Seperangkat Dusta 8


Duduk menghadap kolam renang sembari memangku kucing kesayangannya, Senja memikirkan obrolan dia bersama Byan di mobil tadi. Dari penuturan suaminya dia tahu jika Byan menyimpan kebencian yang sangat kepada papanya. Akan tetapi, tentu saja dia tidak percaya begitu saja dengan cerita itu. 

Bertanya pada papanya tentu tidak mungkin, karena pasti akan membuat sang papa bertanya-tanya dan akan berpengaruh terhadap kesehatan beliau, sementara jika dia bertanya pada Sony, belum tentu sang kakak akan menjawab semua pertanyaannya. Dia tahu Sony akan lebih banyak bertanya dibandingkan menjawab semua yang ingin dia ketahui.

Kucing berbulu lebat berwarna abu-abu itu menggelandot manja seperti melepas rindu.

"Boby, lama ya nggak ketemu, eum ... nanti deh, kalau Mas Byan udah ngizinin, aku pasti bawa kamu  pulang. Untuk sementara kamu di sini nemenin Papa. Di sini ada Mbok Sri, ada Pak Slamet juga Mbak Yanti. Jagain mereka, ya," tuturnya seraya menggendong Boby dan membawa ke rumah.

Senja menatap pintu kamar papanya, dia berharap bisa menemukan jawaban dari apa yang dia ingin ketahui. Melihat jam dinding, dia tahu jam berapa sang papa akan pulang. 

Meski penyerahan perusahaan sudah selesai, tetapi biar bagaimanapun dia paham sang papa bukan pebisnis kemarin sore yang menyerahkan semua meski kepada menantunya.

Masih menggendong Boby, dia masuk membuka pintu kamar Adhitama.

"Mbok, kamar Papa sudah dibersihkan?" tanyanya saat Mbok Sri muncul dari dapur.

"Sudah, Mbak."

Dia mengangguk kemudian masuk kamar.

"Kamu turun dulu, Boby." 

Setelah meletakkan Boby dia menuju ke meja kerja sang papa. Kamar Adhitama sangat luas, kamar yang bisa dikatakan multi fungsi itu sudah jadi satu dengan perpustakaan dan ruang kerjanya. 

Satu per satu laci dan berkas-berkas di buka oleh Senja, tetapi dia tak menemukan satu pun hal yang bercerita tentang masa lalu sang papa dan almarhum mertua laki-lakinya. Namun, dia justru menemukan kisah tentang kematian mamanya. Kisah lama yang meninggalkan trauma dan luka di hati Senja.

"Romy?" Senja mengerutkan keningnya. Nama Roni tertera di catatan papanya. 

Senja mengambil posisi duduk dan mulai membaca tulisan sang papa dan beberapa foto yang terlihat mulai kusam.

Ada foto kedua orang tuanya bersama seseorang yang dilingkari. Dia sendiri tidak tahu siapa dan apa maksud dari lingkaran itu. Senja kembali melihat foto lainnya. Matanya menyipit, lagi-lagi ada pria yang sama dan dilingkari. 

Mencoba memastikan dia membuka ponsel mencari foto yang dia dapatkan di kamar Byan.

"Ini foto ayahnya Byan! Benar! Aku nggak salah ingat!" gumamnya ketika melihat foto papanya tengah bersama dua orang teman, dan salah satunya adalah almarhum sang mertua.

"Kenapa setiap ada papa, selalu ada orang ini?" Senja bermonolog. "Dan kenapa fotonya selalu dilingkari?"

"Apa ini Romy? Kalau iya, siapa Romy ini?"

Dia kembali mencari apa pun yang sekira bisa menjelaskan semuanya. Namun, hingga menjelang pukul tiga sore Senja belum menemukan lagi.

"Mbak Senja nggak makan?" tanya Mbok Sri saat melihatnya bersiap pulang.

"Nggak, Mbok. Saya makan di rumah aja."

"Saya masak pepes ikan kesukaan Mbak Senja, loh, padahal." Terdengar nada kecewa dari kalimat asisten rumah tangganya yang menemaninya sejak kecil.

"Gitu ya, Mbok, tapi sebentar lagi Mas Byan jemput." Senja tampak tak tega. "Gini aja, gimana kalau saya bawa pulang masakan Mbok Sri?"

Wajah perempuan berambut kelabu itu semringah. Dia mengangguk kalau gegas ke dapur. Melihat kepedulian Mbok Sri dan semua perhatiannya, Senja terharu. Semenjak mamanya pergi dengan cara tidak wajar, sejak itulah dia sering menghabiskan waktu di kamar, karena tidak tahan dengan bully-an verbal yang tak jarang dia terima. Meski dirinya sudah membatasi pergaulan, tetapi tetap saja ada hal yang dia dengar dan itu berdampak pada jiwanya. 

Saat terpuruk itu, Mbok Sri-lah orang yang bisa memberikan perhatian dan ketenangan terlebih saat papanya harus mengurus bisnis hingga berhari-hari di luar kota bahkan luar negeri.

"Mbok," panggilnya menghampiri ke dapur.

"Iya, Mbak Senja?" 

