Leo mendekat menepuk bahu Byan. "Kita duduk dulu. Aku tahu ini berat, tapi pasti ada jalan keluarnya."
Byan kembali membuang napas kasar. Parasnya tampak kacau. "Kamu jangan panik, Byan. Ajak saja Gita untuk ketemu. Ingat, kalau kamu panik dan emosi, itu nggak ada gunanya. Yang ada Gita merasa bahagia."
Leo menyodorkan tisu ke Byan. "Bersihkan lukamu!"
"Kenapa dia tiba-tiba datang dan berulah?" tanya Byan sembari mengusap darah di punggung tangannya.
"Hal itu tidak perlu dipertanyakan, kamu hanya harus berpikir untuk tes DNA supaya semuanya jelas."
"Oke, aku akan ajak dia ketemuan."
"Good!"
Sejenak ruang kerja Byan senyap.
"Senja. Apa yang ada di pikirannya sekarang? Dan Sony ...."
"Byan yang aku kenal tidak rapuh. Byan yang aku kenal sangat kuat. Kamu harus bisa menyelesaikan ini semua, tapi satu per satu!"
**
Senja melebarkan bibirnya melihat sang papa baru saja pulang dari lapangan tenis. Dia bersyukur meski papanya sudah tidak muda lagi, tetapi masih terlihat bugar.
"Sarapan, yuk, Pa!" ajaknya setelah Adhitama meneguk air putih yang dia berikan.
Papanya itu mengangguk. Setelah meletakkan raketnya dia mengikuti sang putri yang sudah lebih dahulu sampai di ruang makan.
Sudah tiga hari sejak putrinya itu 'menghilang' bersama Byan, tetapi tidak ada tanda-tanda Senja hendak mengungkapkan keinginannya. Meski begitu, Adhitama masih membiarkan Senja mengatakan apa yang diinginkan dengan sendirinya tanpa paksaan.
"Jadi ini ada jadwal ke mana?" tanya Adhitama saat Senja menyorongkan sandwich buatannya.
"Nggak ada, Pa," jawabnya santai.
"Tumben."
"Lagi pengin berdiam diri saja," terangnya dengan bibir melebar.
Sebagai orang tua, Adhitama bisa membaca sorot mata gelisah putrinya.
"Pa."
"Ya?"
"Papa pernah nawarin Senja untuk menghandle kantor Papa di Surabaya, 'kan?"
"Iya. Kenapa?"
"Tawaran itu masih berlaku nggak? Eum ... perusahaan itu nggak masuk dalam perusahaan Mas Byan, 'kan?"
Mata Adhitama menyipit. Tebakannya benar, tanpa harus bersusah payah bertanya.
"Kamu berminat?"
Senja mengedikkan bahu sembari melahap roti isi sayuran kegemarannya.
"Kalau Papa masih percaya, Senja mau."
Adhitama menarik napas dalam-dalam lalu meneguk jus tomat di depannya.
"Kamu sedang menyembunyikan sesuatu, Senja?"
Samar dia menggeleng, tetapi lagi-lagi matanya sangat jujur menerjemahkan suasana hati.
"Senja, mungkin kamu sejak kecil lebih dekat dengan abangmu, tapi Papa tahu seperti apa anak Papa. Bicaralah! Ada apa?"
Meneguk air putih setelah menelan separuh sandwichnya, Senja tersenyum getir.
"Pa, Senja pengin menyendiri dulu. Boleh, 'kan?"
"Maksud kamu?"
"Senja boleh tinggal di Surabaya?"
Baru saja Adhitama hendak bertanya, Senja berkata, "Jangan tanya kenapa, Pa. Rentetan peristiwa yang sudah Senja lewati terlalu rumit dan sangat melelahkan. Jadi bolehkan Senja mengajukan permintaan itu?"
"Apa abangmu tahu? Apa kamu sudah bicara soal ini ke dia?"
Mengatupkan bibirnya, Senja menggeleng.
"Bang Sony pasti mendukung keputusan ini, karena dia ingin Senja jauh dari Mas Byan, bukan?"
Pria yang masih memakai kaus olahraga itu membuang napas perlahan. Jelas terlihat jika hatinya ikut hancur melihat sorot mata luka pada putrinya. Meski Senja memilih bungkam atas apa yang sedang dia pikirkan saat ini.
"Oke, kamu boleh ke Surabaya, di sana ada ChaCha asisten Papa yang memegang kantor di sana. Kamu bisa tanya banyak ke dia sebelum kamu ambil alih."
Senja menghela napas lega. Adhitama memiliki perusahaan yang bergerak di bidang food and beverage. Perusahaan itu berkembang sangat cepat. Sebenarnya sejak lama Senja ditawari untuk ikut ambil bagian dalam usaha tersebut. Karena latar belakang kuliah sang putri sangat membantu untuk mengenalkan produk mereka.
"Oke, Pa. Apa bisa Senja berangkat besok?"
"Secepat itu?"
Perempuan berdagu lancip itu mengangguk.
"Oke, nanti Papa telepon Chacha."
"Thanks, Pa."
"Tapi ingat! Kamu harus pelajari bisnis ini supaya kehadiranmu memiliki andil yang baik untuk perusahaan."
"I will try my best! Trust me!" Kali ini Senja memamerkan deretan giginya yang rapi.
