Seperangkat Dusta 34

Senyum Senja melebar saat Byan memperkenalkan dia dengan Gita.

"Oh, aku nggak nyangka ternyata kamu sudah menikah." Gita menjabat tangan Senja. 

"Kalau nggak salah, aku nggak asing dengan nama Azalea Putri. Kamu ... host yang sering ngasi seminar di beberapa kampus dan perusahaan, 'kan?" tanya Gita saat mereka sama-sama duduk.

Mendengar pertanyaan itu, Senja hanya tersenyum. Matanya menatap Byan yang juga tengah menatapnya. 

"Aku teman lama suamimu," terang Gita. 

Teman lama Byan itu tampak begitu anggun dengan blazer cokelat dan rok di atas lutut, dengan rambut hitam sebahu.

"Aku tahu."

"Sudah kuduga, Byan pasti sudah cerita." Perempuan bergincu merah itu tertawa. "Dia pria baik, meski terkadang berengsek. Kalau nggak berengsek, mana mungkin kami beberapa tahun lalu melakukan hal itu." Gita mulai mengintimidasi.

"Gita! Jaga ucapanmu!" Byan mengepalkan tangannya.

"Dia kalau marah cuma sebentar sebenarnya, ah iya, dia juga sangat pencemburu!" Gita menatap Senja, tak memedulikan kemarahan Byan.

Sudut bibirnya terangkat mendengar penuturan Gita. Perempuan bermata sipit berkulit putih itu masih menelisik Senja. 

Sementara Senja yang berpenampilan santai memakai blouse biru gelap, bercelana denim biru gelap dengan rambut dikuncir kuda itu mencoba tak acuh dengan kedua mata Gita yang gak pernah melepaskan pandangan darinya.

"Eum, Gita, kamu ke sini kata Leo untuk membicarakan soal kerja sama, 'kan?"

Gita tertawa kecil. "Kenapa, Byan? Kamu sedang mencoba menyembunyikan sesuatu, ya?" 

"Kamu nggak ingin tahu kabarku setelah sekian lama kita nggak ketemu?" imbuhnya menyeringai. "Kamu nggak ingin tahu kabar anak kita?"

Senja merasa dunia runtuh ketika kalimat itu keluar dari mulut Gita. Tak dipungkiri sekuat apa pun dia berusaha, tetap saja hatinya terlalu rapuh saat mendengar hal itu. Hal yang tiba-tiba saja menakutkan baginya.

"Gita!" bentak Byan.

"Hei, kita baru ketemu, kamu galak banget." Gita terkekeh geli.

"Kenapa? Di ruangan ini cuma ada aku, kamu dan istrimu, jadi untuk apa ditutupi? Kamu khawatir kredibilitasmu sebagai eksekutif muda tersukses hancur?"

"Maumu apa, Gita? Senja sudah  tahu semuanya "

"Lagi pula, ayahku dulu sudah menawarkan penyelesaian terbaik waktu itu, tapi ditolak, papamu meminta kompensasi sejumlah uang dan sudah diikuti, sekarang apa lagi?"

Gita menyilangkan kaki sehingga tampak paha mulusnya. 

"Maaf, Gita, apa yang terjadi pada kamu dan suamiku adalah masa lalu, tapi jika anak itu ternyata tidak jadi kamu gugurkan, tunjukkan padaku," ucap Senja dengan ekspresi tenang. "Tujuan kamu ke sini untuk  apa?"

"Bisnis tentu saja, dan ... menuntut nafkah untuk anaknya!" Gita menatap penuh kemenangan pada Byan. "Nafkah itu bukan hanya uang, tapi perhatian seorang papa untuk anaknya."

Senja terus berusaha menjaga emosi. Dia menatap Byan sejenak lalu berpaling ke Gita. "Oke, di mana anak itu? Dia laki-laki atau perempuan?"

Gita menyipitkan matanya lalu kembali tertawa.

"Karena ini masalahku dengan Byan, aku nggak butuh kamu, Senja. Kamu tidak tahu seperti apa yang terjadi sebenarnya. Sebaiknya kamu jangan terlalu cepat yakin dengan apa yang dikatakan Byan."

Senja berulang-ulang membasahi tenggorokannya.

"Celine butuh papanya. Aku mau Byan berpikir tentang itu! Dan kamu tidak dibutuhkan di sini. Ini urusanku dengan suamimu."

"Tapi Senja istriku! Apa pun yang jadi masalahku dia berhak tahu!" potong Byan geram. "Tunjukkan saja di mana anak itu. Kalau memang dia anakku buktikan!"

Gita tampak lihai mempermainkan perasaan Byan dan Senja. Masih dengan santai dia menjawab, "Setelah apa yang terjadi kamu mau minta bukti?"

"Gita cukup! Sekarang semua sudah berubah. Aku akan hubungi pengacara kalau kamu tidak bisa membuktikan apa yang kamu ucapkan!"