"Mbok, 'kan sudah lama ikut Papa, bahkan sejak saya kecil."

"Iya, Mbak."

"Mbok pasti kenal siapa saja teman Papa."

"Pasti, Mbak. Semua teman Pak itu i Adhitama yang pernah ke rumah ini, Mbok kenal. Karena mereka itu paling suka sama masakan Mbok!" tuturnya bangga. "Apalagi sayur asem, sama pepes ikan seperti ini. Wah, mereka yang datang bisa nambah-nambah!" Mbok Sri bercerita dengan paras gembira.

"Kalau begitu, Mbok juga kenal sama almarhum mertua saya, dong, Mbok?"

Senja menelisik perempuan berusia setengah abad lebih di depannya.

"Mertua Mbak Senja? Eum ... Pak Bima?"

Dia mengangguk.

"Iya, Mbak. Saya kenal beliau."

Selanjutnya Senja mendengar kisah almarhum mertuanya itu. Dari cerita yang dia dengar, tergambar betapa sangat baik hubungan papanya dengan ayah Byan. Tidak satu pun ada kisah perselisihan di antara mereka. Akan tetapi, tentu saja Mbok Sri menceritakan apa yang dia tahu, dan bukan tentang bisnis di antara mereka.

"Sampai Pak Bima meninggal pun, papanya Mbak Senja masih memperhatikan kehidupan mereka."

Terjawab sudah apa yang dikatakan Byan soal sang papa yang membiayai kuliahnya.

"Kasihan, Mbak, Pak Bima itu."

"Kasihan? Kenapa, Mbok?"

"Sejak perusahaannya dinyatakan bangkrut, saya dengar beliau jadi stress, padahal Pak Adhitama sudah berjanji akan membantu, tapi akhirnya beliau tertabrak dan meninggal."

Kali ini dahi Senja berkerut. Dengan mata menyipit dia bertanya, "Perusahaan ayah Byan bangkrut?"

"Iya, Mbak. Saya dengar dari papanya Mbak. Beliau cerita saat saya bertanya kenapa Pak Bima tidak pernah datang ke sini. Begitu, Mbak."

Terdengar di luar suara Byan menyapa Pak Slamet yang membuat Senja mengurungkan niat untuk kembali bertanya. 

"Eum, Mbok, makasih, ya, saya diceritain banyak. Lain kali boleh saya minta diceritain lagi?" tanyanya setengah berbisik.

"Iya, Mbak. Saya pasti ceritain apa pun, asal saya benar-benar tahu, jadi nggak ngarang." Mbok Sri tergelak sembari menyerahkan rantang berukuran sedang kepada Senja.

**

Perjalanan pulang Senja memilih bungkam, meski kediamannya itu seperti biasa, tetapi Byan melihat ada yang sedang dipikirkan oleh sang istri.

"Kamu sedih berpisah sama Boby-mu?"

Senja tak menjawab, dia seperti tak mendengar pertanyaan suaminya. Dia hanya melihat ke luar jendela sambil sesekali menyelipkan rambut ke telinga.

"Senja."

"Eh, iya, Mas?"

"Melamun? Ada apa?"

"Nggak, kok. Nggak melamun."

"Kamu jangan bohong ke aku!"

"Nggak, aku nggak ngelamun."

"Kamu sedih karena berpisah dengan Boby?"

"Eum ... nggak!"

"Yakin?"

Dia mengangguk.

Byan seperti tidak puas dengan jawaban Senja. Menarik napas dalam-dalam, dia berkata, "Aku tahu kamu pasti sedih ninggalin kucing kesayanganmu, dan aku sangat menghargai karena kamu mau meninggalkan dia di rumah Papa."

Senja hanya menarik satu sudut bibirnya kemudian kembali menatap ke luar jendela. Ucapan Byan kembali membuat hatinya sakit. Pria itu tahu bagaimana sayangnya dia kepada Boby dan dia juga tahu seperti apa Boby baginya. Senja rela berpisah demi kenyamanan Byan. 

"Kamu boleh membawanya ke rumah kita kalau kamu mau!"

Penuturan Byan membuat Senja sontak menoleh. Mata indahnya menatap Byan tak percaya.

"Mas Byan bilang apa barusan?"

"Makanya jangan melamun!" Byan menoleh sejenak lalu kembali fokus mengemudi.

"Kamu boleh bawa Boby ke rumah kita, asal waktu aku pulang dia nggak berkeliaran di rumah!"

"Beneran boleh, Mas?" Senja tampak bahagia hingga dia tak sadar mengguncang bahu sang suami. 

Hal yang tak pernah dia lakukan karena Byan selalu membuat jarak.

"Iya, kapan kamu mau ambil Boby kamu tinggal bilang. Nanti aku antar!"

Kegembiraan membuncah di hati Senja, hingga lagi-lagi tanpa sadar dia memeluk Byan yang terkejut dengan luapan kebahagiaan istrinya.

"Maaf, maaf, aku terlalu bahagia, Mas. Maaf!" Segera Senja membuat jarak dan menyembunyikan wajahnya menutupi rasa malu. Dia merasa wajahnya kini memerah perpaduan malu dan entah!

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top