Seperangkat Dusta 5
Kebahagiaan tentu saja bertalu di dada Byan. Semua yang dia inginkan begitu mulus terbentang di depannya.
"Besok kamu ajak Senja, untuk pengacara sudah Papa siapkan, jadi serah terima resmi dan sah seperti yang seharusnya," ucap Adhitama tenang dengan bibir melebar.
"Maaf, Pa, tapi kenapa Papa yakin kalau saya bisa mengendalikan perusahaan besar ini?"
Adhitama tertawa kecil, dia bangkit dari duduk mendekati sang menantu. Sambil menepuk pundak Byan, dia berkata, "Apa yang diyakini Senja, itu juga yang Papa yakini. Papa percaya Senja seperti dia percaya padamu."
Byan menyugar rambutnya, meski hatinya penuh dendam, tetapi mendengar penuturan sang mertua cukup membuatnya hormat dan salut.
Bagaimana mungkin seorang Adhitama bisa dengan mudah dia kelabui, dan tentu tidak ada seorang pun yang menyangka jika Senja adalah alasan utama Adhitama untuk menyerahkan perusahaan besar ini padanya.
"Selain itu tentu karena Papa sudah mempelajari siapa kamu dan latar belakangmu. Termasuk latar belakang pendidikanmu. Papa sangat yakin denganmu perusahaan ini lebih bisa berkembang."
"Lalu bagaimana dengan Bang Sony, Pa? Bukannya ...." Byan mencoba memastikan meski dia tahu apa yang terjadi.
"Sony sudah punya perusahaan sendiri yang dia rintis, dan dia pun sudah mengatakan jika tidak ingin cawe-cawe perusahaan milik papanya. Dia menyerahkan semua ke Senja."
Lagi-lagi hatinya bersorak. Ini adalah awal yang baik untuk memberikan pelajaran seperti apa jika kehilangan kepercayaan dan cinta kepada keluarga Adhitama. Tentu saja dirinya harus memiliki kepercayaan dari Sony, karena dengan begitu, semua hal yang dia rencanakan akan berjalan mulus.
"Papa sudah membicarakan hal ini dengan Sony, Pa?"
Pria yang memiliki riwayat penyakit jantung itu tersenyum bijak.
"Kamu jangan khawatir, Byan. Sony sudah tahu hal ini dan dia menyerahkan semua keputusan ke Papa."
Byan bergeming mendengar perkataan mertuanya. Rasa curiga memenuhi kepala, karena dia ingat bagaimana Sony mencurigainya. Jadi jika Sony kini menyerahkan semua keputusan ke Adhitama pasti ada sesuatu yang membuatnya yakin.
"Jadi jangan lupa besok jam sepuluh pagi, Papa tunggu di sini. Sony juga ikut meski dia sibuk, tapi karena ini untuk kebahagiaan kalian, dia mengusahakan untuk datang."
**
Senja melihat arloji, dia baru saja selesai menyiapkan materi untuk mengisi webinar besok siang.
"Sudah larut malam," gumamnya.
Senja memang tidak pernah menghubungi Byan meskipun pria itu belum pulang hingga larut. Karena memang Byan melarangnya.
"Jangan coba-coba kamu mengatur hidupku! Kamu, ayah siapa pun tidak berhak mengendalikan aku dan hidupku apa pun alasannya!" ujarnya saat itu.
Mengingat penuturan sang suami, Senja hanya menarik napas dalam-dalam. Meskipun perlakuan Byan sama sekali jauh dari manis, tetapi setidaknya pria itu tidak menyiksanya secara fisik. Dia masih diberi ruang untuk berekspresi meski terbatas, dia juga diberi fasilitas yang cukup bahkan lebih dari cukup.
Senja merasa ada hal kuat yang mendasari suaminya berbuat seperti saat ini, dan tugasnya sekarang adalah mencari tahu apa yang dia sembunyikan tanpa harus bertanya pada Byan.
Mengemas laptop dan beberapa buku, Senja menuju kamar tepat saat terdengar pintu pagar dibuka. Tak ingin terlihat sedang menunggu, gegas dia menutup pintu kamar dan menguncinya.
Dari dalam dia mendengar Byan membuka pintu rumah. Langkahnya saat terdengar. Senja menempelkan telinga ke pintu untuk menajamkan pendengaran, tetapi dia tak bisa lagi mendengar langkah Byan.
Byan menatap toples berisi kukis cokelat di ruang tengah. Dia adalah pria penyuka cokelat seperti apa pun bentuknya. Terkadang rekannya sering berkelakar jika kelak dia beristri sudah pasti akan berebut cokelat dengan istrinya.
