Seperangkat Dusta 29

Byan mengangguk. "Aku datang ke rumahnya berbekal alamat yang kudapat di ruang kerja Papa."

"Kenapa kamu nggak datang ke papaku?" Senja seolah bisa merasakan betapa tertekannya Byan saat itu.

Pria berhidung mancung itu tersenyum tipis kemudian menggeleng.

"Entahlah, tapi karena memang alamat Om Romi saja yang kutemukan waktu itu."

"Lalu, apakah Om Romi langsung menolongmu?" Wajahnya berubah serius.

Byan mengangguk. "Meski aku harus menunggu sekitar sebulan untuk memastikan pengobatan Ibu bisa dibantu beliau."

Byan kembali bercerita jika selama menunggu jawaban Romi, dia kembali bekerja serabutan agar bisa terus kuliah, termasuk bekerja di rumah salah satu dosen agar dirinya selalu bisa mengantar jemput dan mengawasi putrinya.

"Mau aku ceritakan sesuatu soal putri si dosen ini?"

"Apa itu?"

Byan menyandarkan kepalanya di sofa. Badannya mulai terasa nyeri karena pukulan Sony yang bertubi-tubi tadi.

"Dia jatuh cinta padaku."

"What?" Spontan Senja bereaksi dan tentu itu membuat Byan senang.

"Kamu nggak pernah cerita ke aku soal ini, Mas."

"Untuk apa? Apa itu penting?"

"Penting buatku."

"Buatku tidak, karena aku tidak menanggapi dan memilih berhenti bekerja waktu itu."

Senja menggigit bibirnya. Ternyata ada banyak hal yang dia belum ketahui dari sang suami.

"Jika sekarang aku cerita, mungkin penting buatku karena semuanya sudah tidak penting lagi buatmu."

Senja terdiam.

"Di saat aku hampir putus asa, Om Romi memberi jawaban yang melegakan. Ibu bisa meneruskan pengobatan meski pada akhirnya Tuhan memanggil pulang."  Byan mengusap wajahnya. "Di saat itulah aku mendengar semua cerita tentang papamu."

Suara ketukan pintu kamar dan suara Sony membuat mereka berdua menatap ke arah yang sama.

Senja menatap cemas Byan. Akan tetapi, pria itu hanya tersenyum sembari memberi isyarat agar dia menjawab Sony yang tengah memanggilnya.

"Iya, Bang?"

"Kamu nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, Bang."

"Bram sudah datang, kamu sudah ditunggu."

Senja kembali menatap Byan, tetapi pria itu masih seperti tadi. Byan terlihat tenang seolah membiarkan Senja memutuskan apa yang akan dilakukan.

"Kamu masih sama laki-laki pengecut itu?" Suara Sony kembali terdengar.

"Mas Byan ada di sini, Bang."

"Ngapain kamu di sana? Pintu akan Abang buka paksa! Setelah itu Abang mau laki-laki itu segera pergi!"

Senja bangkit lalu menarik tangan Byan dan menggenggamnya erat. Sementara Byan terkesima dengan sikap Senja yang tiba-tiba berubah.

"Senja, Abang Sony marah, aku nggak mau kamu dimarahi."

"Diam, Mas! Aku hanya nggak mau kamu kenapa-kenapa lagi."

Pintu didobrak dan benar saja, Sony langsung mendekat dan tangannya mengepal dan siap melayangkan tinjunya ke wajah Byan. Akan tetapi, sigap Senja memegang tangan abangnya.

"Cukup, Bang! Cukup! Ini semua tidak akan pernah selesai jika Abang terus menyalakan amarah. Berhenti terus menghukum suami Senja!" tegas Senja.

Byan yang sejak tadi diam dan menunduk, sontak menoleh mendengar penuturan Senja. Dia tak menyangka jika istrinya bisa setegas itu terhadap Sony.

"Suami kamu bilang?"

"Sebelum palu diketuk, dia masih suami Senja, Bang. Senja berdosa jika membiarkan Mas Byan terus diperlakukan dengan tidak adil."

Kedua alis Sony bertaut. "Tidak adil?" Sony menyeringai menatap tajam Byan. "Kamu mendengar cerita palsu apa lagi dari dia?" tanyanya menoleh ke Senja.

