Memori 1 (nrndraaptr)

Dua puluh tahun berlalu sejak kematian Abidine Zaska. Kasus itu tenggelam dalam arsip usang, seperti banyak kasus lain yang tidak pernah mencapai titik terang. Namun, bagi Gaspar, detektif senior di kepolisian, tidak pernah benar-benar bisa melupakan kasus itu. Sebuah rasa bersalah yang samar terus membuntutinya—seolah-olah ada sesuatu yang belum terselesaikan, sesuatu yang dulu dia abaikan.

Pria berkumis tipis itu duduk di depan meja kayu tua di kantor yang berbau kertas, menyisir berkas-berkas terbaru belakangan. Foto-foto mayat aktivis yang ditemukan dalam dua bulan terakhir terpampang di hadapannya. Setiap kematian, setiap luka, setiap bukti yang dia teliti terasa ... terlalu familiar. Seperti deja vu yang mengganggu.

Gaspar mengambil rokok, menyalakannya perlahan, menyesap, menarik napas dalam dan mengembuskannya

"Sama." Ia menggumam.

"Apa yang sama, Pak?" Suara rekan mudanya, Braga, menginterupsi. Wajah pemuda awal tiga puluhan itu bersih dari keletihan sistem yang Gaspar rasakan. Matanya masih penuh gairah dan idealisme yang belum tercemar.

"Dulu ... ada seorang aktivis," katanya. "Abidine Zaska." Suaranya pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. "Racun arsenik, kematian dalam penerbangan. Semuanya tenggelam dalam lipatan sejarah. Tapi sekarang ...." Gaspar menatap sekumpulan berkas atas meja. "Ini terlalu mirip."

"Abidine Zaska? Ah, aku pernah mendengar namanya di kuliah, tapi ... bukankah sudah lama sekali?" Braga menyipitkan mata, menerawang di langit-langit, mencoba menghubungkan potongan-potongan yang tidak dia kenal secara mendalam.

Gaspar menarik napas panjang. "Ya, sudah lama, tetapi yang lama tidak selalu mati, Braga. Kadang, ia hanya menunggu." Usai mengucapkannya, Gaspar bangkit, menekan puntung rokok yang masih panjang dalam asbak, lalu keluar dari ruangan untuk menyeduh teh, katanya. Ya, dia suka teh.

Tak lama, telepon genggam berdering singkat, Braga segera beralih mengangkat panggilan itu. "Selamat pagi, dari Kepolisian Borneo—"

"Braga." Sebuah suara lelaki tampak tak asing membuat Braga mengerutkan kening. "Apakah kau banyak menghabiskan waktu dengan keluargamu belakangan ini?"

***

Beberapa hari kemudian, Gaspar mendapati dirinya duduk di ruang arsip tua di lantai bawah kantor polisi. Lampu temaram di sudut ruangan hampir tidak bisa menerangi tumpukan berkas yang membanjiri meja di depannya. Ia mulai menggali dokumen-dokumen lama, menyisir setiap potongan informasi yang bisa menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Dengan tangan gemetar, dia menemukan berkas itu: Abidine Zaska.

Nama yang dulu terasa samar, kini menjadi nyata lagi. Seolah membayang di depan matanya. Mereka yang dulu berkuasa, yang dulu berbisik di balik tirai kekuasaan, masih ada di sini—entah sebagai bayangan di belakang layar atau kini mewariskan kekuasaan pada penerusnya.

Gaspar memijat pelipisnya. Rasanya aneh, tetapi dia merasa tubuhnya kaku, napasnya tersendat. Semua ini ... mengingatkan dia pada malam-malam panjang yang ia habiskan bertahun-tahun lalu, malam di mana kebenaran terkubur begitu dalam.

"Kita selalu tahu," bisiknya pada diri sendiri. "Mereka sudah tahu sejak dulu."

***

Setelah berhari-hari mengumpulkan potongan-potongan yang menghubungkan kasus lama dengan pembunuhan aktivis-aktivis masa kini, detektif Gaspar dan Braga menemukan satu nama yang muncul berulang kali: Wayandaru, seorang mantan pejabat tinggi yang kini pensiun dengan tenang di pinggiran kota. Dari info yang mereka dapat, pria usia lebih dari paruh abad itu pernah terlibat dalam kasus Abidine Zaska.

Sedan hitam berhenti di depan rumah yang terletak di kawasan sunyi. Cahaya lampu remang-remang dari jendela memberi kesan rumah itu ditinggalkan waktu, seperti pemiliknya. Gaspar menatap pintu kayu depan dengan perasaan aneh di dada, seolah sesuatu yang sangat kelam menunggu di baliknya.

"Kau yakin ingin tahu?" tanya Gaspar, suaranya datar tetapi penuh makna. "Kebenaran tidak selalu bisa kau bawa pulang."

Braga menoleh, sorot matanya tegas. "Bukankah itu pekerjaan kita? Menemukan kebenaran?"

Gaspar tidak menjawab, ia hanya melangkah mendekati rumah dan mengetuk pintu. Begitu pemilik membuka pintu, dia tidak terlihat seperti mantan pejabat yang tangguh, lebih seperti lelaki tua yang hidupnya tinggal menunggu hari. Kulit Wayandaru kelihatan lebih mengendur meski usianya hampir sama dengan Gaspar. Bahkan, bibirnya tampak pecah-pecah.

Gaspar mengeluarkan kartu kepolisian. Wayandaru butuh waktu setidaknya beberapa detik guna mengamatinya, sebelum pada akhirnya ia sadar. Seakan momen ini memang akan terjadi. Ia mempersilakan dua detektif itu masuk.

