Memori 3 - Death Speaks Louder (ryouseiseki)


"Kasus ini tidak pernah mati, kami masih menuntut keadilan hingga hari ini. Kami ingin tahu keberadaan teman dan saudara kami, kami ingin menghentikan penantian panjang tak berujung ini."

・・・

Semua pintu dan jendela tertutup rapat, pagar depan rumah terborgol kokoh, tidak terlihat adanya aktivitas dari dalam rumah-rumah itu. Hal ini sudah terjadi selama berbulan-bulan, kami para aktivis melakukan demonstrasi besar-besaran, mengeluhkan ketidakpuasan kami terhadap krisis ekonomi dan maraknya korupsi.

Terjadi berbagai macam kerusuhan, banyak korban jiwa dan orang hilang. Terutama penculikan terhadap aktivis dan diskriminasi kaum tertentu, konon mereka dihilangkan secara paksa, disiksa, dirampas hak asasinya sebagai manusia, membuat masyarakat takut untuk keluar rumah.

Aku mendengar cerita tetanggaku saat pulang kerja, ia bilang setiap hari selalu diantar temannya, tidak berani keluar sendiri, apalagi tanpa masker dan kacamata. Setiap turun dari mobil, temannya melepas jasnya untuk menutupi wajahnya, lalu mengawalnya sampai tiba di tujuan dengan selamat. Setiap hari dirinya diteror oleh ketakutan, khawatir besok-lusa anak dan istrinya menjadi korban penghilangan paksa ini.

Aku juga mendengar dari temanku yang membuka toko, ia membuat spanduk yang bertuliskan "Milik Pribumi" untuk dipampang di depan tokonya. Ia takut terkena diskriminasi dan menjadi korban penghilangan paksa.

Kerusuhan ini tidak lagi bisa dibendung. Masyarakat, teroris, pemerintah, semuanya telah bercampur aduk. Tidak ada yang bisa memastikan apakah orang di sampingmu kawan atau lawan. Tidak ada yang menjamin keselamatanmu dan orang di sekitarmu pada hari esok. Hawa mencekam menyelimuti negeri ini, Indonesia tenggelam di era yang gelap.

Kekuasaan dan kekayaan dimonopoli oleh pihak tertentu, yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak lagi berlaku, karena hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Heh, bahkan kami tidak bebas mengeluarkan pendapat, hak asasi kami sebagai manusia telah dirampas! Pemerintah sudah tidak bisa dipercaya.

Melihat keadaan ini, aku bersama teman-temanku; Hendra, Rama, dan yang lainnya tidak pernah merasa pesimis, jika kami tidak bisa menemukan cahaya untuk negeri ini, maka kami yang akan membuat cahaya itu. Hari ini aku kembali melakukan demonstrasi, berdiri bersama kerumunan sambil memegang spanduk putih bertuliskan "Turunkan Tirto" dengan tinta merah, aku mengenakan masker dan kemeja berwarna gelap, di kepalaku terpasang ikat kepala merah-putih.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, hari ini juga terjadi kerusuhan. Kali ini karena terdengar suara tembakan dari arah polisi, tidak ada korban yang tertembak, tetapi hal itu berhasil memicu emosi masyarakat. Suasana sudah sangat panas dengan kondisi ekonomi yang runtuh, ditambah suara tembakan dari arah polisi yang berjaga, berhasil memprovokasi massa untuk mengamuk.

Aku tidak yakin apakah polisi itu yang menarik pelatuk, atau ada oknum yang sengaja menyiram minyak ke dalam api untuk menimbulkan kerusuhan. Posisiku terlalu jauh dari suara tembakan untuk memastikannya. Yang pasti,

aku dan teman-temanku terpaksa mundur dari kerusuhan. Kami juga emosi, tapi apa gunanya demonstrasi ini kalau kami tidak selamat?

