Seperangkat Dusta 32
Senja tersenyum melihat Byan yang baru saja selesai sarapan. Pria itu tak lagi terlihat kuyu seperti beberapa waktu lalu yang dia temui. Parasnya kembali berseri. Senja merasa hatinya pun terus menghangat saat bersama sang suami.
"Mas? Mau ngajak aku ke mana?" tanyanya terkejut karena Byan meraih tangannya.
"Kamar!"
Matanya membulat mendengar penuturan Byan.
"Ngapain?"
"Habisnya dari tadi kamu ngelihatin aku terus, aku jadi merasa kamu sedang meminta sesuatu," bisiknya dengan tatapan mata nakal saat Senja berdiri.
Senja mencubit pinggang Byan dengan mata membeliak. Pria itu tertawa lebar.
"Ponsel kamu bunyi tuh, Mas!" Dia menatap telepon seluler Byan yang ada di ruang tengah.
"Leo," ujarnya menatap Senja.
"Halo, Leo?" Suaranya terdengar malas.
"Bos, di mana?"
"Kenapa?" Byan sengaja merahasiakan kediamannya bahkan dari Leo sekali pun.
"Ada Bang Sony di kantor." Suara Leo berubah lirih. "Senja ada di sana, 'kan?" tanyanya semakin lirih.
Byan menoleh menatap Senja yang juga tengah menatapnya. Seperti paham dengan apa yang dipikirkan sang suami, Senja mengangguk pelan.
"Iya, dia bersamaku." Dia mendekati Senja dan menggenggam erat tangannya.
Sejenak Byan mendengar keributan di seberang.
"Byan! Di mana adikku? Mana Senja?" Suara Leo tiba-tiba berganti. "Aku mau menjemputnya!" Nada suaranya terdengar dipenuhi amarah.
Menarik napas dalam-dalam, Byan menoleh ke sang istri. Masih dengan tangan menggenggam, dia menjawab, "Aku suaminya, Bang. Aku yang paling berhak atas Senja."
"Kamu hanya suami di atas kertas, tapi tidak memiliki fungsi sebagai seorang suami! Mana Senja? Aku mau bicara!" bentaknya.
"Senja baik-baik saja bersamaku, Bang. Abang tidak punya hak untuk melakukan apa pun padanya dan pada pernikahan kami!" Byan sedikit meninggikan suaranya.
"Mana Senja? Aku sedang malas berdebat!"
Senja mengangguk memberi isyarat meminta ponsel suaminya.
"Bang, Senja baik-baik saja. Sore nanti Senja pulang ke rumah Papa."
Byan memijit pelipisnya mendengar sang istri akan kembali pulang. Itu artinya akan sulit lagi baginya untuk bertemu Senja.
"Oke, Abang tunggu!"
Obrolan selesai, dia menyodorkan telepon genggam sang suami.
"Aku harus bertemu Papa, Mas."
Mereka berdua duduk bersebelahan di sofa. Byan mengusap wajahnya.
"Kamu yakin kita bisa ketemu lagi?"
Dahi perempuan yang mengenakan blouse putih itu berkerut. Dengan mata menyipit dia bertanya, "Kenapa Mas bicara begitu?"
"Bang Sony."
Bibir Senja tertarik singkat. Dia kemudian merebahkan kepalanya di bahu Byan.
"Aku bukan anak kecil lagi, Mas. Aku tahu mana yang harus aku pilih."
"Jadi, apakah itu artinya kamu memilih aku?" Byan sedikit berkelakar.
Mendengar ucapan Byan, Senja mengerucutkan bibirnya.
"Aku akan pergi kalau ternyata kamu tidak memilih aku! Apa Mas sedang berpikir untuk memilih perempuan lain?" Kali ini suaranya terdengar sinis. "Mas pikir aku keberatan jika harus pergi, gitu?"
"Eh, kok, kenapa jadi begini? Nggak! Ya, Tuhan, Senja, aku nggak pernah kepikiran seperti yang kamu bilang tadi, Sayang. Salah, deh, aku salah bicara tadi. Maaf, Sayang. Maaf." Byan tampak kebingungan merendam reaksi Senja yang tak pernah dia perkirakan.
Senja mengangkat kepalanya dari bahu Byan lalu membuat jarak.
"Sayang, iya, aku tahu, aku tadi cuma becanda. Jangan gini, dong. Please, maafin aku, aku cuma ...."
"Becandamu bikin aku kesal, tahu nggak!" Senja mencebik sembari melipat kedua tangannya di dada.
Merasa sangat bersalah, Byan berlutut di depan sang istri sembari meraih jemari Senja. "Maaf, aku janji aku nggak becanda seperti itu lagi. Please, maafin aku. Aku nggak ngulangin lagi, aku janji." Byan mengangkat jari membuat simbol damai.
"Please, Sayang." Matanya memohon memindai sang istri.
Anggukan Senja membuat Byan bisa bernapas lega.
"Jangan pernah marah seperti lagi ya. Aku bisa gila nanti."
