Memori 9 - Jejak Foto Usang (Nigreosfear)

"Berani-beraninya datang ke sini. Punya nyawa ganda kamu?"

Huh? Rafael tertegun. Pak lurah yang semula ramah, tiba-tiba berubah sinis dan dingin setelah melihat foto yang dibawanya.

"Maaf, Pak Lurah. Saya tidak mengerti---"

Pak lurah menyela kasar, "Keturunan Wiryo Joyo tidak diterima di sini!"

Rafael bisa merasakan kebencian yang teramat dalam pada suara pak lurah saat menyebut nama itu. Dia tidak tahu siapa Wiryo Joyo, tetapi sudah bisa menduga bahwa itu adalah nama pria dalam foto.

Sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan perubahan sikap pak lurah. Namun, ketika dua pria bertampang jagoan tiba-tiba datang dan berdiri di belakang pak lurah, Rafael pun segera berpamitan. Dia datang ke desa ini dengan tujuan memastikan sesuatu, bukan untuk mencari perkara. Jadi, lebih baik segera pergi untuk menghindari keributan.

"Maaf, sudah mengganggu. Kalau begitu saya permisi, Pak." Tidak menunggu respons, Rafael segera bangkit dari duduk.

Akan tetapi, begitu berbalik malah mematung karena pak lurah berkata, "Sudah datang jangan harap bisa pergi. Darah keturunan pengkhianat halal ditumpahkan."

Selain itu, di pelataran ada tiga pria berpenampilan laiknya penjagal manusia sudah menunggu. Sebagai master Taekwondo, Rafael tidak takut sama sekali menghadapi orang-orang itu. Namun, jika mungkin dia sangat berharap bentrokan tidak perlu terjadi.

"Apa perlu sampai seperti ini, Pak?"

Pak lurah menyeringai licik. "Jika ingin keluar dari sini, kalahkan mereka dulu," ujarnya kemudian dengan arogan.

"Jika tidak bisa dihindari, ya, apa boleh buat." Setelah itu, Rafael pun mengayun langkah tegas sambil mencengkeram erat-erat tali ransel yang disandangnya.

Dia hendak melewati ketiga pria itu, tetapi langsung diserang serempak. Tanpa ragu dia melakukan tendangan melingkar disertai lompatan, ketiga lawannya jatuh seketika hanya dalam sekali sapu. Memanfaatkan kesempatan, Rafael pun segera melarikan diri. Namun, kedua pria yang berdri di belakang pak lurah langsung mengejar.

Rafael terus berlari menuju jalan besar desa, tetapi ketika berbelok salah mengambil arah. Gerbang desa seharusnya ke kiri, tetapi dia malah mengambil arah kanan dan masuk semakin jauh.

Desa kecil yang terletak di lereng Gunung Pandan ini sangat lengang. Baru pukul tujuh malam, tetapi pintu-pintu rumah penduduk sudah tutup semua. Jalanan cukup gelap karena tidak ada lampu penerang.

Sial! Kenapa harus salah arah di saat seperti ini, sih? Ketika menyadari sudah salah arah, Rafael pun merutuk dalam hati. Dia menoleh ke belakang dan mendapati kelima jagoan pak lurah sudah bersatu mengejarnya.

Harusnya aku mendengarkan saran Ryan untuk datang besok siang dan tidak sendirian. Sekarang dia menyesali keputusan yang diambil karena tidak sabaran.

Hanya karena penasaran dan berbekal sebaris alamat di balik foto, dia jauh-jauh datang dari Surabaya ke desa kecil dan terpencil di wilayah Bojonegoro ini. Ryan, sahabatnya yang berasal dari kota ini sudah memperingatkan bahwa penduduk Desa Tempiri masih sangat kolot. Mereka seperti hidup di dunia mereka sendiri. Orang luar tidak diterima dan orang dalam tidak ada yang boleh keluar.

Ini namanya penasaran membawa sengsara. Enak rebahan di rumah menikmati liburan kuliah, malah pergi mendatangi masalah. Sambil terus berlari, Rafael mengomel di dalam hati.

Semua gara-gara foto hitam putih usang itu. Dia menemukannya secara tidak sengaja ketika tengah melihat-lihat koleksi buku tua orang tuanya sekitar sebulan yang lalu.

