Ajakan Pulang.
'Jangan berani sentuh Ayla, sekali lagi kalian ngelakuin itu, bukan hanya tas kalian yang akan gue gantung, tapi kepala kalian yang akan gantiin tas-tas itu.'
Jelas, dan padat. Itulah isi sebuah pesan yang ditulis pada secarik kertas yang ditemukan oleh salah satu kakak tingkat Ayla. Mereka bertiga hanya bisa mendengus, merutuki perbuatan siapa pun yang telah sudah sangat keterlaluan ini. Bagaimana tidak, hal ini tentu saja membuat mereka kesal. Mereka begitu ingin membalas tapi mereka tidak tahu harus membalas semua perlakuan ini kepada siapa. Mereka sendiri tidak bisa menebak siapa gerangan pelaku semua kejahatan ini.
"Apakah ini ulah Devano?" tanya sosok cewek bertubuh cungkring dengan rambut pendeknya itu. Dia memandang dua temannya dengan tatapan ngeri, dan dua temannya itu langsung menggeleng kuat.
"Nggak mungkin. Kita sendiri tahu Devano itu kayak apa. Dia itu cowok dingin yang sangat cuek, kayaknya mustahil banget kalau Devano sampai ngelakuin kayak ini hanya karena cewek nggak jelas seperti cewek tadi. Gue rasa ada orang lain yang ngelakuinnya,"
"Lantas siapa?" tanya itu berhasil membuat cewek berambut panjang itu terdiam. Benar, siapa gerangan yang melakukan itu? Jelas-jelas yang menjadi cowoknya si cewek tengil itu adalah Devano, dan dari sekian banyak siswa yang ada di sekolah, mereka rasa tidak ada satu pun yang berani melawan mereka.
Sampai akhirnya, mereka bertiga pun tidak ada yang menemukan jawaban sama sekali, mereka hanya bisa berusaha mengambil tas mereka dengan kebingungan yang luar biasa di dalam otak mereka.
"Ayla anak kelas sepuluh?"
Suara itu berhasil membuat Devano yang sedari tadi memperhatikan tiga cewek yang terus berusaha mengambil tas mereka pun menghela napasnya dengan sempurna. Namun Devano sama sekali tidak menjawab, Devano sama sekali tidak menampilan mimik wajah yang serius, hanya diam dengan tampang yang benar-benar datar dan menjurus ke dingin bahkan.
"Kenapa lo ambil inisiatif buat macarin cewek kelas sepuluh itu? Kenapa gue nggak tahu kalau elo udah ada cewek?" ulang cowok berambut keriting, yang mengenakan kacamata tebal berbentuk bulat—Abian.
Devano pun hanya melirik Abian, melipat kedua tangannya di dada, berjalan tanpa mengatakan apa pun dan hal itu tentu saja membuat Abian kesal. Seolah, mengabaikan pertanyaan adalah salah satu dari hobi Devano sekarang.
"Devan—"
"Apakah urusan pribadi gue merupakan masalah lo?" Abian yang mengejar Devano pun langsung terdiam, mulutnya tertutup rapat sekarang. "Jangan suka mengurusi urusan orang. Masalah pribadi gue nggak perlu gue laporkan sama elo, kan?" dingin, dan cukup menyakitkan. Itulah yang diucapkan oleh Devano kepada Abian. Padahal semua orang pun tahu siapa Abian, dia adalah satu-satunya anak yang mungkin betah dan sudi untuk dekat-dekat dengan Devano dan betah dengan semua perlakuan ketus Devano.
Setelah mendengar ucapan Devano, Abian pun kini langsung berjalan di samping Devano sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali.
"Ya maaf, bukan maksud gue kayak gitu, Devano. Gue hanya penasaran saja, elo nggak pernah sama sekali cerita tentang ini sama gue dan gue juga nggak tahu sama sekali tentang Ayla. Omong-omong, selamat ya, elo akhirnya ngomong juga kalau udah nggak jomlo, ya, meski akan banyak cewek yang nangis karena pengakuan terang-terangan lo itu ke public yang cukup membuat semua orang kaget, bahkan gue! Gue pikir elo nggak ada nafsu sama cewek, gue pikir lo mau fokus sama pendidikan lo aja, siapa sangka kalau lo malah udah punya cewek segala, omong-omong, kalian pacaran udah berapa lama? Kok gue nggak lihat elo anter-jemput dia? Setahu gue, dia malah diantar sama cowok yang naik motor keren tadi, keduanya telat pas upacara bendera, dan—"
Ucapan Abian lagi-lagi terhenti saat Devano memandangnya dengan tatapan kesal luar biasa, ini adalah hal yang tidak pernah terbayangkan, ini adalah hal yang paling menyebalkan yang pernah ada di dunia.
