Memori 11 - Suara Dari Halmahera (shadowalker_15)
AIR SUNGAI mengalirderas, membawa lumpur dan puing-puingsisahujansemalam. Di pinggir sungai yang bergejolak, Rara Rahayu berdiri diam, pandangannya terpaku padapohon-pohon yang rebah, hanyut dalam derasnya arus. Asap tebal dari tambang yang jauh terlihat samar-samar, seperti luka yang tak kunjung sembuh di tengah alam Halmahera.
"Ini bukan alam yang marah, ini mereka yang tamak," kata Rara pelan, tangannya mengepal, menahan amarah yang mendidihdi dadanya.
Di sebelahnya, Kepala Suku Haruma memandang dengan tatapan berat. Pria tua itu tak mampu lagimenyembunyikan kekecewaan dan kesedihan di balik wajahnya yang penuh garis waktu. "Mereka telah menjarah tanah kita, Rara. Hutan-hutan itu pernah menjadi tempat kita berburu, mencariobat, hidup bersama alam. Sekarang... lihatlah apa yang tersisa."
Rara menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca. "Bukan hanya hutan kita yang mereka rusak, Pak Haruma. Sungai ini dulu bersih, tempat anak-anak bermain, tempat kehidupan kita bergantung. Sekarang? Semuanya mati."
Kepala suku mengangguk perlahan. "Betul, nak. Tapi apa yang bisakita lakukan? Mereka punya kekuasaan."
Rara menatap langsung ke mata pria tua itu, berusaha menyalakan kembali api perjuangan. "Kita punya suara. Itu yang tak bisamereka beli, Pak Haruma. Suara kita masih bisa didengar."
Pak Haruma menatap Rara dalam-dalam, melihat semangat muda yang tak gentar. "Tapi suara-suara itu bisa dibungkam. Lihatlah mereka yang dulu berani, kini hilang entah ke mana."
Rara tak goyah mendengar pedihnya jawaban dari Pak Haruma. "Kalau saya harus menjadi yang terakhir, saya rela. Tapi saya tidak akan diam. Dunia harus tahu apa yang mereka lakukan di sini."
Suara Rara gemetar, tapi tegas. Dia tahu, satu langkah di depannya akan penuh bahaya. Tapi ia lebih takut pada diam yang membunuh daripada ancaman yang datang dari para pemilik modal. Kepala suku meletakkan tangannya di bahu Rara, menguatkannya. "Berhati-hatilah, Rara. Mereka takkan tinggal diam."
Rara menatap sungai yang semakinderas. "Saya jugatidakakantinggal diam, Pak Haruma. Mereka harus bertanggung jawab. Untuk hutan kita, untuk sungai ini, untuk kita semua."
Air sungai meluap, membawa lumpur coklat yang menyapu rumah-rumah dan ladang di desa. Jeritan penduduk bercampur dengan gemuruh air yang seakan menggila. Di tengah kekacauan, Rara Rahayu takikut lari. Dengan langkah tergesa namun penuh tekad,ia mengangkat ponsel dan mulai mengambil gambar serta video. Rumah-rumah roboh, ladang-ladang tergenang, dan air yang membawa sisa-sisa kehancuran itu adalah bukti dari eksploitasi PT. Indonesia Weda-Bay Industrial Park yang selama ini ia peringatkan.
"Ini bukan bencana alam, ini hasil perusakan alam!" gumam Rara,tangannya gemetar saat mengetik caption yang akan ia unggah di media sosial. Jari-jarinya bergerak cepat, penuh amarah. Dalam hitungan menit, unggahannya tersebar luas. Ratusan orang mulai membagikan, menyuarakan dukungan, menanyakan pertanggungjawaban. Tagar #SelamatkanHalmahera dan #PTIWIPBertanggungJawab mulai naik di lini masa, memicu perbincangan nasional.
Namun, tak berselang lama setelah unggahan viral, ancaman itu datang. Langit Halmahera mendung, seperti mengisyaratkan akan datangnya badai. Rara Rahayu berlari di antara pepohonan yang mulai menipis, di belakangnya suara deru mobil dan langkah kaki para aparat semakin mendekat. Udara terasa berat, tetapi jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ia tahu ini bukan sekadar ancaman, mereka benar-benar ingin membungkamnya—dengan cara apa pun.
Rara terus berlari, napasnya terengah-engah. Kakinya nyaris tergelincir di atas tanah licin bekas hujan semalam. Di depan, ia melihat sungai yang mulai meluap, tetapi ia tak punya pilihan lain. Di belakangnya, suara langkah kaki semakin jelas terdengar.
