1. Transferan
["Halo, Sayang, Abang baru saja kirim uang ya. Coba cek di M-banking."]
["Ya ampun, Sayang, yang kemarin saja belum habis, udah dikirimin lagi, Jihan sampai bingung mau dihabiskan ke mana lagi?"]
["Ha ha ha ... buat istri tercinta, uang segitu gak ada apa-apanya. Kamu boleh kasih mama dan papa, atau mau jalan-jalan sama teman nongkrong. Ditabung saja juga boleh, terserah kamu pokoknya."]
["Bang, tapi minggu ini Abang jadi pulang'kan?"]
["Nah, itu dia, Sayang, Abang gak bisa pulang minggu ini. Abang buka cabang di Balikpapan. Doakan lancar ya, masih ada dua cabang lagi yang akan segera lauching di sana. Kalau semua urusan sudah selesai, Abang pasti pulang."]
["Begitu terus sampai gigi ompong! Ini sudah tiga bulan Abang gak pulang. Jihan saja deh yang menyusul ya."]
["Nanti Abang telepon lagi ya, Jihan, ada suplier barang. Jaga kesehatan ya, i love you."]
Sambungan telepon itu terputus. Jihan kembali menghela napas karena kecewa dengan suaminya yang tidak jadi pulang di hari sabtu ini. Padahal ia sudah pergi ke salon untuk perawatan. Ia juga sudah mendekorasi ulang kamar besar mereka dengan sangat cantik dan juga romantis untuk menyambut kepulangan suaminya dari Kalimantan.
Namun semangat yang menggebu-gebu itu sirna, saat suaminya tidak jadi pulang. Malah mengulur hari hingga minggu depan. Bosan, pastinya sangat bosan, saat sedang hangat-hangatnya setahun pernikahan, suaminya terus saja berkeliling mengembangkan usaha. Termasuk dua buah toko meubel yang kini dipegang olehnya.
Tok! Tok!
"Bu, permisi, ada Mas Damar," seru Felisha, seorang gadis berusia dua puluh tahun yang bertugas menjadi asistennya.
"Ya, suruh masuk." Jihan membetulkan riasannya sedikit. Pintu ruangannya terbuka, lalu nampak seorang pemuda bisa dibilang berwajah manis dan bertubuh bagus, berjalan menghampiri mejanya sambil menunduk sungkan.
"Permisi, Bu, saya Damar. Kakak dari Beni."
"Oh, iya, silakan duduk!" Jihan mempersilakan tamunya untuk duduk di sofa, lalu ia pun menyusul duduk di depan Damar.
"Beni tentu sudah mengatakan pada kamu, pekerjaan apa yang saya butuhkan saat ini."
"Betul, Bu, Beni sudah mengatakan pada saya, bahwa saya menjadi sopir mobil pengantar barang ke kustomer."
"Betul, gaji kamu tiga juta satu bulan. Jika toko sedang ramai dan ada lemburan, maka akan dapat bonus. Tidak diperkenankan ijin lebih dari dua kali dalam satu bulan, kecuali sakit. Itu pun harus ada surat dokter. Kamu paham? Dan tolong, kuku kaki kamu digunting ya, dirapikan. Saya risih jika ada karyawan saya yang dekil."
"Eh, b-baik, Bu, terima kasih."
"Kamu boleh bekerja sekarang. Bukan hanya menyetir mobil angkutan barang, tapi kamu juga membantu mengangkat barang kustomer sampai ke dalam rumah." Jihan sama sekali tidak memberikan senyumannya pada Damar. Wajahnya dingin, sebagaimana ia biasa bersikap pada karyawannya.
"Baik, Bu, saya permisi." Pemuda itu keluar dari ruangannya. Jihan duduk kembali di kursi, ia membuka laptop untuk mengecek data Damar yang dikirimkan via email.
Pemuda itu adalah saudara dari Beni salah satu karyawan yang sangat rajin dan juga cerdas. Empat tahun ia bekerja di sini dan sekarang berhenti karena akan menikah dan pergi ke luar kota. Untuk itu, Beni mencarikan sopir baru karena sopir yang lama juga berhenti, bersamaan dengan dirinya.
Damar, lulusan STM. Pengalaman kerja di bengkel dua tahun, di pabrik dua tahun. Merasa bosan, Jihan kembali menutup layar emailnya, lalu berselancar menyelesaikan laporan keuangan dari dua toko meubel milik suaminya.
Ting!
Mama mau bayar arisan, Jihan. Mama pinjam dulu uang kamu ya.
Dua juta dahulu baginya adalah uang yang sangat banyak. Mustahil ia mau mengeluarkan untuk sang mama segitu besarnya hanya untuk arisan saja, tetapi saat ia menikah dengan lelaki kaya, maka dua juta hanya tinggal kedip saja.