Keluar dari kerumunan rusuh tidak langsung membuat kami aman, aku dan teman-teman lain sudah membagi rute untuk kabur. Aku, Hendra, dan Rama memilih rute berbeda-beda, kami akan berkumpul lagi sore nanti di rumah Rama.

Fokusku sekarang adalah lolos dari tangkapan polisi. Aku berlari bersama beberapa orang, menuju perempatan jalan yang mulai sepi. Di tengah pelarian, aku mendengar suara perempuan di seberang, ia menjerit karena tiga polisi berhasil menangkapnya. Tubuhnya mungil, mengenakan rompi mahasiswa. Rambutnya hitam dikucir kuda, ekspresinya ketakutan sambil menangis, berusaha melepaskan rangkulan tangan yang melingkari perutnya dan memegangi kedua tangannya.

Aku tanpa ragu mengubah arah lariku, bersama beberapa orang lain menerjang polisi-polisi itu. Aku melepaskan rangkulan dari perut perempuan itu dan mendorongnya sampai jatuh, beberapa orang lain meninju perut mereka dan mulai menendangi ketiga polisi itu dengan emosi, karena hari sebelumnya merekalah yang dihajar polisi-polisi itu.

Sedangkan perempuan yang nyaris tertangkap itu mencengkeram ujung kemejaku kuat-kuat, kakinya gemetaran, poni rambutnya kusut.

"Kak, tolong jangan tinggalin aku ...," gumamnya berkali-kali, tanpa melonggarkan cengkeramannya yang tanpa sadar menusuk kulitku.

Aku menenangkannya dan membawanya ke tempat aman, setelah dirasa tidak ada polisi yang mengejar sampai sini, aku pun menemani perempuan itu sampai ia menjumpai teman-temannya. Mereka berpelukan diiringi tangisan

yang pecah, setelah dirasa aman, aku berpamitan dan langsung pergi menuju rumah Rama karena sudah sore.

・・・

Tidak ada siapa-siapa ... gumamku setelah tiba di sebuah rumah susun lima lantai. Rama tinggal di lantai tiga, dan seharusnya jam segini semuanya sudah berkumpul. Tapi tempat ini masih dikunci, kupangil-panggil tidak ada yang menyahut.

Aku meraba ventilasi di atas pintu, mencari kunci yang biasa ditaruh di sana, ketemu! Aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Tidak ada siapa pun, tapi ada dua cangkir teh yang masih mengeluarkan asap di meja.

Rama dan Hendar barusan masih di sini? Pergi ke mana mereka? Entah kenapa aku mulai merasakan firasat buruk, aku berjalan ke kamar Rama lalu menyembunyikan segala kartu identitas dan diary ke tempat aman.

Saat kembali, aku mendengar seruan dari bawah. Aku berjalan keluar, melihat ke bawah dari balkon. Ada puluhan preman dan polisi bergerombol di bawah, sebagian membawa pistol, sebagian lagi membawa benda tajam dan tumpul.

Mati aku ... dalam hati aku mengulangi kalimat itu berkali-kali. Otakku tidak bisa berpikir jernih, perasaanku campur aduk. Tak lama dua polisi menghampiriku dan memborgolku tanpa perlawanan, mataku ditutup kain hitam, lalu aku diseret ke mobil mereka.

Mobil segera berangkat, dua orang di depan sempat berargumen soal rute yang hendak mereka ambil, tapi aku tidak bisa menebak ke mana tujuan sebenarnya. Yang pasti, bukan hanya aku yang ditangkap, aku bisa mendengar isak tangis orang di sampingku.

Entah satu atau dua jam berlalu, barulah mobil berhenti. Aku dan tahanan lain dikeluarkan dari mobil, disuruh berlutut. Seorang pria bersuara serak bertanya padaku.

"Di mana Rama dan Hendra?"

"Tidak tahu." Aku menggeleng.

"Percuma bohong, aku tahu kalian bersekongkol."

Aku diam, tidak merespons apa-apa. Tiba-tiba, dadaku ditendang sampai tubuhku terjungkal ke belakang. Tak sampai di situ, perutku ikut ditendang membuatku berseru, refleks meringkuk seperti udang.

