Seperangkat Dusta 30


"Mentari dan Langit adalah dua bersaudara yang sangat manis. Mereka tumbuh dalam keluarga harmonis dan saling menyayangi." Byan membuka cerita.

"Mentari adalah anak perempuan dari keluarga ini, sementara Langit anak laki-laki mereka," imbuhnya menarik napas dalam-dalam kemudian menyungging senyum. "Kamu pasti mencintai mereka, seperti aku."

Masih dengan mata menyipit, Senja menatap serius suaminya. Tampak kedua mata Byan berkaca-kaca.

"Kamu kenapa, Mas?"

"Nggak apa-apa, kita masuk sekarang?" Byan memejamkan mata sebentar lalu kembali tersenyum.

"Tapi ... kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang keluar?" Senja kembali  menatap hunian apik bernuansa putih hitam itu. "Eum ... maksudku ...." Dia menoleh ke Byan.

"Kita masuk aja dulu aja," ajaknya mendekat membuat Senja gugup. "Sabuk pengaman ini agak susah jika dilepas," bisik Byan tepat di telinga sang istri.

Senja mendadak kaku, dirinya tak bisa berbuat banyak selain membiarkan Byan membukakan selt belt-nya.

"Ayo!" Byan lebih dahulu keluar dari mobil lalu cepat membukakan pintu untuk Senja.

Meski terlihat ragu, tetapi Byan berhasil lebih meyakinkan lagi. 

"Jangan khawatir, nggak akan ada yang menyakitimu. Dan aku ada di sini," tuturnya sembari menggenggam erat tangan sang istri. 

Mereka lalu melangkah menuju pintu yang ternyata telah dibuka oleh seorang perempuan paruh baya yang mengenakan terusan berwarna hijau muda. Perempuan itu mengenalkan dirinya sebagai Mak Yati.

"Silakan masuk, Mbak Senja," ujarnya ramah.

Senja mengangguk tersenyum, dia menoleh ke Byan yang juga menatapnya. Rumah bernuansa putih hitam itu terasa nyaman dengan langit-langit yang tinggi. Aroma strawberry kesukaannya menyeruak menguar menyapa indra penciumannya. Strawberry adalah salah satu dari aroma favorit Senja.

"Kenapa rumah ini sepi, Mas? Ke mana dua anak yang kamu ceritakan tadi?" tanyanya duduk di sofa berwarna putih sembari menatap sang suami.

Byan hanya tersenyum lalu duduk di samping Senja.

"Mas, ini yang punya rumah ke mana? Kok nggak keluar-keluar? Apa mereka nggak tahu kalau kita ...."

"Kita yang punya rumah ini," potong Byan menatap lembut istrinya.

"Rumah kita?" 

Byan mengangguk. "Iya, rumahmu. Rumah yang akan menemani kita sampai Tuhan mengatakan cukup."

Menyipitkan mata, Senja masih tak mengerti.

"Kata Mas ini ...."

"Nggak, rumah ini sengaja aku ambil buat kamu, karena kamu pernah bilang ingin rumah yang nggak begitu besar, tapi punya fasilitas lengkap seperti rumah kita yang dulu."

"Di belakang ada tempat gym yang menghadap langsung ke kolam renang," paparnya masih dengan tatapan hangat.

Senja menggigit bibir mendengar penuturan suaminya. Dia sama sekali tidak menyangka jika Byan masih ingat keinginannya saat mereka masih pacaran dulu. 

"Ada juga taman di samping rumah, aku masih ingat kamu suka dengan anggrek, 'kan? Kamu bisa lihat sudah ada beberapa anggrek yang sudah berbunga di sana."

"Mas Byan?"

"Aku harap kamu suka, tapi kalau kamu nggak suka ...."

"Mas Byan!"

"Ya?"

Menarik napas dalam-dalam, Senja kembali mengedarkan pandangannya. Desain modern minimalis sangat kental pada hunian ini, tetapi Senja masih ingin tahu siapa Mentari dan Langit.

"Mana dua anak yang kamu ceritakan tadi?" Senja kembali mengedarkan pandangannya lalu berhenti menatap Byan.

Byan menarik napas dalam-dalam kemudian tersenyum.

"Dia masih belum ada."

"What? Belum ada? Maksud kamu?"

Bibir Byan melengkung sempurna. Matanya menatap penuh cinta pada Senja.

"Mentari dan Langit adalah nama calon anak-anak kita," paparnya dengan suara lembut.

Mendengar jawaban Byan, sontak pipinya memerah. Senja merasakan ada desir hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.  

Senja merasakan Byan sudah kembali. Byan yang sekian lama membuat jarak kini kembali seperti semula. Hangat, penuh perhatian dan kasih sayang.