Mengedikkan bahu, dia duduk di sofa. Keningnya mengernyit sejenak.
"Masih hangat. Senja pasti baru masuk kamar?" Byan menggumam.
Dia lalu membuka toples kaca kemudian mengambil isinya. Pelan Byan mulai menikmati kukis buatan Senja.
"Enak! Siapa yang bikin?" Dia bermonolog sambil melepas dasi dan menggulung lengan kemejanya sampai siku kemudian mengeluarkan ponsel dari kantung bajunya.
[Aku tahu kamu belum tidur. Keluar sebentar!]
Senja bergeming setelah membaca pesan itu. Sulit rasanya mengelak untuk tidak keluar. Karena dia yakin jika Byan tidak sebodoh itu. Perlahan Senja membuka pintu, bibirnya sedikit tertarik melihat sang suami tengah menikmati kue kering buatannya. Tak sia-sia rasanya jika melihat apa yang dia usahakan bisa dinikmati oleh Byan.
"Duduk!" titahnya masih dengan kukis di tangan.
"Besok jam berapa kamu ngisi webinar?"
"Jam satu."
"Oke, besok ikut aku jam sepuluh ke kantor papamu!"
"Kantor Papa?"
"Iya, kenapa? Kamu mau memanfaatkan pertemuan itu untuk mengadu?"
Senja menggeleng cepat.
"Nggak! Ada apa ke kantor Papa?"
"Kamu akan tahu besok! Sekarang kamu ke kamar!"
Senja menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap Byan yang terlihat sangat menikmati kue buatannya.
"Oh iya, kamu beli di mana? Oh, atau kue ini dibawakan Sasa?"
"Eum ...."
"Enak! Aku suka. Tanya ke Sasa di mana dia beli kukis ini!"
"Eum, itu ...."
"Kenapa? Kamu nggak mau tanya ke Sasa? Kalau nggak mau biar aku yang tanya."
"Nggak, nggak! Iya, nanti aku tanya ke Sasa."
Byan tersenyum tipis.
"Mas Byan."
"Hmm?"
"Mau aku buatin minuman hangat?"
Dia menggeleng. "Nggak perlu! Kamu balik aja ke kamar!"
Senja mengangguk lalu beranjak meninggalkan Byan. Baru saja dia hendak membuka pintu, Byan memanggilnya.
"Ada apa, Mas?
"Besok Abang Sony juga datang."
Senja mengangguk, tangannya memutar kenop pintu kamar.
"Senja!"
"Ya, Mas?"
"Kamu punya baju untuk besok?"
Pertanyaan sang suami membuat kedua alisnya bertaut.
"Baju? Ada, kok. Kenapa Mas Byan tanya itu?"
"Aku nggak mau kamu bertemu papamu dan Sony dengan baju yang dia tahu itu baju lamamu. Artinya, aku mau kamu pakai baju baru saat bertemu mereka!"
Senja membalikkan badan menatap Byan yang masih duduk sekitar empat meter darinya.
"Memangnya kenapa, Mas?"
"Aku mau mereka berpikir kalau kamu benar-benar bahagia dan berpikir bahwa kamu sudah benar-benar tercukupi!"
Senja mengangguk.
"Kalau kamu nggak ada baju baru, besok pagi telepon ke butik langgananmu atau apalah, suruh mereka kirim baju paling bagus ke rumah! Paham?"
"Iya, aku paham!"
"Satu lagi!"
"Apa?"
"Jangan pernah menunjukkan wajah sedih di depan siapa pun!"
"Aku tahu. Ada lagi?"
Byan menelisik Senja dari ujung rambut hingga kaki.
"Kamu terlihat kurus, apa kamu nggak makan?"
"Apa itu penting buatmu? Bahkan aku sakit atau mati sekalipun nggak ada pengaruhnya ke kamu, 'kan?"
"Senja!"
"Apa lagi, Mas?"
"Kamu harus sehat!"
"Aku tahu, aku memang harus sehat." Matanya terlihat sudah mulai mengembun.
"Ya sudah! Masuk!"
Senja cepat membuka pintu kamar kemudian menguncinya. Air mata Senja jatuh tak terbendung, tubuhnya melunglai merosot bersandar di pintu. Bahunya bergetar hebat. Dia menggigit bibir berusaha agar isaknya tak terdengar.
Senja tak ingin terlihat rapuh dan cengeng ketika ada Byan. Dia bersikukuh untuk melawan dan menunjukkan jika baik-baik saja meski sang suami mengatakan tidak pernah mencintainya.
**
Jadi ... gimana nih? Kekira pernikahan mereka lanjut atau selesai?
*
Terima kasih sudah berkunjung 🤍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top