Senyum tercetak di bibir perempuan berambut sepunggung itu. "Mas juga harus janji nggak becanda begitu lagi. Kalau Mas memang nggak mau sama aku, Mas bisa langsung bilang, supaya aku yakin bahwa aku sudah benar-benar tidak dicintai."
Byan kembali duduk di samping Senja, tapi kali ini gegas memeluk erat sang istri dan menghujaninya dengan kecupan di kening dan berlabuh lama di bibir.
Senja memejamkan mata ketika jari Byan mulai menelusup ke dalam blouse -nya. Napas mereka mulai tak beraturan. Akan tetapi suara telepon Byan menyudahi semuanya.
Byan tampak kesal, melihat identitas penelepon. Sementara Senja menggeleng cepat menyadari jika mereka salah memilih tempat, karena di dapur sekilas dia melihat Mak Yati yang mengurungkan niat untuk ke ruang makan.
"Ya, Leo?"
"Sudah hampir satu pekan kamu nggak ke kantor, Bro! Tolong ke kantor sebentar, ada seorang perempuan yang mengaku teman masa kecilmu di sini."
"Siapa?" Byan menatap Senja yang melangkah ke kamar.
"Dia bilang namanya Gita, Gita Liliana Handoko. Pemilik perusahaan farmasi."
Menyugar rambut, Byan mencoba mengingat.
"Gita? Iya, aku ingat. Dia ada di kantor?"
"Iya. Dia bilang ingin ketemu kamu."
Wajah Byan berubah muram. Gita adalah perempuan pertama yang hadir saat dia beranjak remaja. Teman masa kecil hingga mereka sama-sama lulus SMA dan kemudian berpisah.
Mengingat Gita, dia jadi ingat bagaimana kenakalannya saat SMA. Saat itu dia dan Gita teman dekat.
Gita adalah anak perempuan yang besar dari keluarga broken. Saat itu mereka sama-sama saling mencari jati diri hingga berakhir di sebuah hotel kecil di tepi pantai. Kala itu mereka masih sama-sama SMA.
Tamparan Handoko -papa Gita- masih terasa di pipinya saat tahu jika dialah yang telah menumbuhkan benih di rahim sang putri.
Byan masih ingat bagaimana sang ayah akhirnya memberikan kompensasi sejumlah uang yang diminta oleh Handoko. Karena papa Gita menolak menikahkan mereka dan bermaksud menggugurkan kandungan putrinya, dan Gita di sekolahkan di luar negeri.
"Byan? Kamu masih di sana?" Suara Leo mengejutkannya.
"Iya. Eum ... dia ada keperluan apa mencariku?"
Leo sedikit tertawa di seberang. "I don't know, I just know she's beautiful."
**
Byan masih merenung di sofa, telepon dari Leo membuat dia bertanya-tanya. Untuk apa Gita datang setelah sekian lama perempuan itu menghilang. Lalu apa kabar dengan kandungannya kala itu? Apakah jadi digugurkan atau tidak? Berbagai macam pertanyaan berkecamuk sehingga dia tak sadar Senja sudah berada di sampingnya.
"Ada apa, Mas Byan? Kok mendadak diem?"
Byan menoleh memicingkan mata melihat sang istri sudah rapi.
"Kamu mau ke mana?"
"Ke rumah Papa." Senja memasang senyum paling manis.
Jawaban Senja membuatnya bingung. "Bukannya kamu bilang tadi sore?"
"Kalau bisa sekarang, kenapa harus menunggu sore? Lagian sepertinya Mas Byan harus ke kantor, 'kan?" Dia kemudian duduk di samping sang suami.
Byan masih terlihat gundah.
"Kita sudah ketemu, 'kan? Dan aku sudah memaafkan. Jadi semuanya selesai, kamu bisa kembali kerja," tuturnya sembari mengusap pipi sang suami.
"Se ... selesai ... maksudnya?" Byan tampak khawatir mendengar ucapan Senja.
"Selesai ... iya, tujuanmu sudah selesai, 'kan?"
"Senja, please, jangan berteka-teki. Aku sedang tidak mampu berpikir jernih," mohonnya. Dengan tangan kanannya Byan merangkul Senja.
"Tujuan kamu ingin aku maafkan, 'kan?"
"Iya."
"You've got it."
"Sayang, bukan cuma itu, aku mau kamu di sini teruse membersamaiku. Meskipun ...." Byan membuang napas perlahan.
"Meskipun apa?"
"Meskipun aku pria paling buruk menurut dunia, tapi aku berharap kamu sudi terus bersamaku."
"Mas, ini semua tentang rasa. Rasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh akal dan logika. Tidak ada yang bisa memaksa jika rasa sudah berbicara." Bibir Senja melengkung sempurna. "Mungkin bagi sebagian orang akan berpikir aku bodoh karena Mamu dan bisa menerima semua pedih yang pernah terjadi, tapi aku nggak bisa berpura-pura dengan perasaanku."
Byan kembali memeluk Senja. Hati kecilnya berharap sang istri bisa menerima kenyataan yang mungkin menjadikan hubungan mereka kembali dingin.
**
Nah looh, apa yang terjadi selanjutnya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top