"Siapa dalang yang menggerakkan kalian?"

Agak terbata aku menjawab, "Ti-tidak ada. Kami bergerak karena keinginan masing-masing."

"Rama? Hendra?" tanyanya lagi mengabaikan ucapanku, "atau kamu, Satya?"

Aku diam lagi. Membuat pria itu menendang wajahku. Dengan tangan diborgol ke belakang, gerakanku sangat terbatas, aku hanya bisa meringkuk menahan sakit.

Interogasi terus berlanjut entah sampai berapa lama, selama itu aku tidak memberikan mereka informasi apa pun, membuat mereka murka dan semakin menyiksaku. Tubuhku diinjak, ditendang, dipukuli, dan disetrum berkali-kali sampai babak belur, membuat kesadaranku nyaris hilang.

"Sudah beres?"

"Percuma, dia tidak mau bicara, Bos."

"Siapa? Oh, Satya."

Mendengar suara itu membuat tubuhku membeku, suara yang amat kukenali. Ia adalah pria yang sangat kupercayai, sampai kuanggap seperti ayah sendiri.

"Marbun ...," desisku gemetar, suaraku dipenuhi berbagai macam emosi. Marah, bingung, kecewa, semuanya bercampur aduk.

"Sudah kubilang jangan terlalu jauh mainnya, Nak. Sekarang kau tahu identitasku, atasanku bilang siapa pun yang tahu harus dibungkam," Marbun diam sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada dingin, "orang mati tidak bisa bicara. Eksekusi."

"Baik, Bos."

"Marbun keparat kau! Pengkhianat! Kami semua memercayaimu! Rama, Hendra, dan yang lainnya--humph!"

Mulutku disumpal oleh gumpalan kain, kemudian setelah mereka mengaitkan sesuatu di borgolku, tubuhku digotong, lalu diceburkan ke air. Entah ini danau atau apa, kedalamannya lebih dari sepuluh meter. Tubuhku terus tenggelam sampai dasar, karena sesuatu yang berat terikat di borgolku.

Napasku tercekat, dadaku sesak. Aku berusaha memberontak, tapi percuma. Satu-satunya yang muncul dalam benakku saat ini hanyalah wajah ibu, aku tidak ingin membuatnya khawatir.

Maafkan aku ibu ....

・・・

"Jadi, kau mati tenggelam ...."

Aku mengangguk, melayang satu senti di aras tanah, masih tidak percaya ada orang yang bisa melihatku. Tapi aku sangat berterima kasih, karena berkatnya, aku bisa mengingat jati diriku lagi.

"Heh, orang mati tidak bisa bicara?" lanjutnya mencemooh. "Justru orang mati bicara paling keras!"

Aku menatap remaja lelaki itu dalam diam, kemudian bertanya, "Bolehkah aku meminta tolong padamu?"

Remaja itu mengangguk. "Tentu, aku ingin membantu arwah tersesat sepertimu untuk menyebrang."

"Jika kau menemukan ibuku atau kerabatku, tolong sampaikan maafku pada mereka. Beritahu mereka bahwa aku sudah tiada. Hanya itu permintaanku."

Remaja itu tersenyum. "Kalau begitu, sebaiknya kau ikut aku. Kalau ada kesempatan, aku antarkan kau pada mereka."

"Terima kasih, kau anak yang baik." Aku merasa jauh lebih lega, rasa bersalah yang merantaiku mulai melonggar. Aku sudah menyampaikan perasaanku dan kisahku.

Setidaknya aku senang mengetahui keadaan Indonesia saat ini jauh lebih baik daripada saat aku masih hidup. Remaja itu menceritakan perekonomian yang ... masih berkembang, tapi setidaknya jauh lebih stabil. Tidak ada diskriminasi, dan nepostime ditentang habis-habisan.

Dari sini aku tahu, bahwa suara kami tidak sia-sia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top