Menarik napas panjang, Gita bangkit dari duduk.

"Aku ke sini mengajak kerja sama dan bicara baik-baik denganmu, Byan. Kenapa kamu seolah menganggapku musuh?" Dia tersenyum tipis. 

"Proyek yang aku ajukan ini bernilai cukup besar, selain aku tahu track record perusahaanmu, kupikir sudah saatnya kita berdua kembali bekerja sama, bukan?" 

Gita tertawa kecil sembari meraih tas tangan. "Sebaiknya kamu pikirkan soal tawaranku. Aku ke sini tidak untuk membicarakan masa lalu, tapi mengajak bekerja sama membangun masa depan. Karena merawat sendiri seorang anak selama hampir enam tahun itu bukan hal yang mudah. Betul, 'kan Senja?"

"Kamu minta kompensasi maksudnya?" Suara Byan menahan langkah Gita.

Perempuan itu menggeleng. "Aku bukan papaku. Aku mau kamu! Bukan asetmu."

"Dia anak kita, Byan. Dia butuh kasih sayang papanya, dan itu adalah kamu." 

Gita menyeringai setelah tak ada lagi di ruangan itu yang menanggapi ucapannya."

"Oke, aku akan datang lagi untuk membicarakan soal ini. Kalau kamu mau ketemu Celine, kamu telepon aku aja. Nanti kita bisa bertemu bertiga saja!"

**

"Mas."

"Ya?"

"Sebaiknya kamu urus dulu masa lalumu. Gita benar, selesaikan urusan kalian tanpa melibatkan aku."

Senja melepas sabuk pengaman saat mobil berhenti tepat di depan kediaman Adhitama.

"Urusanku sudah selesai, Senja. Aku nggak ada lagi ...."

"Celine. Anak itu anakmu," sela Senja tanpa menoleh.

Byan menggeleng cepat. "Siapa yang bisa menjamin kalau dia benar anakku? Nggak ada, Senja."

"Tapi anak itu ada, Mas! Anak itu butuh kamu!"

Byan mengacak rambutnya. "Aku sudah lama tidak pernah bertemu Gita, apa di rentang waktu yang demikian panjang itu dia tidak pernah menikah atau berhubungan dengan pria lain?"

"Usianya, Mas! Usianya! Kamu jangan naif, dia anakmu dan itu harus kamu akui!" Senja mulai emosional.

"Tapi aku tidak merasa dia anakku. Wajahnya sangat berbeda!" Byan mencoba mengatur intonasi.

"Gita itu sejak dulu begitu, Senja. Dia terbiasa mendapatkan apa pun yang dia inginkan. Dia bisa bersandiwara demi mendapatkan keinginannya. Aku tahu dia seperti apa."

"Mas, apakah yang terjadi malam itu juga bagian dari sandiwara? Nggak, 'kan?" Air mata Senja tumpah. "Aku bisa percaya kalau kamu tidak melibatkan perasaan seperti yang kamu bilang, tapi anak itu ... anak itu butuh kamu papanya. Dia butuh keluarga yang utuh. Kamu jangan egois!"

"What? Maksud kamu?"

Senja bergeming. Hatinya tiba-tiba lelah. 

"Sebaiknya selesaikan semuanya sampai kamu benar-benar yakin pada pilihan dan keputusanmu." Senja menolak pipi basahnya disentuh Byan.

"Jika memang semuanya harus cukup sampai di sini, aku tidak akan menyesal, Mas. Karena tak ada gunanya, tapi aku berharap kita bisa mengambil pelajaran dari semua yang terjadi."

"Senja."

"Selesaikan dulu semuanya. Pastikan Bang Sony tidak tahu soal ini atau ...." Senja menggeleng. "Atau aku harus menyerah dengan apa pun keputusannya."

**

Byan memukul tembok berulang-ulang hingga tangannya luka. Leo gak bisa menahan karena tenaga rekannya itu sangat kuat.

"Kenapa aku tidak pernah dibiarkan untuk bahagia, Leo? Kenapa!"

Leo memijit pelipisnya. Dia pun baru tahu jika ternyata masa lalu Byan pernah pada titik sekelam itu. 

"Maaf, Byan, tapi benar apa yang dikatakan Senja. Sebaiknya kamu selesaikan dulu dengan Gita. Pastikan apakah anak itu anakmu atau tidak."

Byan menoleh menatap penuh selidik.

"Apa ada yang bisa menjamin jika Gita berkata jujur?"

"Tes DNA, Byan. Itu satu-satunya kunci agar semuanya clear."

Byan membuang napas kasar. "Aku benar-benar buruk! Sony benar-benar, aku memang tidak pantas untuk adiknya. Senja terlalu baik untuk menerima pendamping idiot dan berengsek sepertiku."

***

Waktu dan tempat dipersilakan untuk ngata2in Byan mungkin 😁😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top