Devano pun langsung masuk ke dalam kelas, kemudian dia duduk. Membuka salah satu buku paketnya dalam diam dan tak mengatakan apa pun, seolah benar-benar mengunci dirinya dari Abian, dan membuat Abian nyaris tidak bisa berkata apa pun juga. Abian yang merasa jika Devano memang sedang malas berbicara dengannya pun memilih sibuk juga dengan bukunya. Ya, lebih baik belajar dari pada dibenci Devano, dan Abian rasa jika apa yang diucapkan sedari tadi memang sudah cukup keterlaluan.
Sementara itu, Ayla tampak sedang berganti baju. Agaknya dia baru tahu jika di kantin sekolah menyediakan beberapa potong seragam, setidaknya hal ini aman untuk Ayla, setidaknya Ayla tidak perlu kedinginan sampai jam pulang sekolah berlangsung.
"Thanks, ya, kalian. Gue bener-bener nggak tahu deh kalau nggak ada kalian," kata Ayla dengan mimik wajah memelasnya, dia sekarang sudah kembali rapi, rambutnya yang basah pun juga sudah setengah kering. Ayla merasa cukup segar sekarang, dan salah satu hikmah dari semua hal ini adalah, setidaknya Ayla tidak mengantuk selama jam pelajaran, karena dia cukup merasa kedinginan.
"Mending abis ini lo beli teh anget aja deh, sekalian beli tolak angin apa. Gue takutnya elo masuk angin, Ay. Ngeri banet sampai seragam elo setengah kering kayak gini," kata Nuna memberikan ide.
Intan pun mengangguk semangat kemudian dia memandang Ayla dengan teliti. Pipi kemerahan Ayla yang memang sudah ada sedari dulu pun kini tampak merah, ditambah dengan ujung hidung Ayla yang memerah juga.
"Apa yang Nuna katakan bener deh, Ay. Wajah elo udah kayak mau pilek gitu. Entar elo malah nularin ke kita-kita lagi," imbuh Intan. Ayla pun mendengus dibuatnya.
Ketiganya lantas berjalan keluar dari kamar mandi, sambil melipat dan memasukkan seragam Ayla ke dalam kantung plastic, tapi langkah mereka terhenti tatkala melihat Devano sedang bersandar di tembok, sambil menyilangkan kedua tangannya dengan sempurna dan menekuk salah satu kakinya. Wajah tampan Devano itu tertunduk sehingga membuat rambut gondrongnya menutupi dahi, untuk kemudian Devano menoleh memandang tepat di manik mata Ayla.
Baik Ayla, Intan dan Nuna, ketiganya hanya bisa memekik kaget. Ketiganya tidak bisa berkata apa pun juga, yang mereka lakukan hanyalah terdiam membisu seperti orang bodoh.
"K ... Kak Devano?" gumam Intan, yang nyaris melompat karena merasa senang bisa melihat Devano dalam radius sedekat ini.
Devano pun kini berjalan mendekat, dan berhenti tepat di depan Ayla dengan sempurna.
"Ada apa, Kak?" tanya Ayla takut-takut. Devano tampak diam, rahangnya mengeras, memandang Ayla dari ujung kaki sampai ujung kepala. Untuk kemudian, Devano tampak menahan napasnya dengan sempurna.
"Nanti pulang bareng gue,"
Singkat, padat, dan jelas, itulah kalimat yang diucapkan Devano sebelum dia pergi. Hingga akhirnya Ayla, Nuna, dan Intan hanya memandang kepergian Devano seperti orang bodoh. Mereka bertiga saling pandang, kemudian memandang Ayla dengan mimik wajah penasaran mereka.
"Ay, elo mau dianterin pulang Kak Devano!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top