Senja bolak balik keluar masuk kamar pas demi untuk membuat kepala Byan mengangguk. Pagi itu sebelum berangkat ke kantor sang papa, Byan mengajak Senja mampir ke butik yang menurutnya cocok.
Awalnya dia menawarkan agar pihak butik datang ke kediaman mereka, tetapi Senja menolak karena menurutnya berlebihan.
Sudah lama kali dia menukar baju, tetapi sang suami belum merasa cocok, sementara Senja sudah mulai lelah.
"Mbak suaminya sangat pemilih, ya. Menurut saya selera suami Mbak tinggi," tutur salah satu karyawan yang membantunya melepas baju.
"Iya, tapi kalau seperti ini ribet juga, Mbak," keluhnya.
Perempuan bertahi lalat di dagu itu tersenyum.
"Kalau ribet itu pasti, tapi saya pikir itu salah satu dari tanda jika suami Mbak sangat mencintai Mbak."
Senja menarik bibirnya singkat. Sangat mencintai? Byan memang begitu pintar bersandiwara. Sekilas memang orang akan cepat berpikir jika dirinya adalah perempuan yang paling bahagia di muka bumi ini dengan bergelimang harta dan kemewahan. Akan tetapi, tentu saja hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi dan tengah dia rasakan.
"Di mana-mana setiap perempuan pasti memimpikan mendapatkan pendamping seperti suami Mbak. Baik, dan sangat memperhatikan penampilan istrinya. Beneran, loh, Mbak, selama saya bekerja di sini, seingat saya baru satu costumer seperti Mbak dan suami Mbak," imbuhnya panjang lebar.
Senja menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk. Untuk saat ini mungkin dia hanya bisa membayangkan dulu bagaimana indahnya jika dia benar-benar dicintai sepenuh hati oleh suaminya. Namun, dia tidak tahu sampai kapan bisa terus memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Blazer merah bata dengan rok sebatas lutut lengkap dengan high heels putih dan tas tangan senada, akhirnya mendapatkan anggukan dari sang suami. Senja memang tampak cantik dengan tampilannya itu. Warna baju yang sangat cocok dengan kulitnya serta rambut yang dicepol sederhana sungguh membuat siapa pun mengangguk setuju.
"Kamu cantik!" Byan menggumam saat dia membuka pintu mobil untuk istrinya.
"Apa, Mas?" Senja menahan langkahnya untuk masuk.
"Apa?"
"Mas tadi bilang apa?" Dia menautkan alis.
"Bilang apa? Nggak, aku nggak bilang apa-apa."
"Tapi aku tadi dengar Mas menggumam sesuatu."
Byan melipat kedua tangannya membalas tatapan Senja.
"Kita berangkat sekarang, atau kamu mau berdebat?"
Tak lagi membantah, dia tersenyum tipis lalu cepat masuk mobil. Meski samar di telinganya, tetapi dia merasa pendengarannya masih sangat baik. Senja mendengar bahwa Byan memujinya. Dia hanya ingin sang suami mengatakan lebih keras hingga dirinya merasa bahagia.
Sementara Byan menggeleng cepat menyadari jika apa yang dia ucapkan didengar oleh sang istri.
"Sial! Bisa-bisa dia ge er, tapi ... dia memang cantik!" gumamnya sebelum akhirnya masuk mobil.
**
Disambut dengan pelukan oleh sang papa membuat mata Senja berkaca-kaca, tetapi sekuat tenaga dia menahan agar genangan air itu tak jatuh.
"Kamu baik-baik aja, Dek?" tanya Sony setelah melepas pelukan.
"Baik, Bang."
"Are happy?"
Senja mengangguk sembari tersenyum. "Sure, i'm happy!"
"Syukurlah." Sony lalu menatap tajam ke Byan seolah mencoba mencari kesungguhan di mata pria itu.
"Aku tahu adikku. Dia lebih suka menyimpan sendiri apa yang sedang menimpanya, tapi aku berharap apa yang keluar dari mulutnya barusan adalah hal yang sesungguhnya terjadi," bisiknya pada Byan.
Sementara Byan hanya tersenyum tipis menanggapi. Setelah sedikit saling ngobrol, akhirnya mereka sampai pada penandatanganan serah terima perusahaan. Senja sendiri sebenarnya sama sekali tidak tertarik ikut dalam acara tersebut, tetapi karena dia adalah kunci supaya penyerahan perusahaan ini bisa berjalan lancar, maka kedatangan dia sangat dibutuhkan.
