oito


「 テーム・インパラは好きですか? 」

« suka tame impala? »


"UDAH, WAN," DARA, yang mau nggak mau keluar dari bilik berusaha sebisa mungkin menenangkan tantrum temannya yang tiba-tiba muncul itu. "Kan udah gue bilang, mendingan lo nggak usah main sama mereka lagi?"

Awan, bukannya mereda, malah semakin meraung-raung. Tangan kanannya, yang nggak di-gips, digunakan untuk menepis Dara. Ia berniat lari, tapi Dara keburu menahannya. Mau bagaimanapun, gadis itu kuat. "Tapi lo hipokrit! Buktinya lo mau-mau aja digituin sama mereka!"

"Kalau gue punya pilihan gue juga nggak mau main sama mereka, Wan!" Ya Tuhan, Dara nggak pernah menduga kalau Awan rupanya begitu sulit diprediksi.

Sambil berusaha sebisanya lepas dari cengkeraman Dara, Awan melanjutkan, "Kalo gue nggak ngumpul... nanti... dipukulin lagi...."

"Kalau ada yang berani mukul lo, ntar gue pukulin balik." Kali ini, Dara berusaha melakukan pendekatan yang lebih tenang. Tubuh Awan yang hanya enam sentimeter lebih tinggi darinya ia rangkul, bahunya ia usap-usap pelan. "Lo mau dengar, nggak, soal by one gue sama Surya kemarin? Nggak jadi, tahu. Surya mah cemen. Keroyokan doang beraninya."

"Terus kenapa lo nggak pukul aja agit yang kemarin nyerang lo?"

Deg. Pertanyaan tersebut membuat Dara membeku. Ia tahu dirinya terdengar—dan memang—seperti pecundang, memberi nasihat ke orang lain yang nggak ia terapkan dalam kehidupannya sendiri. Makanya tadi ia minta maaf karena Awan, yang pasti selama ini mengira dirinya begitu kuat dan pemberani. Padahal, sekali lagi, sebenarnya dirinya dan Awan nggak begitu jauh berbeda.

Pada akhirnya, Dara cuma bisa menjawab, "Karena gue sebenarnya pengecut, Wan. Gue minta maaf."


「 テーム・インパラは好きですか? 」


Pada akhirnya, yang membuat Awan tenang adalah dua hal: fakta kalau rumah Dara searah dengannya, yang berarti mereka bisa pulang bareng, dan janji Dara untuk mentraktirnya Roti O di stasiun Lebak Bulus.

Seumur-umur, Awan belum pernah pulang sekolah bareng seseorang yang bukan ibunya. Rasanya aneh, duduk bersebelahan dengan orang lain yang ia kenal di dalam MRT. Biasanya, Awan akan menghabiskan perjalanan pulangnya (yang biasanya melelahkan, mengingat ia pulang hampir selalu pada jam tujuh malam gara-gara "nongkrong" dengan anak Beki) sendirian, sambil mendengarkan satu album atau playlist Spotify dengan volume tinggi, hingga suara yang hinggap di telinganya hanya aransemen musik ciamik dan interupsi sesekali dari interkom MRT yang mengumumkan, "Stasiun berikutnya: Haji Nawi! Pintu di sebelah kanan akan terbuka!"

Untuk hari ini, albumnya Currents-nya Tame Impala, sama seperti tanggal 2 Agustus lalu. Tapi, bedanya dengan waktu tanggal 2 Agustus lalu, kali ini nggak cuma interkom kereta yang menginterupsinya, tapi juga rentetan pertanyaan dari Dara, yang entah kenapa tertarik dengan ritual kesehariannya.

"Suka Tame Impala?" tanya Dara, yang membuat Awan menggeser headphone sebelah kanannya.

