"Bajuku?" tanyaku panik.
"Aku menggantinya," jawabnya dengan santai.
"Apa?" Sekarang aku membelalakan mata.
"Kau seharusnya berterima kasih," ujar Xander.
Sekarang aku semakin terkejut. Seolah-olah hal itu adalah hal biasa yang sering dilakukannya. "Bawa aku pulang sekarang juga! Aku tidak akan pernah mencintaimu!"
Xander meletakkan telur-telurnya di atas meja dapur, dia kemudian menghadap ke arahku, melihat wajahku yang terbakar api marah. Sekarang, dia mulai mendekatiku, matanya tiba-tiba berubah menjadi hitam semua. Aura gelap muncul dari dirinya saat mata hitamnya menatapku, seolah mengancam.
"Aku tidak peduli kau makhluk macam apa!" kataku, berusaha tidak gemetaran.
"Kau akan selamanya terkurung di dalam sini jika kau tidak bisa mencintaiku, Seraphim." Xander mulai mengancamku.
Aku berusaha untuk tidak takut. Namun, pikiranku semakin kalut karena melihat matanya yang seolah bisa menghipnotis. "Akan aku beri tahu kenyataan bahwa aku tidak mencintaimu," ujarku dan aku mulai mendekatinya.
Mata Xander masih berwarna hitam dan aura gelapnya begitu kuat, sehingga membuat bulu romaku semakin berdiri saja. Tanpa memikirkan apa pun aku mencium Xander. Aku melakukan ini agar dia tahu bahwa tidak ada rasa apa pun bahkan saat aku menciumnya.
Namun, saat aku mencium Xander, justru yang kurasakan adalah aura gelap yang semakin kuat. Mataku seolah dibawa ke sebuah tempat gelap, rusak, dan hancur. Aku melihat kilasan sebuah masa depan. Sayap-sayap malaikat yang terpotong dan berhamburan di tanah, mayat-mayat manusia penuh dengan darah, dan langit gelap yang bermandikan cahaya merah.
Lalu aku melihat Xander, berdiri di tengah-tengah para iblis dan di samping iblis yang memimpin mereka. Wajahnya terlihat sangat menyeramkan, namun aku bisa mengenalinya. Aku tidak tahu mengapa aku bisa mengenalinya. Kemudian aku melihat diriku, tergeletak di tanah penuh darah. Lalu kilasan itu membawaku lagi, melihat diriku yang sedang mencium Xander dan dia menikamku.
Mataku seketika menjadi gelap, aku mundur beberapa langkah dari Xander dengan sempoyongan. Aku telah kembali ke tempat semula, menatap Xander yang sekarang matanya sudah berubah menjadi normal lagi.
Melihat wajahku yang ketakutan, Xander mulai menanyaiku. "Apa yang kau lihat?" tanya Xander penasaran.
"Kehancuran," jawabku. Namun, aku tidak mengatakan bahwa aku melihat dirinya membunuhku.
Xander terlihat tersenyum saat aku mengatakan kehancuran. Seolah dia sangat menantikan hari itu dan mendambakannya. Aku masih menstabilkan diriku lagi. Melihat apa yang baru saja aku lihat, membuatku tidak bisa bernapas.
"Pulangkan aku," kataku pelan. Xander hanya menatapku. "Aku tidak akan pernah mencintaimu, Xander! Cepat pulangkan aku," tambahku.
Xander terlihat sedang berpikir. Dia sedang menimbang-nimbang untuk memulangkanku atau tidak. Aku tahu jelas bahwa dia sangat ingin membunuhku. Akan tetapi kenapa aku? Apa karena aku Demigod? Apakah ini adalah takdir? Apakah aku memang tercipta untuknya?
"Aku akan membuat kesepakatan denganmu. Aku berikan waktu sepuluh hari untukmu kembali. Dan setelah itu kau akan kembali ke tempat ini untuk belajar mencintaiku."
