Seperangkat Dusta 9
"Kamu bisa cari tempat untuk rumah Boby, kupikir di samping rumah bagus tuh. Apa pun yang kamu inginkan untuk Boby, kamu bilang aja ke aku, atau kamu bisa langsung pesan ke pet shop!"
Byan pun terlihat kikuk karena meski mereka melalui masa pacaran, tetapi tidak pernah melakukan hal yang lebih selain bergandengan. Jika sekarang tanpa sadar dia merasakan pelukan dari Senja, dan ternyata cukup membuatnya serba salah.
Byan memang tipe pria yang diinginkan banyak wanita, tetapi dia terlalu dingin untuk didekati. Dan jika Senja pemenangnya, itu karena ada hal lain yang mendasari pernikahan mereka.
"Oke, Mas Byan. Makasih, ya. Eum ... kalau aku mau ambil Boby besok, boleh?"
Byan berpikir sejenak.
"Jam berapa?"
"Terserah Mas Byan bisa antar jam berapa. Atau ...."
"Kamu nggak boleh pergi sendiri!" tukas Byan seolah paham apa yang akan dikatakan istrinya.
"Aku besok sibuk, jare ada meeting dengan dua perusahaan sekaligus."
"Jadi?" Suaranya terdengar kecewa.
Byan menangkap kekecewaan itu.
"Biar nanti Leo yang aku suruh antar kamu!"
"Leo?"
"Iya, kenapa?"
"Bukannya Leo orang kepercayaan Mas Byan? Apa dia juga nggak ikutan meeting?" selidiknya.
"Justru karena Leo orang kepercayaanku, aku percaya dia antar kamu ke rumah papamu dan kembali segera ke rumah kita dengan selamat!"
Senja membasahi tenggorokannya lalu mengangguk.
"Makasih, Mas Byan."
"Hmm."
Kendaraan mereka terus melaju membelah jalanan sore itu.
"Mas."
"Ya?"
"Kenapa Mas nggak izinkan aku pergi sendiri ke rumah. Aku bisa bawa mobil, atau aku juga bisa naik taksi online."
"Kamu mau tahu alasannya?"
Senja mengangguk.
"Aku nggak mau kamu kabur!"
Sontak mata Senja menyipit.
"Kabur?" ucapnya seraya tertawa. "Mas nggak mau aku kabur? Supaya Mas bebas memperlakukanku semau Mas?"
"Senja, jangan mulai lagi! Aku nggak suka kita berdebat soal ini!"
"What? Kenapa aku harus selalu menuruti kemauanmu, Mas? Kenapa?"
"Sudah kubilang, aku sedang malas berdebat soal ini!"
Mereka saling diam. Senja memegang perutnya karena lapar. Dia heran, tadi saat sedang serius mencari informasi tentang keluarga Byan, dia sama sekali tak merasakan lapar.
"Kamu lapar?"
"Nggak!"
"Jangan bohong."
"Aku nggak bohong."
"Tapi perut kamu bunyi barusan. Kamu lapar, 'kan? Bilang kamu mau makan di mana."
"Nggak, aku mau kita langsung pulang!"
Senja membayangkan makan dengan sayur asem segar plus pepes ikan kesukaannya. Hal itu membuatnya tak sabar untuk sampai di rumah.
"Di rumah? Emang kamu mau masak? Keburu asam lambung naik kalau menunggu masak."
Senja menoleh, setelah mendengar untuk pertama kalinya Byan kembali cerewet karena perhatian seperti saat mereka pacaran.
"Kenapa lihatin aku?"
"Tumben kamu cerewet!"
Byan tertawa kecil.
"Di mobil ini cuma kita berdua, dan kamu nggak perlu bersandiwara hanya ingin mendapatkan simpati dari orang lain dengan melakukan pencitraan."
Pria yang memiliki sedikit cambang di rahangnya itu mengatupkan bibirnya.
"Aku nggak mau kamu sakit, Senja." Suaranya terdengar lirih, tetapi masih terdengar jelas oleh Senja. Entah kenapa, dari nada suaranya ada kesedihan yang mendalam yang bisa dirasakan olehnya.
Senja mungkin kesal dengan semua sikap Byan, tetapi mendengar penuturan suaminya tadi, seperti ada luka yang membuat dirinya memilih diam.
"Kalau kamu sakit, apa kata papamu juga Sony, mereka pasti akan mencecarku dan mencurigaiku karena abai dengan putri kesayangannya," sindir Byan.
Mendengar kalimat suaminya, hati Senja kembali kesal. Byan selalu bisa mengalihkan perasaannya dari iba menjadi meradang.
"Aku bawa masakan Mbok Sri," tukasnya jengkel.
"Kamu minta ke Mbok Sri?"