Awan nggak tahu kalau Dara sebenarnya nggak ngikutin Tame Impala banget, dan cuma tahu The Less I Know the Better gara-gara direkomendasikan Kak Gavin di Bumble tempo hari. Dara hanya ingin memulai pembicaraan, dan Awan, untuk pertama kalinya selama ia diajak bicara oleh orang lain, menjawab dengan sepenuh hati, "Suka. Pokoknya semua band yang genrenya psychedelic rock gue suka." Ia kemudian melepas headphone-nya dan memberikannya pada Dara, yang agaknya menganggap itu sebagai undangan untuk mengenakannya. Lagu yang tengah dimainkan adalah lagu pertama dalam album Currents, Let it Happen. "Ini lagu tuh salah satu opening song paling bagus dalam sejarah musik, menurut gue. Lo tahu, nggak, kalau intro lagu ini tuh inspirasinya dari detak jantung?"

"Memang iya?"

Awan menggerakan jarinya di layar ponsel, sehingga lagu Let it Happen terputar lagi dari awal. Dara langsung disambut dengan rentetan synth—yang kata Awan dimainkan di not C sharp (entah apa artinya, Dara nggak ngerti)—dan dentuman drum yang mengikuti ritme layaknya, persis perkataan Awan, detak jantung. "Ini lagu tuh kayak empat atau lima lagu digabungin jadi satu," Awan menjelaskan, antusias. Tepat saat lagu tersebut mencapai pre-chorus, mata Dara membelalak kagum. Di pertengahan lagu, saat satu nada yang sama diulang-ulang layaknya kaset rusak, Dara menoleh pada Awan dan bertanya, "Ini maksudnya gimana, sih?"

"Lo udah sampai yang bagian itu, ya?" Senyum Awan melebar. Jarang sekali ada yang benar-benar mengapresiasi topik-topik pembicaraan yang ia angkat atau hal-hal yang ia suka, selain sebatas tertawa kayak anak-anak Beki biasanya. "Itu tuh memang sengaja, tahu. Jadi ceritanya si Kevin Parker ini—dia satu-satunya anggota Tame Impala, BTW, soalnya dia bawa band kalau manggung doang—pengin bikin efek ala-ala kaset yang di-skip gitu."

"Lagunya aneh," komentar Dara, yang membuat Awan mengernyit. "In a good way, maksud gue. Tahu nggak, gue dengerin lagu ini jadi ingat Kolongjembatan, tahu."

"Kok kolong jembatan?"

"Band lokal, sih." Dara melepas headphone Awan dan menyerahkannya kembali ke sang pemilik. "Itu, lho, yang konsernya gue datengin dan bikin kontroversi satu sekolah. Genre-nya agak-agak psychedelic juga, kalau yang lo maksud yang vibes-nya kayak gini."

Ah, iya, benar. Awan jadi teringat video Dara joget-joget yang entah bagaimana berefek domino ke insiden tadi. "Ke konser rasanya gimana, sih, Dar?"

"Lo seumur-umur nggak pernah ngonser?"

Awan menggeleng. "Pengin, sih. Tapi berisik, nggak, ya?"

"Ya iyalah berisik!" Dara tertawa kecil. Awan mengernyit, bertanya-tanya apakah ia salah bicara. "Namanya juga konser! Pakai nanya."

Sial. Sekarang Dara tahu akan ke-"istimewa"-annya. Apa jadinya kalau Dara juga tahu kalau alasannya "menyelamatkan" Dara tadi juga karena

"Kapan-kapan ngonser bareng, yuk?"

"Hm?" Awan kaget sendiri. Baru kenal, kok, sudah ngajak ngonser bareng? "Nanti kalo lo ditelurin lagi sama agit-agit, gimana?"

Di luar ekspektasi Awan, Dara malah tertawa kecil. "Ntar kita ditelurin bareng," ucapnya. Awan heran, kok bisa teman barunya ini santai banget menjadikan tragedi yang baru saja terjadi padanya sebuah candaan.