**
[Mas, aku baik-baik saja. Tolong, jangan hubungi aku sebelum tes DNA keluar.]
Pesan singkat dari Senja membuat perasaan Byan semakin campur aduk. Bagaimana tidak, Gita sangat sulit diajak bertemu. Selalu saja ada alasannya, sementara anak perempuan yang dikatakan Gita sebagai anaknya sampai detik ini Byan belum pernah bertemu.
Denga alasan tak ingin ikut campur dalam peristiwa masa lalu sang suami, Senja memilih menjauh dan menolak semua ajakan Byan untuk bertemu.
"Bukan aku tidak bersimpati, tetapi akan lebih mudah bagimu jika aku tidak ada dalam masalah itu. Tolong, bersikaplah dewasa setidaknya untuk anak yang bisa jadi anakmu. Biarkan aku sendiri, Mas. Aku akan baik-baik saja."
"Pastikan semuanya, apa yang akan kamu dan Gita jalani selepas ini. Kabari saja perkembangannya."
Ucapan Senja saat Byan menelepon kala itu kembali terngiang. Sudah tiga pekan dia tak pernah lagi bertemu sang istri. Senja benar-benar membuktikan jika dirinya butuh ruang untuk sendiri.
"Byan."
Leo yang baru saja masuk ke ruang kantornya terlihat ikut merasakan apa yang tengah dialami rekannya.
"Kamu nggak tahu di mana Gita tinggal?"
"Dia hanya mau bertemu di tempat yang dia tentukan." Suara Byan menggambar kekecewaan sekaligus rasa kesal. "Aku nggak tahu apa maunya."
Leo duduk di kursi yang berseberangan dengan Byan. "Kenapa kamu nggak memunculkan jiwa kriminal?"
"Maksud kamu?"
"Ancam aja dia. Dia punya perusahaan yang bisa kita mainkan, bukan? Perusahaan Gita semalam sudah aku telusuri, dan kupikir tidak sebesar dan sehebat yang dia katakan."
Byan mengangkat wajahnya.
"Perusahaan itu hampir bangkrut, Byan. Utangnya di Bank banyak," imbuhnya. "Kamu bisa ancam perusahaannya dengan memberikan ini!" Leo menyodorkan map berisi berkas-berkas tentang perusahaan Gita.
Menyipitkan matanya, Byan bertanya, "Dari mana kamu dapat bocoran file mereka?"
Melipat tangan di dada, Leo berkata, "Itu sudah kewajiban dan bentuk loyalitasku untuk perusahaan ini. Jadi kupikir aku nggak perlu menjelaskan apa pun padamu, Bos!"
Byan tersenyum lebar. "Oke juga idemu! Good job, Bro!"
**
Senja tersenyum tipis saat membaca laporan yang baru saja diberikan Chaca padanya. Perempuan yang dipercaya sang Papa untuk menghandle bisnis food and beverage di Surabaya ternyata berjalan sangat baik dan stabil.
"Makasih, Mbak Cha, Mbak sudah sedemikian rupa menjalankan tugas dari Papa."
Perempuan bertubuh sedikit subur itu tersenyum lebar.
"Pak Adhitama adalah bos terbaik di antara beberapa atasan yang saya pernah bekerja, Mbak. Jadi saya harus menunjukkan loyalitas saya sebagai karyawan beliau."
Senja kembali tersenyum sembari mengucap terima kasih.
"Mbak bisa melihat-lihat restoran kita yang ada di pinggir kota yang dekat dengan pantai, Mbak. Saya pikir itu bisa di perluas fungsinya selain untuk makan dan rapat atau semisalnya, juga bisa untuk event yang lebih besar seperti perayaan tahun baru atau pernikahan bagi mereka yang menyukai pesta di luar ruangan dan memiliki budget tidak terlalu besar."
Senja menatap Chaca meminta penjelasan lebih lanjut.
"Ya kalau di Bali atau Lombok, 'kan budgetnya lumayan tuh, Mbak, tapi kalau di tempat juta bisa separuhnya gitu, apalagi ...."
"Apalagi apa, Mbak?"
"Apalagi kalau host-nya Mbak Senja, pasti orang akan lebih antusias." Chaca tampak sangat berapi-api menjelaskan.
"Ide bagus! Oke, kapan kita bisa jalan ke sana?"
"Kapan pun Mbak mau, kita bisa ke tempat itu."
**
Gita terlihat kesal mendengar penuturan Byan. Dia
tak menyangka upayanya memeras pria itu justru berbalik padanya.
"Kamu pikir aku bodoh, Gita? Aku tahu siapa kamu."
"Apa maumu!" sentak Gita sembari merapikan blouse merahnya.
"Aku mau kita tes DNA!" Mata Gita membeliak. "Kamu akan menyesal karena tidak percaya bahwa Celine adalah anak kita!"
"Aku hanya ingin kejelasan siapa darah daging anak itu! Aku akan bertanggung jawab jika memang benar' dia anakku!"
Bibirnya menyungging senyum. "Apa itu artinya aku, Celine dan kamu akan menjadi sebuah keluarga bahagia?"
**
Hello, everyone ... alhamdulilah, kisah ini udah ready e-booknya. Ebook sampai 46 bab yaa. Bisa baca tuntas dan puas di sana. Cuss, Guys 💙💙💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top