"Berhenti, Rara! Serahkan dirimu!" teriak salah satu aparat, suaranya bergema di antara pepohonan yang tinggal sedikit.
Rara tak mengindahkan. Ia harus lari, bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk semua orang yang berharap kebenaran akan terus bersuara. Tangannya yang gemetar masih menggenggam ponsel—alat yang menjadi senjatanya dalam menyebarkan kebenaran ke dunia.
Tiba-tiba, suara tembakan meledak di udara. Peluru pertama melesat, menghantam pohon di sebelahnya. Rara menoleh sekilas, melihat para aparat sudah semakin dekat, beberapa dari mereka mengacungkan senjata.
"Jangan sampai dia kabur!" Suara itu penuh perintah, dingin dantanpa belaskasihan. Rara melompat kesisi sungai, air dingin menyapu kakinya, tetapi ia tak berhenti. Dengan napas yang semakin berat,ia berusaha mencari jalan pintas melalui semak-semak yang mulai jarang. Beberapa tembakan lagi terdengar, membuat pepohonan di sekitar terhantam peluru.
"Ayo, Rara, sedikit lagi!" bisiknya pada diri sendiri, memaksa kakinya untuk terus berlari meski rasa lelah mulai menguasai tubuhnya.
Sebuah peluru berdesing melewati telinganya, nyaris menghantam. Rara melompat ke sebuah parit disisi sungai, berlindung sejenak di balik batu besar. Keringat membasahi wajahnya, napasnya semakin tak teratur. Ia mendengar langkah kaki mendekat—mereka semakin dekat, tak ada lagi tempat bersembunyi.
"Ini akhiruntukmu, Rara!" seru seorang aparat darikejauhan.
Namun, tiba-tiba dari balik pepohonan, suara deru motor terdengar. Bima, anak kandung dari Pak Haruma datang dengan motor ninja, wajahnya begitu khawatir.
"Rara, cepatnaik!" teriak Bima sambil menghentikan motornya tepat di depannya. Tanpa berpikir dua kali, Rara melompat ke belakang motor, menggenggam erat pinggang Bima. Dengan kecepatan penuh, motor itu melajudi antara jalanan berlumpur, meninggalkan para aparat yang terus menembakkan peluru ke udara.
Rara menoleh sekali lagike belakang, melihat debu yang mereka tinggalkan. Tembakan masih terdengar, tetapi semakin menjauh. Di dadanya, jantungnya masih berdebar kencang. Namun, di tengah-tengah semua itu,ia tersenyum tipis.
"Kalian tak bisa menghentikan kebenaran," bisiknya pelan, sementara motor itu melaju membawa mereka ke tempat yang lebih aman.
Di balik debu dan suara tembakan, satu hal pasti: meski mereka mengejarnya tanpa ampun, suara Rara akan tetap melintas batas. Kebenaran yang ia bawa akan terus bergerak, tak bisa dihentikan oleh senjata atau kekuasaan.
Keesokan harinya, saat Rara tengah membantu warga yang dievakuasi, sebuah panggilan dari nomor tak dikenal muncul di layar ponselnya. Awalnya,ia ragu menjawab. Tetapi ketika nada panggilan tak kunjung berhenti,ia menggeser layardan mendekatkan ponsel ke telinga.
"Ini Rara Rahayu?" Suara di ujung telepon terdengar tajam, formal.
"Ya, saya sendiri," jawabRara, matanya menyapu pandangan ke arah desa yang kacau balau.
"Kami dari PT. Indonesia Weda-Bay Industrial Park. Anda telah melakukan pencemaran nama baik. Kami akan melaporkan Anda kepihak berwajib."
Deg.
Jantung Rara berhentisejenak. "Pencemaran nama baik? Sayahanya menyuarakan kebenaran. Lihatlah apa yang terjadi di sini! Ini akibat dari apa yang kalian lakukan!"
"Anda tidak punya buktikuat untuk menyalahkan kami. Apa yang Anda lakukan adalah fitnah, dan kami tidak akan tinggal diam. Bersiaplah menghadapi tuntutan."
Telepon terputus, menyisakan keheningan yang menyesakkan. Rara menatap layar ponselnya yang mati, perasaannya bercampuraduk antara takut dan marah.
