Seperangkat Dusta 33


Byan tersenyum lebar mematut di depan cermin. Hari ini hari pertama dia kembali memakai baju kerja yang disediakan sang istri. Hatinya lebih gembira lagi ketika menatap Senja yang berdiri di depannya tengah memakaikan dasi.

"Kenapa senyum-senyum?"

"Galak amat."

"Ya aku jadi nggak konsentrasi, Mas!"

"Ya terus aku harus lihat ke atas? Di atas nggak ada yang indah untuk dilihat. Rugi banget, 'kan melewatkan pemandangan indah di depan?" Byan berkilah.

Pipi Senja merona. "Jadi waktu aku nggak bersamamu, siapa yang pasang dasinya?"

"Ya pasang sendiri."

"Lalu, kenapa sekarang minta aku yang pasangkan?"

"Modus." Byan menahan tawa.

"Modus?"

"Iya, biar bisa dekat terus," sahutnya.

Senja tak sanggup menyembunyikan tawa mendengar jawaban lucu sang suami. Tangannya mencubit perut datar Byan sembari melotot pura-pura kesal.

**

Sepanjang perjalanan ke rumah Senja, Byan memilih bungkam. Sejak mulai berangkat dirinya menebak-nebak apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah ini. 

Apakah dia akan benar-benar kehilangan Senja? Karena Sony benar-benar tidak bisa mencabut keinginannya. Selain itu kegundahannya semakin menjadi ketika teringat masa lalunya dengan Gita, meski dirinya tak pernah memiliki perasaan apa pun demikian dengan Gita.

Akan tetapi, kemunculan perempuan itu secara tiba-tiba, tak pelak membuatnya gelisah. Terlebih saat ini hubungannya dengan Senja masih dalam tahap memperbaiki.

"Mas."

"Ya, Sayang?" Byan menoleh sejenak lalu meraih tangan sang istri dan membawanya ke dada.

"Semenjak dapat telepon dari Leo kamu terlihat sedih. Kenapa?"

Byan tampak berpikir. Jika dia menyembunyikan hal ini dan Senja tahu dari orang lain, tentu akan sangat menyakitkan untuknya, tetapi jika dia mengatakan yang sejujurnya, Byan pun tidak sanggup dan tidak siap dengan reaksi sang istri.

"Apa pendapatmu tentang masa lalu?" Byan mengecup jemari Senja sambil terus mengemudi.

"Masa lalu? Kenapa Mas tanyakan itu?"

"Jawab saja, aku hanya ingin tahu. Ini sama sekali bukan tentang apa yang sudah terjadi."

"Nggak ada yang salah dengan masa lalu karena semua memang harus terjadi. Tuhan sudah menuliskan semua suratan takdir untuk kita, tinggal bagaimana kita menjalani," tuturnya bijak. "Semua yang hidup pasti punya catatan buruk dan baik di masa lalunya, hanya saja semua itu kembali ke personality masingmasing. Apakah dia bisa menjadi lebih baik atau buruk."

Byan mengangguk lalu menarik napas lega. Meski sang istri belum tahu ke mana arah dari pertanyaannya, tetapi dia sudah mengerti bagaimana Senja menyikapi.

"Mas? Ini ... ini bukan jalan ke rumah, ini ke ... kantorku."

"Setelah dari kantor, kita baru ke rumah Papa."

"Kenapa? Kenapa tiba-tiba kamu ngajak aku ke kantor?"

"Ada yang harus kamu tahu. Aku nggak mau kamu tahu dari orang lain." Byan terlihat sedikit lega setelah mengatakan itu.

"Ada apa sih, Mas?" 

Mobil terus meluncur, Byan tampak mengurangi kecepatan.

"Aku nggak tahu harus memulai dari mana, tapi seperti yang aku tanya tadi, apa tanggapanmu tentang masa lalu."

Senja memiringkan tubuhnya menghadap Byan. Pria itu terlihat tegang.

"Apa masih ada masa lalumu yang aku tidak tahu?"

"Ada, tapi sebenarnya hal itu tidak perlu kamu tahu."

"Kalau aku tidak perlu tahu, kenapa kamu ...."

"Karena orangnya ada sekarang."

"What?" Mendadak ada gejolak yang sulit diungkapkan memenuhi dada dan pikiran Senja. Cemburu. Iya, Senja cemburu. Meski dirinya masih meraba-raba, tetapi saat Byan mengatakan orang itu berarti seorang perempuan dari masa lalunya yang di tidak tahu.

