Sebuah Hal Baru.

Ayla hanya bisa berdiri seperti orang bodoh, dia berdiam diri dan mematung. Ucapan Devano tadi, benar-benar begitu dingin dan tak berperasaan. Ayla, kini menoleh, Devano tampak berjalan kemudian sosoknya menghilang setelah berbelok di gedung kelas tiga belas. Sambil menahan napas sedihnya, Ayla hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Jadi, itukah aslinya seorang Devano? Bukan hanya dingin, Devano ternyata sosok cowok yang tidak berperasaan. Namun, entah kenapa dada Ayla masih saja berdesir setiap kali ia menggumamkan nama Devano? Sebuah hal yang sama sekali tidak pernah terbayangkan, dan sebuah hal yang membuat Ayla tidak habis pikir bahkan dengan dirinya sendiri.

"Ngapain lo di sini? Gue kira ada monyet abis nyebur comberan," celetuk seseorang yang berhasil membuat Ayla menoleh.

Ternyata dia tidak tahu, jika di bangku kayu yang berada tepat di bawah pohon mangga itu ada seseorang yang sedang tidur sambil menutup wajahnya dengan topi, dan siapa sangka jika seseorang itu adalah Arka.

Ayla mendengus, kenapa di setiap kesialan hidupnya, Arka selalu ada di mana-mana? Dan sekarang pasti Arka akan menertawakannya lagi, ini adalah hal yang tidak baik sama sekali bahkan oleh siapa pun itu.

"Elo habis dari mana sih? Gue rasa hari ini cerah, mendung aja enggak, apalagi ujan. Kenapa tubuh lo basah kuyub kayak gitu? Elo habis mensucikan diri di kolam lele di lapangan tengah itu?" ejek Arka lagi.

Ayla akhirnya memandang Arka, jika bisa dia begitu ingin melempar Arka dengan sepatunya, menyumpal mulut Arka agar cowok itu tidak banyak bicara. Ayla sedang kesal, dia sedang marah bercampur malu, tidak bisakah Arka untuk sekali saja tidak banyak bicara dan hanya diam?

"Atau jangan-jangan elo dikerjain sama cewek-cewek pecinta Devanon itu, ya? Iya, kan?"

"Berisik! Cerewet banget sih lo jadi cowok! Gue timpuk pakai sepatu juga lama-lama!" kesal Ayla pada akhirnya.

Arka malah tertawa, dia tak memiliki rasa takut sedikitpun kepada Ayla. Melihat Ayla marah dengan wajahnya yang semerah tomat justru malah membuat Arka semakin bersemangat untuk menggoda Ayla.

"Kenapa? Ada yang salah? Gue ada hak bertanya sama elo, elo ingat kan, Bang Daren bilang apa? Jagain elo kayak adek sendiri, jadi pastilah gue harus jagain elo dengan sepenuh hati. Jadi, jangan harap elo bisa lepas dari pengawasan gue. Gue bakal jadi kamera CCTV elo selama di sekolah, apakah elo paham, Nyet?"

"Kalau elo Bang Daren, pasti gue nggak bakal kayak gini," ucap Ayla. Dia memandang Arka dengan tatapan tajam, matanya kini tampak nanar. Setelah mengatakan itu, Ayla langsung pergi begitu saja.

Arka yang melihat tatapan Ayla tidak seperti biasanya pun, senyum merekah yang ada di bibir Arka pudar. Arka kemudian mengembuskan napas panjangnya dengan sempurna, lalu ia mengacak rambutnya yang tak gatal.

Ayla berjalan menyusuri koridor untuk kembali ke kelas. Niatnya untuk menyusul Intan dan Nuna pun harus diurungkan. Bagaimana bisa Ayla datang ke kantin dengan kondisi seperti ini? Tentu saja dia tidak berani dan malu sekali.

Ayla duduk di dalam kelas, beberapa anak memandanginya dengan tatapan aneh. Ada rasa heran bercampur tanya, tapi mereka tidak ada yang berani bertanya. Bagaimana tidak, mereka adalah teman sekelas baru, ditambah dengan gosip jika Ayla adalah pacar Devano merupakan hal yang semakin membuat mereka merasa enggan untuk mendekati Ayla.

Sementara Ayla harus menelungkupkan wajahnya di atas meja, dia benar-benar sangat malu. Dia tidak tahu harus bagaimana, tubuhnya basah kuyub sekarang dan dia tidak membawa pakaian ganti. Apakah dia harus mengenakan seragamnya yang basah sampai jam pelajaran berakhir nanti? Ayla pasrah, ini adalah hal yang sangat menyesakkan hati. Tidak pernah terbayangkan jika dirinya harus mengalami perundungan seperti ini bahkan di hari pertama dia sekolah. Sebuah kejadian yang jelas pasti diyakini Ayla jika perundungan ini bukanlah sekali, bukan akhir, melainkan awal dari kesialannya selama tiga tahun sekolah di sini.