"Kita yang dihancurkan, kita yang disalahkan," bisiknya pelan, mencoba menenangkan diri. Tetapia marah dalam dirinya terus membara. Ini bukan lagi tentang banjir atau hutan yang gundul. Ini tentang bagaimana suara orang-orang yang memperjuangkan keadilan lingkungan dibungkam oleh kekuatan yang jauh lebih besar.
"Kamu benar-benar menantang mereka, Rara," bisik seorang ibu yang lewat, menggenggam lengan Rara dengan erat. "Hati-hati, mereka takkan segan menghancurkanmu."
Rara mengangguk pelan, tapi dalam hatinya, ia tak gentar. Ia tahu ini adalah taktik klasik untuk membungkam suara-suara yang berani. Setelah panggilan polisi dan tuduhan pencemaran nama baik itu menghantam Rara, ia tahu pertarungan belum berakhir. Tetapi sesuatu yang tak terduga terjadi—dukungan datang dari berbagai penjuru.
Media sosial bergolak, tagar #BebaskanRara dan #SelamatkanHalmahera bergaung semakin kuat. Foto-foto banjir, hutan gundul, dan wajah tegas Rara tersebar luas. Ribuan orang mulai menyuarakan keadilan untuk alam dan melawan kekuatan perusahaan besar yang mencoba membungkam seorang aktivis kecil.
Hari persidangan telah tiba. September 2024 adalah peristiwadi mana Rara akan menjalani proses hukum yang sangat berat dalam hidupnya sendiri. Rara berdiridi ruang pengadilan yang dingin, dikelilingi oleh pengacara perusahaan tambang yang berwajah angkuh. Mereka berargumen, mengatakan bahwa Rara telah merusak reputasi mereka dengan tuduhan tak berdasar. Di seberang, pendukung Rara memenuhi kursi-kursi sidang, menatapnya penuh harap.
"Bencana ini bukansekadarbanjirbiasa," Rara berbicara tegas ketika di beri kesempatan. "Ini adalah akibat dari kerusakan lingkungan yang mereka buat. Saya takakan mundur karena intimidasi. Yang rusak bukan hanya tanah kami, tapi kehidupan orang-orang disini."
Seluruh ruang sidang hening. Pengacara perusahaan berusaha mengajukan bukti, tapi publikasi yang sudah tersebar luas membuat suara merekatenggelam. Fakta bahwa kehancuran lingkungan nyata di depan mata tak bisa lagi disangkal.
Puncaknya terjadi saat salah satu saksi daridesa, Pak Haruma, kepala suku, berdiri dengan tangan bergetar. "Saya telah hidup di Halmahera seumur hidup saya. Apa yang dikatakan Rara benaradanya. Mereka telah menghancurkan rumah kami, dan banjir ini adalah akibatnya."
Hakim terdiam sejenak, melihat bukti kehancuran yang tak terbantahkan. Suara rakyat, yang selama ini hanya dianggap angin lalu, kini terdengar nyaring di ruang pengadilan.
"Kami tidakbisa membungkam kebenaran," kata hakim akhirnya. "Kasus ini ditutup, dan tuduhan pencemaran nama baik dibatalkan."
Rara tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. Ia tahu ini baru awal, tapi satu hal jelas: suara kebenaran tak bisa di bungkam, tidak oleh kekuasaan, tidak oleh uang, dan tidak oleh ancaman. Dunia telah mendengar, dan mereka akan terus bersuara. Publik memang telah mendukungnya, tetapi perusahaan takakan menyerah begitu saja.
Namun, diluargedung,iadisambut oleh kerumunan pendukung yang terus bersorak. Tagar #BebaskanRara masih ramai di lini masa, dan wajah-wajah penduduk desa Halmahera yang tertindas kini menatapnya dengan harapan. "Kamu sudah membuka jalan, Rara," bisik Pak Haruma yang berdiri di dekatnya. "Mereka tahu siapa yang bertanggung jawab sekarang."
Rara menatap ke depan, melihat para wartawan dan aktivis yang menunggunya. "Mungkin kebebasan untukku tertunda," katanya dengan suara mantap, "tapi kebenaran takkan pernah berhenti berlanjut. Suara ini akan terus bersuara, sampai keadilan benar-benar datang."
Ia tahu, perjuangannya belum selesai. Tapi sekarang, ia tak lagi berjuang sendirian. Dan meski mereka mencoba membungkamnya, kebenaran tak pernah bisa dihentikan—ia akan selalu menemukan jalannya sendiri untuk didengar.
"Mereka bisa memenjarakan saya, tetapi mereka tidak bisa memenjarakan kebenaran!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top