Inilah jawaban sang ibu sewaktu Rafael bertanya tentang foto itu, "Dia orang baik yang nasibnya tidak baik. Berniat membantu menyelamatkan warga dari kerusuhan, malah dituduh sebagai salah satu anggota partai komunis dan akhirnya ditembak di tempat."

Ketika dia bertanya tentang waktu dan tempat kejadian, ibunya hanya menyebut bulan September dan G30S PKI tanpa keterangan tempat.

Awalnya Rafael hanya iseng ingin sekadar tahu, tetapi berakhir dengan penasaran dan ingin tahu lebih banyak. Namun, sang ibu malah terkesan malas membahas tentang peristiwa tersebut dengan mengatakan bahwa waktu itu dirinya belum lahir. Cerita yang diceritakan ulang pun hanya dia dengar dari ibunya---neneknya Rafael.

Rafael pun tidak bertanya-tanya lagi dan mengembalikan foto ke tempat semula. Namun, keesokan pagi ketika baru bangun foto itu malah ada di genggamannya. Dengan perasaan terheran-heran dia pun memandanginya.

Semakin diperhatikan, Rafael pun akhirnya menyadari bahwa wajah pria di dalam foto sangat mirip sang ibu. Setelah itu, entah nyata atau hanya ilusi, dia mendapati pria dalam foto tersenyum sedih dengan mata berkaca-kaca. Karena kaget dia langsung membuangnya ke lantai.

Tidak hanya berhenti di situ, sosok pria di foto itu pun kerap datang ke mimpi Rafael. Dia tidak melakukan apa-apa juga tidak berbicara, tetapi sorot matanya penuh kesedihan. Inilah alasan sesungguhnya kenapa Rafael nekad datang ke sini.

"Lebih baik menyerah, bocah! Percuma saja lari ke sana!" Teriakan orang itu disambut gelak tawa rekan-rekannya. Mereka seperti sedang meledek dan kegirangan.

Tidak lama kemudian Rafael pun mengerti kenapa mereka seperti itu. Dia terpaksa berhenti karena di depannya sudah tidak ada lagi jalan, yang ada adalah jajaran batu nisan dengan latar belakang hutan.

Rafael berbalik dan langsung melompat mundur karena diserang dua orang sekaligus. Lawan-lawannya bersenjata tajam parang, Rafael pun segera mengeluarkan tongkat lipat yang selalu ada di dalam tas.

"Kamu pintar sekali memilih tempat untuk mati." Orang ini mencemooh sambil mengayun parang untuk menyerang, tetapi Rafael dengan gesit menghindar dan malah berhasil memukul panggulnya.

"Bangsat!" Setelah umpatan ini mereka maju serempak, membuat Rafael kerepotan sampai-sampai bernapas pun rasanya sulit.

Seorang master pun jika harus melawan lima orang bersenjata dengan kempuan bela diri yang mumpuni, bisa sangat kerepotan juga. Terus diserang bertubi-tubi akhirnya nahas pun datang, salah satu parang berhasil mengiris perutnya disusul satu tendangan.

Tubuh pemuda itu terpental ke belakang dan yakin pasti akan menghantam batu nisan, tetapi anehnya malah mendarat di rerumputan tebal yang empuk.

Huh? Kok, bisa? Ini di mana?

Rafael segera bangkit dan melihat sekitar. Bahkan sampai memutar badan untuk bisa melihat ke segala arah. Ini bukan pemakan dan rumah-rumah yang berderet itu sangat berbeda dengan yang di desa tadi.

Tempat ini terang benderang meskipun malam. Angin yang berembus sepoi-sepoi serasa merasuki sukma dan memberi kedamaian. Rafael terpaku menatap kebun bunga yang seolah gemerlap tertimpa cahaya bulan---tidak menyadari seseorang sedang mendatanginya.

"Akhirnya kamu sampai juga, Anak Muda."

"Ughf!" Jantung Rafael serasa mau lompat ke luar dan seketika itu juga berbalik. Mendapati orang yang wajahnya sama persis dengan pria di foto, dia pun bergegas mundur dan akhirnya jatuh terduduk.