"Kami di sini untuk bertanya tentang Abidine Zaska." Gaspar akhirnya membuka percakapan dengan suara berat. "Kurasa Anda tahu sesuatu tentangnya."

Wayandaru tersenyum kecil, lalu menggelengkan kepala. "Kopi? Teh?" tawarnya pada dua detektif itu.

"Saya tidak minum kopi." Gaspar menyilangkan kakinya. Ia menatap Bragas. Pemuda itu hanya menjawab pelan sambil mengamati rekannya, "Kopi."

Beberapa menit kemudian, Wayandaru kembali dengan dua cangkir kopi dan secangkir teh di atas nampan. "Abidine?" katanya menyambung bahasan barusan. "Ah ... sudah lama sekali. Mengapa kalian mempertanyakannya?" Wayandaru segera membagi minuman pada kedua tamunya.

"Karena kematian ini terulang lagi," sahut Gaspar. "Dua minggu lalu. Aktivis yang terbunuh. Racun. Semua ini sangat mirip."

"Termasuk kasus dua tahun sebelumnya. Aktivis dan ya ... racun. Semuanya serupa." Bragas menambahi.

Wayandaru mendengus pelan, senyumnya menghilang. Matanya yang tadi terlihat lemah kini memancarkan sesuatu yang gelap. "Ada hal-hal yang tak boleh diungkap. Dulu Abidine, sekarang para penerusnya. Sistem ini tidak berubah, Detektif. Ia hanya beradaptasi."

Gaspar merasakan detak jantungnya tak ternetralisir. Keningnya mengerut. "Jadi, semua ini ... ini tentang kekuasaan yang ... sama?

"Bukan tentang siapa yang berkuasa," sahut Wayandaru dingin. "Ini tentang kelangsungan kekuasaan itu. Kalian bisa membunuh orang, tetapi ide-ide mereka ... itu yang harus kalian tekankan." Wayandaru bangkit, mengamati dua detektif dengan kepudaran senyuman. "Kita selesai di sini."

***

Malam itu keduanya kembali ke kantor sekitar pukul 22.30. Gaspar termenung di meja. Berkas-berkas di hadapannya bercerita lebih banyak daripada yang bisa dia ungkap pada rekannya. Semua bukti ada di sana, semua petunjuk yang menautkan kematian Abidine Zaska dengan kasus-kasus belakangan ini. Tapi bukti itu seolah tidak ada gunanya.

Bragas mendekat, duduk di kursi depannya, masih menggenggam salah satu berkas. "Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang, Pak? Mengungkapnya?"

Gaspar tidak langsung menjawab. Matanya kosong menatap foto pejabat tinggi di depan. "Mungkin ... aku akan diam." Kalimat itu keluar dari bibirnya, tanpa emosi, tetapi dipenuhi kepahitan.

"Diam? Setelah semua ini?" Bragas hampir tidak percaya.

Gaspar menghela napas panjang. "Kau akan belajar, Bragas ... beberapa kebenaran tidak dimaksudkan untuk diungkap. Setidaknya, bukan oleh kita."

"Dan jika kita tidak mengungkapnya, bukankah yang kita lakukan sejauh ini sia-sia?" Bragas tampak membela diri.

Gaspar mengembuskan napas panjang. "Kau perlu memahami polanya sejak kasus Abidine Zaska dan aktivis lainnya," ujarnya, "aku tidak suka kita hanya menangkap pelaku lapangan, bukan ... siapa dibalik ini semua."

"Ah, Abidine ... betapa malangnya ..." sambung Gaspar sambil terkekeh kosong. "Dia sepertinya tahu banyak. Mungkin terlalu banyak."

Malam itu, Gaspar mempersilakan Bragas untuk pulang. Namun, sebelum pulang, Bragas menawarkan diri untuk membuatkan Gaspar secangkir teh dan beliau menerimanya dengan senang hati. Lepas itu, Bragas segera berpamitan pulang. Namun, tak jauh dari luar kantor yang sepi, Bragas menerima panggilan tak dikenal di telepon. Dengan ragu ia mengangkat.

"Bragas," sapa suara dibalik saluran telepon. "Kenapa kau buru-buru?"

Kening detektif itu mengerut. " ... Inspektur?"

***

Keesokan harinya, Bragas berdiri di depan kantor polisi yang ramai sekali sambil memegang segelas kopi hangat dengan gemetar . Garis polisi yang membentang bahkan tak bisa ia lewati sebab kedua kakinya mendadak lemas. Kabar tentang kematian Gaspar tersebar begitu cepat. Dibunuh dengan racun arsenik, dalam teh. Semua orang terkejut—dia dikenal sebagai detektif tangguh, beridealisme tinggi dan memiliki prinsip sendiri. Kenapa ... andai ....

Mayat Gaspar dalam body bag telah dibawa menuju Ambulance yang terparkir. Di belakang, Inspektur Rudana, beberapa polisi dan tim identifikasi forensik yang lain menyusul. Pandangan sang detektif bertumbuk dengan atasan—Inspektur Rudana. Buku jari Bragas tiba-tiba mengeras, giginya bergemeletuk menahan gejolak di dada, tetapi ia tetap tak bisa berbuat apa-apa ketika Inspektur Rudana dan beberapa polisi mendekat ke arahnya.

"Kau tahu banyak. Mungkin terlalu banyak," bisik Inspektur Rudana, satu sudut bibirnya terangkat singkat, sebelum akhirnya memerintahkan pada polisi untuk memborgol kedua tangan Sang Detektif.


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top