Aku tidak mengerti kenapa dia sangat menginginkanku untuk mencintainya. Apakah ini salah satu cara agar dia bisa membunuhku? "Aku akan mencari seseorang untuk menggantikanku," ujarku.
"Maksudmu kau mau membawa seseorang untuk kau suruh mencintaiku?" tanyanya.
"Aku akan membawakan seseorang untuk belajar mencintaimu, tapi bukan diriku," tawarku.
Xander diam. "Baiklah, waktumu sepuluh hari." Xander kemudian menghilang dan aku kembali ke jalanan tepat saat aku ingin menyeberang.
Lampu penyeberangan masih berwarna merah. Aku kemudian melihat pria di sebelahku dan bertanya. "Hari apa ini?" tanyaku.
"Minggu," jawab pria di sebelahku dengan bingung.
"Tanggal 24 Oktober 2017 atau 28 Oktober?" tanyaku lagi.
"Kau kira kau baru saja kembali dari dunia lain," ejek pria itu sambil tertawa dan dia menyeberang tepat saat lampu penyebrangan berubah menjadi hijau.
Aku merogoh saku celanaku dan mendapati telepon genggamku yang masih utuh seperti semula. Aku mulai menyeberang dan menelepon Kai. Saat teleponnya diangkat, aku meminta Kai untuk menemuiku di tempat biasa kami bertemu.
Cafe D'angelo adalah cafe milik teman Kai. Kami suka berkunjung ke tempat ini karena tata ruangnya yang bisa menenangkanku. Suasananya terlihat seperti berada di hutan dengan aroma dedaunan, hujan, dan citrus.
Menunggu Kai seperti menungguku tertidur, maksudnya lama sekali. Kai adalah sahabatku di kampus. Kami sama-sama mengambil jurusan sejarah mitologi. Kadang aku suka tertawa sendiri jika mendengarkan profesorku berbicara mengenai mitologi, sedangkan aku tahu bahwa mereka nyata. Dan kebanyakan yang mengambil jurusan sejarah mitologi adalah para makhluk mitologi itu sendiri.
Seperti Kai, dia adalah fairy. Wajahnya yang Asia serta kulit putihnya memperlihatkan betapa cocoknya dia menjadi fairy. Dia termasuk salah satu fairy kerajaan. Kedua orang tuanya memegang kerajaan fairy selatan. Namun, Kai bilang, untuk bisa hidup di tengah-tengah manusia mereka juga harus berbaur. Karena itu Kai berkuliah.
Pintu cafe berbunyi dan aku bisa melihat Kai masuk dengan jas berwarna jingga yang membuatnya terlihat mecolok.
Kai memindai ruangan hingga matanya mendapatiku. "Hey, Sera!" sapanya.
"Hari yang buruk, aku bertemu seseorang yang aneh," kataku.
"Pria?" tanyanya.
"Ya, dia makhluk immortal juga. Namun, aku tidak tahu dia makhluk macam apa."
"Ada banyak jenis makhluk mitologi, dan tidak semuanya immortal. Kenapa kau selalu menyebutnya immortal, sih?" Kai duduk di depanku.
"Oke bukan itu intinya, aku melihat kilasan masa depan saat aku mencium pria itu."
Mata Kai sekarang tertuju padaku. "Kau mencium pria yang baru saja kau kenal?" tanyanya lagi sambil tertawa. Seolah dia menganggap hal ini adalah lelucon.
"Dia memintaku untuk mencintainya. Dia kira cinta itu bisa datang tiba-tiba dan dipaksakan," gerutuku.
Kai masih tertawa. "Katakan padaku apa yang kau lihat," katanya.
"Aku melihat sayap-sayap malaikat yang terpotong dan berjatuhan di tanah. Ribuan mayat manusia berlumuran darah dan iblis yang membuat kerusakan." Aku berusaha untuk tidak menceritakan bagian saat aku melihat diriku dibunuh oleh Xander.
Wajah Kai berubah seketika. "Itu ramalan mengenai Armageddon," katanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top