"Sejak kapan aku pernah meminta sesuatu pada orang lain?" Senja terlihat tersinggung. "Mbok Sri memaksaku untuk makan masakannya tadi. Karena kebetulan menu hari ini adalah kesukaanku," terangnya kesal.
"Oke, kalau gitu kita langsung pulang."
**
Sesampainya mereka di rumah, Senja bergegas menuju dapur memanaskan sebentar makanan yang dia bawa. Sambil menunggu siap, dia masuk kamar tanpa peduli Byan. Dia gak bertanya apakah suaminya itu sudah makan atau belum. Karena dia tahu apa jawaban pria itu jika ditanya.
Sementara Byan duduk di ruang tengah setelah mengambil minuman dingin dari lemari es. Pria itu terlihat sudah fokus dengan laptopnya.
Memakai terusan berwarna hitam di atas lutut, dengan corak bunga kecil, Senja tampak semangat menuju dapur. Lagi-lagi dia berhasil mengabaikan Byan yang ternyata diam-diam memerhatikan Senja.
Dengan earphone di telinga, perempuan berkulit putih itu menyiapkan makan malamnya sendiri. Sembari bersenandung kecil dan sesekali menggerakkan kepalanya mengikuti lagu yang dia dengar. Tentu saja hal itu tak luput dari mata sang suami, sementara Senja sama sekali tidak merasa sedang diperhatikan.
Hidangan sudah siap di meja, Senja duduk dan menikmati sendiri makan malamnya seolah menganggap Byan tak ada di sana. Sedangkan Byan yang masih memperhatikan istrinya tersenyum tipis.
"Kamu nggak pernah tertarik sama Senja, By?" Ucapan Leo menggema di otaknya.
"Tertarik?"
"Iya, dia itu istri sah-mu. Apa kamu nggak pernah terpikir untuk ... you know lah, apa yang ada di kepala pria normal, Bro!" Leo berkata dengan tawa kecil.
"Kamu normal, 'kan? Ayolah! Berhenti berpikir bagaimana membalas dendam, nikmati saja apa yang ada di hadapanmu, By!" imbuhnya menggoda.
Byan terdiam kala itu. Jika boleh jujur, di otaknya hanya ada bagaimana dia bisa membalas sakit hati keluarganya, dan sama sekali tidak ada perasaan sebagaimana yang dirasakan seorang pria setelah menikah.
"Tapi kamu normal, 'kan, By?" kelakar Leo.
"Si*l! Apa aku perlu validasi untuk membuktikan kenormalanku?" balas Byan sembari menyalakan rokoknya.
Soal rokok, Byan adalah perokok, tetapi karena Senja tidak menyukai pria yang merokok, maka sejak dekat dengan Senja, Byan sama sekali tidak pernah menunjukkan dirinya menikmati lintingan tembakau itu. Byan hanya merokok jika tidak ada Senja, dan tentu saja jika dia berada di luar rumah.
Lamunan Byan teralihkan seketika saat mendengar sesuatu yang jatuh. Sontak dia berdiri melihat ke arah suara.
"Senja! Kenapa? Kamu berdarah!" tanyanya mendekat.
Dia melihat kaki sang istri berdarah terkena pecahan gelas yang jatuh.
"Aku nggak apa-apa. Aku bisa mengatasi ini." Senja bermaksud hendak membereskan pecahan gelas dengan melangkah mengambil sapu, tetapi tentu saja hal itu membuat dirinya memekik kesakitan.
"Berhenti! Jangan ke mana-mana!" Byan yang masih mengenakan kemeja sejak pagi tadi terlihat panik.
Pria itu sigap membereskan kaca yang berhamburan setelah sebelumnya memerintahkan istrinya untuk kembali duduk.
"Lagian kalau ngapa-ngapain itu jangan pakai headset. Kalau bisa fokus sih nggak apa-apa, kalau nggak? Jadi gini, 'kan?" tuturnya setelah lantai bersih.
"Maaf, tadi gelasnya kesenggol dan ...."
"Sini aku lihat lukanya!" Byan menarik kursi dan duduk tepat di depan Senja.
Alih-alih menunjukkan lukanya, Senja justru heran menatap sang suami.
"Kenapa bengong? Kamu tahu aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, 'kan? Cuma itu!"
Menarik napas dalam-dalam, Senja menunjukkan telapak kakinya.
"Letakkan di sini!" titah Byan sembari menepuk pahanya.
Kedua alisnya bertaut mendengar perintah sang suami. Tentu saja Senja merasa kikuk, terlebih dengan pakaian yang panjangnya di atas lutut.
"Bengong lagi? Ayo! Lukamu itu harus segera diobati!"
Senja mengangguk lalu perlahan dia meletakkan kaki jenjangnya di atas paha Byan.
**
Dobel update done, yes💙
Terima kasih sudah berkunjung.
Salam hangat 🫰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top