Pria itu tergelak ringan dan berujar dengan jenaka, "Sudah begitu berani mendatangi tempat ini, apa lagi yang kamu takutkan? Aku bahkan tidak punya senjata."

Angin kembali berembus. Seolah menyapu semua kesan aneh dan membuat Rafael merasa biasa saja, seperti bertemu sahabat lama di tempat yang asing. Bahkan, dia membiarkan saja ketika orang itu duduk di sampingnya.

"Ini di mana, ya, Pak?"

"Indah dan menenangkan, bukan?" Alih-alih menjawab, pria itu malah balik bertanya.

Rafael sejenak menatapnya lekat, kemudian buru-buru membuka ransel dan mengeluarkan foto usang itu. "Ini bapak, kan?"

Pria itu tersenyum sambil menatap wajah Rafael. "Sudah datang sejauh ini apa tidak sebaiknya bertanya tentang hal yang belum kamu ketahui?"

Secara tidak langsung, dia mengakui bahwa pria di foto itu memang dirinya. Rafael pun segera mengajukan pertanyaan lain, "Bapak sengaja memanggil saya ke sini lewat mimpi?"

"Bertanyalah tentang sesuatu yang belum kamu ketahui."

Rafael tertegun, berpikir tentang apa yang ingin diketahuinya, lalu teringat kata-kata sang ibu.

"Ibu bilang, bapak orang baik yang nasibnya tidak baik. Berniat membantu menyelamatkan warga dari kerusuhan, tapi malah difitnah sebagai anggota partai komunis dan akhirnya ditembak di tempat. Apa itu benar, Pak?"

Tidak menjawab pertanyaan, pria itu malah menunjuk ke arah orang-orang yang berlalu lalang di jalan dan menjelaskan, "Mereka semua adalah korban fitnah. Dijadikan kambing hitam, dibunuh untuk menutupi aib para pengkhianat yang sesungguhnya. Mayat kami ditimbun dalam satu lubang di dalam hutan, tetapi seperti inilah kami di dalam gundukan tanah itu. Kami memiliki dunia sendiri yang sangat damai dan tentram."

"Siapa?" Suara Rafael serasa tersekat di kerongkongan. "Siapa pelakunya?"

Pria itu menatap teduh, seolah ingin menenangkan hati Rafael yang tengah bergolak. "Mereka juga sudah dijemput maut, tapi doktrin tentangku sebagai pemimpin PKI masih tetap hidup. Foto Wiryo Joyo digantung di kantor kelurahan sebagai pengingat bahwa dia adalah pimpinan pengkhianat."

"Wiryo Joyo?" Rafael menggumam. Pantas saja dia langsung diburu setelah menunjukkan foto itu. "Itu nama, Anda? Apa itu berarti bapak adalah kakek saya?"

Pria itu kembali tersenyum. "Aku belum pernah menikah. Tapi waktu itu, ibu memang sedang hamil besar."

"Paman." Tanpa sadar Rafael menggumam.

"Ingin melihat-lihat?"

Rafael tersentak. "Apa boleh?"

"Tentu saja."

Pria itu bangkit dan Rafael pun mengikuti. Namun, selama berjalan mereka hanya diam. Sesampainya di ujung jalan barulah pria itu berkata,

"Hak asasi kami memang telah dirampas dan hukum dunia tidak bisa memberi keadilan. Tapi semesta tidak tinggal diam. Dia memberi kami tempat yang sangat indah untuk tinggal. Pulanglah, belum saatnya kamu menetap di sini. Ambil ini untuk kenang-kenangan."

Rafael menerima bunga putih dari pria itu. Segera setelahnya, dia tersedot dalam pusaran cahaya dan tidak lama kemudian terbanting di tempat yang empuk. Ternyata, itu adalah tempat tidur pasien di rumah sakit.

Bagaimana bisa aku ada di sini? Buru-buru dia mengangkat tangan dan membuka genggaman. Matanya langsung melebar, bunga putih itu benar-benar ada.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan Ryan muncul. "Sialan, bikin orang takut saja kamu itu."

Rafael hanya tersenyum lebar.

TamaT

#WIAmenolaklupa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top