Dara lalu mengeluarkan earphones-nya dari tas sekolah dan menyerahkannya pada Awan. "Gimana kalau kita dengerinnya bareng?" usulnya, yang membuat Awan kaget. Mendengarkan musik saat pergi dan pulang sekolah, baginya, adalah sebuah ritual. Layaknya ritual pada umumnya, ada aturan yang perlu diikuti—misalnya, ia hanya akan mendengarkan musik saat berada di dalam kendaraan umum, volumenya harus 45, dan, yang paling utama, harus menggunakan headset Bose seharga empat juta yang ia dapatkan waktu ulang tahunnya ke-15 kemarin. Mendengarkan musik saat berangkat atau pulang sekolah juga memberinya kesempatan untuk berada di dunianya sendiri, dan berbagi dunianya dengan orang lain rasanya... aneh. Privasinya serasa diganggu.

"Tapi nanti kualitasnya nggak sebagus kalau gue pakai headset gue," Awan bersikeras.

"Emang bedanya apa, sih?"

Awan, yang nggak paham sama sekali kalau pertanyaan Dara nggak memiliki maksud jahat sama sekali, kesal menerima pertanyaa tersebut. "Beda! Headset lain tuh cempreng. Kayak, yaudah, gitu aja. Kalau pakai headset gue tuh, beda. Rasanya kayak lo tuh dikelilingin sama elemen-elemen dari lagunya—ya vokalnya, gitar, bass, drum, semuanya—dari kiri, kanan, depan, belakang lo. Gue udah pernah nyobain, yang kayak punya lo, ya AirPods, dan semacamnya.... Nggak ada yang nyamain ini." Awan menepuk-nepuk ujung atas headset-nya sebagai penekanan poin yang hendak ia sampaikan.

Lalu, Awan buru-buru menutup mulutnya sendiri. Terakhir kali Awan cerita panjang lebar mengenai headset-nya adalah tanggal 26 Juli, tepat saat ia pertama kali diseret untuk nongkrong di Beki. Saat salah satu agit yang entah kenapa dipanggil "Gultik" oleh anak-anak tongkrongan, melepasnya paksa dari telinga Awan dan mengancam akan merusaknya kalau ia nggak memperhatikannya saat berbicara. Tentu saja, itu nggak berakhir baik, karena Awan langsung murka dan meneriakkan seluruh kelebihan headset-nya sebelum menonjok rahang Gultik. Yang, akibatnya, membuatnya ditonjok balik oleh Gultik di perut dengan kekuatan yang sepuluh kali lebih keras dari tonjokannya.

Awan menatap Dara ngeri, takut Dara akan mengeluarkan reaksi yang sama. Namun, di luar dugaannya, Dara malah tersenyum, lalu terkekeh. "Tahu aja gue lagi nyari rekomendasi headset," ujarnya. "Tapi buat sekarang, kayaknya gue pakai earphone cempreng gue dulu aja, deh." Dara lalu memasang earphone-nya di ponselnya, mencari album yang baru saja direkomendasikan Awan itu, dan mendengarkannya sendiri.

Konon, katanya pertemanan sejati dapat dibuktikan saat kamu dapat menikmati duduk diam dalam waktu lama dengan temanmu. Tadinya, Dara beranggapan kalau itu omong kosong—pertemanan macam apa yang isinya cuma diam-diaman doang? Namun, barulah sekarang Dara tahu artinya. Kadang-kadang, kamu hanya perlu ditemani dalam diam setelah seharian yang melelahkan, dan itulah tepatnya yang sedang Dara dan Awan lakukan terhadap satu sama lain. 


a/n; sorry for the slow updates, soalnya gue kemarin memang sibuk dengan seleksi kerja (dan nggak lolos AHAHAHAHAHA). wml di kesempatan lain lah ya. 

btw, gue mau nanya—apakah kalian sebenarnya nggak papa dengan format bab pendek-pendek gini, atau sebenarnya lebih prefer bab yang panjang? please let me know!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top