Sepuluh juta satu minggu dikirimkan suaminya untuk uang jajan. Diluar biaya rumah tangga, pembantu, bensin, salon, dan lain sebagainya. Sungguh sebuah mimpi yang pasti sangat diinginkan oleh setiap istri.
Jihan mentransfer nomimal yang diminta mamanya menggunakan M-banking.
Sudah ya, Ma, jangan terlalu boros.
Send
Wah, terima kasih anak Mama. Kapan suami kamu pulang?
Gak tahu, Ma, Bang Hadi mau buka cabang lagi. Doakan sukses ya, Ma.
Send
Jangan terlalu sibuk, nanti kamu dan Hadi lama punya anaknya. Mama pengen punya cucu. Kamu sudah setahun menikah, kenapa menunda punya anak terus? Kamu di Jakarta, Hadi di Kalimantan, kenapa kamu gak di sana aja?
Jihan memutar bola mata malasnya. Selalu saja pertanyaan itu yang dikirimkan sang Mama hampir seminggu sekali. Bosan juga mendengar atau membaca pertanyaan yang sama.
Wanita berusia dua puluh delapan tahun itu melihat jam di tangannya yang sudah pukul tiga sore. Ia ada janji nonton film terbaru bersama Noni dan Adis, teman semasa kuliahnya, tepat jam 16.20.
"Felish, saya keluar ya. Mungkin langsung pulang, gak ke sini lagi," kata Jihan pada asistennya.
"Iya, Bu, siap." Jihan pun berjalan menuruni anak tangga. Ia berpapasan dengan enam karyawan lainnya yang sedang berjaga di bawah dan ada juga yang tengah melayani calon pembeli. Sikapnya masih biasa saja, tidak terlalu lebar menarik garis bibirnya, karena di jaman sekarang ini, jika kita terlalu baik dan ramah, sering dimanfaatkan oleh orang lain.
"Sore, Bu," Damar menegur Jihan saat membukakan pintu untuk bosnya itu. Jihan hanya mengangguk saja. Ia memakai kaca mata hitam terbaru miliknya, lalu berjalan menuju mobil sedan Audy yang sudah parkir di tempat biasa.
Jihan mencoba menyalakan mobilnya, tetapi tidak bisa. Kelistrikannya seperti tidak sampai ke mesin sehingga mobil itu mau menyala. Berkali-kali ia mencoba, tetapi tetap tidak bisa.
Jihan keluar dari mobilnya, lalu menoleh ke belakang. Di bawah pohon mahoni, tiga karyawan angkutan barangnya sedang menikmati rokok sambil menunggu orderan.
"Hei, kalian, sini sebentar!" Teriak Jihan memanggil karyawannya. Damar, Eko, dan Budi langsung berlari menghampiri wanita itu dengan wajah penasaran.
"Ada apa, Bu?" tanya ketiganya serentak.
"Diantara kalian, siapa yang bisa benerin mobil?"
"Damar, Bu." Budi dan Eko menjawab serentak, sambil menunjuk Damar.
"Mesin mobil saya tidak mau nyala, coba kamu lihat dulu. Kalau bisa perbaiki dengan cepat ya."
"Baik, Bu, segera. Maaf, saya boleh pinjam kunci mobilnya?" Damar menerima kunci mobil dari Jihan, lalu mulai menyalakan mesin mobil bosnya.
Sepuluh menit sudah Jihan menunggu di dalam toko, tetapi Damar belum juga selesai membetulkan mobilnya.
Teman-temannya sudah tidak sabar kerena film akan dimulai sebentar lagi, sedangkan jarak dari toko ke bioskop memakan waktu setengah jam.
Jihan keluar dari toko setelah ia memesan taksi online.
"Damar, kamu sebenarnya bisa tidak membetulkan mobil saya? Ini sudah sepuluh menit. Saya buru-buru! Sudah sana, kalau tidak bisa, malah nanti mobil saya yang rusak gara-gara kamu."
"M-maaf, Bu, t-tapi memang mobil Ibu ini harus dibawa ke bengkel, saya tidak punya alatnya, Bu," jawab Damar membela diri.
"Bilang dong daritadi, biar saya ga buang-buang waktu. Nanti akan ada montir yang datang, kamu awasi, paham! Sudah, sana deh!" Jihan mengusir Damar untuk segera menjauh darinya. Pemuda itu pun pergi sambil menunduk. Ia merasa tidak enak hati karena tidak bisa membetulkan mobil majikannya.
"Sabar, Mar, Bu Jihan memang pemarah akhir-akhir ini. Mungkin efek dari suami yang gak pulang-pulang. Percuma cantik, pintar, kaya, tapi dicuekin suami."
"Hust! Gak boleh ngomongin bos sendiri. Bilang-bilang kalau Bu Jihan butuh teman ngamar ya? Ha ha ha.... "
Bersambung
Tayang di aplikasi fizzo ya. Mohon supportnya. Baca gratis sampai tamat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top