Lantas, apa yang harus Ayla lakukan? Apakah rasa suka dan kagumnya kepada Devano itu salah? Sampai sekarang semua orang mengatakan jika dirinya adalah ceweknya Devano pun, Ayla masih tidak merasa seperti itu. Ya, Ayla memang mengagumi Devano, Ayla memang mengidolakan Devano, hingga semua ucapan kasar Devano kepadanya pun Ayla masih sangat menyukai Devano. Namun bagaimana bisa, rasa kagum seseorang harus dibalas dengan sebuah perundungan?

"Ay, ya ampun! Elo kenapa bisa basah gini!"

Ayla mendongak, ternyata Intan dan Nuna sudah kembali ke kelas. Ayla tidak tahu jika dua sahabatnya itu sudah secepat itu kembali ke kelas, padahal setahu Ayla, Intan belum sarapan.

"Kalian kok udah balik?" tanya Ayla dengan polosnya. Intan dan Nuna saling pandang, kemudian keduanya berdecak.

"Gimana kami nggak langsung balik kalau elo lama banget nyusulinnya, ditambah ada kabar dari anak-anak kalau ceweknya Devano dibully sama kakak tingkat, jadi kami buru-buru ngecek elo, dan ternyata benar, elo kayak gini. Elo diapain, Ay?" tanya Intan kemudian.

Ayla menghela napas panjangnya, sementara Intan sudah membantu Ayla mengeringkan rambutnya dengan tisu, yang bahkan belasan lembar tisu tidak akan mengeringkan sekujur tubuh Ayla.

"Gue nggak tahu, gue hanya ke kamar mandi terus pas gue mau keluar, ada ember yang di dalamnya ada air, ember itu nyiram gue gitu aja. Kemudian tiga kakak tingkat keluar, mereka nyuruh gue buat ngejauhin Devano karena gue nggak pantes buat Kak Devano. Gue aja masih belum paham tentang ini, tapi ..." kata Ayla terhenti, Ayla kemudian memandang dua sahabatnya itu dalam-dalam. "Tapi kemudian, Kak Devano datang, dia nolongin gue dan ngasih jaketnya buat gue. Dia ngancam kakak tingkat yang udah ngerjain gue, agar mereka nggak ngejahilin gue lagi. Kemudian gue diajak pergi dari sana."

"Hah, seriusan?"

"Elo nggak mimpi, kan?"

"Kak Devano?"

"Elo nggak bercanda, kan?"

Seloroh Intan dan Nuna bergantian, mendengar kalimat terakhir Ayla, siapa yang akan percaya dengan hal itu?

"Dua rius, malah!" jawab Ayla yang mulai kesal karena tidak dipercayai oleh kedua sahabatnya tersebut. "Namun sayangnya, setelah kami keluar, sifat asli Kak Devano muncul."

"Muncul gimana?"

"Dia bilang, gue harus ngelaundry jaketnya, agar jaketnya nggak terkena sentuhan tangan gue sama sekali."

"Hah? Kak Devano bilang gitu?" tanya Nuna. Ayla pun menganggukkan kepalanya lemah. "Kurang ajar cowok itu emang! Mentang-mentang dia cakep juga, berani-beraninya dia ngomong gitu sama sahabat gue! Mana orangnya? Gue harus kasih pelajaran buat dia!" kata Nuna kesal, yang sudah hampir melangkah pergi, tapi langsung ditahan oleh Intan dan juga Ayla.

"Jangan, Nuna! Itu malah ngebikin Ayla makin jelek di mata Kak Devano!" kata Intan kemudian. Intan, lalu memandang Ayla, mengerutkan keningnya dengan sempurna. "Ay, kalau boleh gue kasih saran deh, perjelas ini semuanya. Elo harus temuin Kak Devano dan bicara empat mata sama dia. Tanya ke Kak Devano tentang masalah elo yang tiba-tiba jadi ceweknya, agar kebingungan elo itu jelas, dan apa yang terjadi juga jelas! Elo nggak mau kan kayak gini terus? Di saat elo aja nggak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba Kak Devano jadi cowok elo! Elo harus tegas, Ay, ini demi masa depan elo sendiri. Seenggaknya agar elo nggak dibully lagi ama mereka-mereka yang jahatin elo sampai kayak gini!"

"Oy, kakak tingkat yang udah nyiram ceweknya Kak Devano kini sedang dijahilin! Tas mereka digantung tinggi di atas pohon sampai mereka mau menangis!"

Sontak kabar yang dibawa oleh salah satu teman sekelasnya itu membuat Ayla menoleh, sebuah kabar yang sangat mengejutkan lebih dari apa pun itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top