"Kenapa aku kasi nama Mentari kalau dia perempuan? Karena kamu adalah Senja, dan Mentari anak kita nanti akan menjadi pengantar cahaya yang menerangi. Lalu kenapa Langit kalau dia laki-laki? Karena Langit adalah bentangan kokoh yang akan menaungi kebahagiaan kita."

Sikap Byan yang berubah manis membuat dia yakin jika pria itu telah menjadi dirinya sendiri. Akan tetapi, tentu tidak semudah itu. Dia merasa butuh waktu untuk menyambut tawaran suaminya. Bagaimana mungkin dia bisa melupakannya ucapan Byan soal perasaannya kala itu meski pria di sebelahnya telah meralat dan menegaskan seperti apa yang sebenarnya terjadi di hatinya.

"Kamu keberatan?" Byan menatap istrinya yang sejak tadi diam. "Kamu bisa mengganti namanya kalau kamu mau. Ideku tadi sekadar usulan aja."

Mak Yati muncul membawa nampan berisi minuman dan camilan. "Silakan dinikmati, Mbak Senja. Mas Byan bilang kalau sebentar lagi rumah ini bakal ditempati Mbak Senja. Saya senang sekali kalau rumah ini berpenghuni," celoteh Mak Yati.

Senja tersenyum tipis kemudian mengangguk. Perempuan ramah itu tanpa diminta menceritakan bagaimana Byan mempersiapkan rumah ini sebelum Senja datang. 

"Mas Byan bilang kalau Mbak Senja suka masak, jadi seluruh perlengkapan dapur sudah disediakan. Semua peralatan yang terkadang saya tidak bisa memakainya pun ada di sana," tuturnya sembari tertawa. "Saya ini cuma bisa bikin kue tradisional, salah satunya ya itu, Mbak, kue lapis pandan kesukaan Mas Byan."

Senja menoleh ke samping. Byan suka kue lapis? Amazing! Dia baru tahu. Dia pikir selama ini Byan hanya suka kue-kue modern yang kerap berjajar di etalase toko-toko kue ternama.

"Cicipin, Mbak." Mak Yati kembali mempersilakan Senja seolah ingin menunjukkan bahwa kue buatannya enak.

Senja mengangguk mengikuti titah asisten rumah tangga Byan tersebut.

"Gimana, Mbak? Enak?"

Sembari tersenyum Senja mengangguk. "Pantas Mas Byan suka, Mak. Karena memang seenak itu rasanya."

Tersenyum lebar, Mak Yati memegang dadanya. "Alhamdulillah, Mbak Senja juga suka."

Setelah kembali bercerita tentang anak dan cucunya, perempuan bertubuh kurus itu memohon diri kembali ke dapur.

"Kamu nggak bilang kalau kamu suka kue ini." 

Byan tersenyum. "Kue ini dulu ibuku sering membuatnya, dan setelah sekian lama, akhirnya aku menemukan Mak Yati yang kurasa buatannya hampir mirip buatan ibuku."

Senja mengangguk. Suasana kembali hening.

"Senja."

"Hmm?"

Byan menyugar rambutnya, lalu membetulkan posisi duduk hingga tubuhnya menghadap ke sang istri.

"Katakan, apa aku masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan ini?" Tatapannya lembut, tetapi sanggup menelusup ke dalam hati Senja yang paling dalam. "Aku sangat takut kehilanganmu, Senja. Katakan, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau dan yakin menerimaku." Perlahan dia meraih tangan Senja dan meremasnya.

Pernikahan mereka belum setahun, bahkan salam hitungan bulan hubungan itu sudah diliputi dendam dan fitnah yang menyebabkan konflik menajam. Ada luka yang dalam di hati Senja yang sebenarnya perlahan sudah terbalut. 

Diakuinya Byan adalah pria yang memiliki tempat paling indah di hatinya yang sampai saat ini masih tetap berdiam di sana. Akan tetapi, kali ini dia tidak bisa memaksakan kehendak seperti saat itu. Karena ada Sony yang sampai saat ini masih demikian membenci Byan.

Sentuhan lembut Byan di pipinya membuat Senja tersadar dari lamunan. "Kamu tidak mempunyai jawabannya?"

"Aku ... aku nggak tahu."

"Nggak tahu? Kenapa? Kamu ragu pada semua ucapanku?"

Senja menggigit bibirnya dan menggeleng pelan.

"Aku ragu karena ... aku ragu karena Mas pernah bilang kalau tidak mencintaiku."

Byan menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan menurunkan tangannya dari pipi sang istri. Ucapan lama yang masih lekat di kepala Senja adalah ucapan paling bodoh yang pernah dia lontarkan.yang hingga kini menjadi penyesalan paling berat baginya.

"Aku hanya nggak mau Mas bersikap seperti ini karena Mas iba dan karena hanya ingin menebus rasa bersalahmu, Mas."

**




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top