"Apa orang yang kamu maksud itu seorang perempuan?"

Byan mengangguk pelan.

"Apa dia bagian indah dari masa lalumu?"

Byan menggeleng.

"Kalau begitu, kenapa kamu terlihat resah? Lalu kenapa aku harus ...."

"Dia ada di kantorku sekarang. Dia temanku SMP sampai SMA. Kami tidak pernah bertemu sekian lama."

"Lalu?"

Mengusap wajahnya, Byan membelokkan mobil ke menara Green Diamond kantor pusat tempatnya bekerja. Setelah memarkir mobil, dia membuka sabuk pengaman.

"Sayang, aku pernah ...." Byan tampak ragu, dia bahkan berkali-kali menarik napas.

"Katakan saja, Mas. Apa yang pernah kamu lakukan. Aku siap mendengar."

Meski terlihat berat, akhirnya Ben menceritakan semuanya. Semua yang pernah terjadi di masa lampau bersama Gita. Perempuan yang sekarang masih menunggu di kantor Byan.

Wajah Senja tampak pias. Tubuhnya seperti membeku dan gak bergerak. Tatapan matanya kosong dan berkaca-kaca. 

"Sayang, kamu marah? Kamu pasti kecewa. Aku tahu itu. Aku memang tidak pantas disebut pria baik. Aku memang pria berengsek yang seharusnya mati sejak lama." Byan memukul kemudi dan mengusap kasar wajahnya. "Aku tahu kamu akan bersikap seperti ini. Tapi aku sudah lega karena kamu tahu soal ini dari aku, bukan dari yang lain. Maafkan aku."

Perlahan air mata Senja jatuh. Apa yang dia dengar ternyata lebih menyakitkan dari yang dia kira. Senja sama sekali tak menyangka jika pria di depannya itu pernah melakukan hal yang tak semestinya.

"Tapi kamu harus Senja, itu hanya sekali dan setelah itu aku sama sekali tidak pernah punya hubungan dengan siapa pun. Bahkan aku tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun setelahnya selain kamu."

Senja masih membisu, matanya seolah tak jemu mengeluarkan air. Tatapannya masih kosong seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Apa anak itu ada?" tanyanya bergetar.

"Aku nggak tahu. Karena seperti yang aku bilang, aku nggak pernah tahu kabarnya." Byan kembali mengusap wajahnya. "Sayang, kamu percaya aku, 'kan? Itu benar-benar masa laluku."

Senja merasa tenggorokannya kering. Diantak mampu berkata-kata. Masa lalu yang dimaksud Byan ternyata jauh dari yang dia kira. 

"Kalau kamu dengan dia tidak ada hubungan lagi, kenapa dia menemuimu?"

"Leo bilang perusahaan miliknya sedang mencari rekanan untuk proyek mereka, dan ternyata mereka tertarik dengan perusahaanku."

Senja membasahi tenggorokannya. 

"Please, Sayang, aku ajak kamu ke sini agar kamu percaya padaku."

Pria beralis tebal itu menarik napas dalam-dalam. "Aku bahkan sudah benar-benar lupa masa-masa itu dan berharap satu memori itu hilang, tapi nyatanya tidak seperti yang kuinginkan."

Byan mengusap pipi basah sang istri, dia tahu gores yang pernah beri belum benar-benar pulih, tetapi hari ini dia kembali menorehkan luka. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain selain mengatakan hal pahit ini karena dia tak ingin orang lain lebih tahu dari Senja.

"Jika dengan semua yang kamu tahu lantas kamu jijik dan hendak menghukumku ... hukumlah, tapi jangan tinggalkan aku. Aku nggak bisa, Senja. Aku mencintaimu. Hanya mencintaimu," ujarnya menangkup wajah cantik istrinya.

"Oke, ayo kita masuk!" Senja melepaskan tangan Byan dari wajahnya. "Aku ingin hari ini segera selesai. Aku ingin tenang."

Meski wajah Byan terlihat khawatir, tetapi dia tak punya pilihan. 

"Sayang." Byan menahan lengan Senja saat perempuan itu hendak melangkah menuju pintu masuk gedung kantor suaminya.

"Ya?"

"Kamu percaya aku, 'kan?"

Bibir Senja menyungging senyum sembari mengangguk, meski duka demikian menggantung di matanya.

**

Triple update done yaa ....
Semoga masih sukaa💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top