Satu per satu berkas sudah ditandangani, hingga akhirnya proses penyerahan selesai. Paras lega tampak dari Adhitama, dan tentu saja Byan. Meski begitu sama sekali tidak terlihat kekhawatiran pada senja. Meski tanpa diketahui oleh yang lainnya, dia tahu apa yang ada di kepala suaminya.
Kemarin saat sang suami ke kantor, dia sempat 'usil' masuk ke kamar Byan yang tidak terkunci. Di sana dia melihat foto-foto keluarga sang suami. Di antara beberapa foto yang ada itulah dia bisa mengetahui bagaimana perasaan cinta dan sayang dia terhadap kedua orang tuanya.
Ada juga foto sang papa dan almarhum mertua laki-lakinya, yang di belakang foto itu bertuliskan, 'Aku akan merebut semua yang dia rebut, Pa! Percayalah!'
Tak ingin kehilangan bukti, cepat dia mengambil ponsel dan memfoto semua yang dia ketahui.
Meski masih belum jelas maksud dan tujuannya, Senja sudah bisa meraba siapa dan apa yang dimaksud dari kalimat itu. Senja merasa dia harus mencari tahu dari keterangan sang papa, tetapi tentu saja menunggu waktu yang tepat.
"Kamu mau langsung pulang atau ke rumah dulu, Senja?" Pertanyaan papanya membuatnya menoleh ke Byan. "Boby-mu kangen sepertinya," imbuh Adhitama dengan tawa kecil.
"Kamu kangen Boby?" Byan tersenyum membalas tatapannya.
"Boleh?"
Pria yang memakai setelan jas hitam itu mengangguk masih dengan senyum. "Boleh, nanti kamu telepon aja mau pulang jam berapa. Aku jemput!"
Mendengar ucapan sang suami, Senja menghela napas lega. Akhirnya setelah sekian lama, dia bisa sedikit bebas meski hanya menengok kucing kesayangannya di rumah. Karena Byan bukan penggemar binatang berbulu berkaki empat itu, maka tidak mungkin membawa Boby ke kediamannya saat ini.
"Makasih, Mas. Eum ... aku pulang sendiri ke rumah Papa atau ...."
*Aku antar!"
Lagi-lagi dia menghela napas, tetapi bukan napas lega. Senja justru khawatir Byan akan banyak 'menceramahinya' di mobil nanti.
Setelah berpamitan, Byan dan Senja bersama meninggalkan kantor sang papa yang tentu saja sekarang menjadi kantor suaminya.
**
Rupanya Senja salah duga, tadinya dia mengira jika Byan akan kembali mencecarnya dengan berbagai ancaman, tetapi ternyata tidak. Pria itu memilih mengunci bibir rapat-rapat meski sesekali menerima telepon dari Leo asistennya. Hal itu tentu saja membuat Senja lega, dia memilih menikmati pemandangan dari kaca jendela.
"Kamu mau pulang jam berapa nanti?"
"Apa ada bedanya aku pulang atau nggak? Nggak ada, 'kan?" jawabnya tanpa menoleh.
"Memang nggak ada, tapi kamu nggak boleh lupa kalau kamu itu di mata orang adalah istriku!"
Bibir Senja tertarik singkat.
"Pulang jam berapa? Akhirnya jemput!"
Menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya kasar, Senja menoleh.
"Apa benar tujuan kamu menikahiku hanya ingin menguasai perusahaan Papa?"
Pertanyaan Senja tampak sedikit mengejutkan Byan. Akan tetapi, pria itu tampak bisa mengendalikan rasa tersebut.
"Kalau iya, kenapa?"
"Sekarang kamu sudah mendapatkannya, lalu kenapa kamu masih mengikatku? Kenapa kamu tidak mengakhiri hubungan ini?"
Byan menepikan mobil lalu mematikan mesinnya. Sembari membuka jendela kaca mobil, dia menarik napas dalam-dalam.
"Sudah kuduga, kamu pasti akan berpikir seperti ini. Karena aku tahu kamu cerdas!"
"Maksud kamu apa?"
☘️☘️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top