"Senja percaya Mas Byan. Senja percaya dengan ceritanya. Senja juga percaya dia tidak sepenuhnya bersalah. Bukankah setiap orang berhak dan bisa berubah."

Sony menatap Senja. Matanya berkilat amarah. Sementara seorang pria datang menghampiri. Pria yang tingginya hampir sama dengan Byan itu menatap Senja.

"Senja? Ini kamu?"

"Mas Bram, apa kabar?" Tersenyum, Senja mengulurkan tangan menyambut tangan pria yang dipanggil Bram itu.

"Baik, kamu?"

"Baik, Mas. Eum ... kenalin ini Byan, suami Senja." Senja sedikit mendongak menatap Byan memberi isyarat agar suaminya itu memperkenalkan diri.

"Kita ngobrol di villa aja, Bram!" Sony menyudahi perkenalan Byan dan Bram. "Senja, ikut Abang!"

Senja tak menyahut, dia tetap berdiri di tempatnya dan membiarkan Bram dan Sony meninggalkan mereka berdua.

"Jadi dia yang namanya Bram?" tanya Byan membiarkan tangannya masih dalam genggaman Senja.

"Iya." Senja menoleh lalu segera melepas pegangannya. "Dia teman kecil Bang Sony dan baru saja pulang dari Swiss."

Byan mengangguk paham. "Dan kamu?" Ada nada cemas dari pertanyaannya.

"Apa?" Senja menyipitkan mata.

"Kamu ...." Byan seperti kehilangan kalimat untuk diungkapkan betapa dia takut jika pada akhirnya Senja mengikuti keinginan Sony. "Makasih, ya."

"Untuk apa?" tanyanya masih dengan mata menyipit.

"Aku tersanjung saat kamu bilang kalau aku suamimu." 

Mengedikkan bahu, Senja tersenyum tipis. "Ya memang pada kenyataannya begitu, 'kan? Kenapa? Apa itu salah? Atau Mas nggak suka?"

"Eh, bu ... bukan begitu. Aku tadi, kan bilang kalau aku tersanjung, itu artinya aku suka, bahkan sangat suka," terangnya dengan paras khawatir. "Apa aku boleh tanya lagi?"

"Tanya apa?"

Byan menarik napas dalam-dalam. "Kamu tadi bilang selama palu belum diketuk aku tetap suamimu, 'kan?"

Senja mengangguk. Bibir Byan melengkung sempurna, dengan cepat tangannya menyambar tangan Senja. 

"Ikut aku!" 

"Ke mana?"

"Nanti juga kamu tahu. Sekarang kamu harus ikut aku!"

Senja berjalan cepat mengikuti langkah suaminya. Byan hanya tersenyum saat Senja kembali bertanya ke mana mereka akan pergi. Dia merasa Senja sudah memberikan sinyal bahwa dirinya pun enggan untuk berpisah. Meski tidak dituturkan secara gamblang, tetapi cara Senja menjelaskan posisinya sudah cukup membuat Byan yakin.

"Tapi ... aku belum bilang ke Bang Sony kalau ...." Senja menghentikan langkahnya.

"Aku suamimu, 'kan? Byan ikut berhenti menatap Senja. "Kamu tidak harus izin siapa pun karena aku yang mengajakmu."

**

Sony kesal karena Senja pergaulan begitu saja, tanpa izinnya. Rencananya untuk mengenali lebih jauh dengan Bram akhirnya pupus.

Setelah Bram pulang, Sony memacu mobilnya menuju kediaman Adhitama. Di sana dia menumpahkan kegundahan dan rasa kecewanya terhadap pilihan Senja.

"Sony, biarkan Senja memilih jalannya. Lagi pula, Papa pikir Byan sudah banyak belajar dari kesalahan yang lalu-lalu."

Sony membuang napas kasar. Dia masih tidak percaya pada Byan, meski pria yang dicintai adiknya itu sudah babak belur di tangannya. 

"Senja nggak bawa ponselnya?"

"Nggak, Pa. Itu yang bikin Sony khawatir."

"Kamu sudah coba hubungi Byan?"

Sony menggeleng. "Untuk apa Sony menyimpan nomornya?"

"Papa tahu kekhawatiranmu, tapi papa percaya Byan tidak melakukan hal yang buruk, lagipula mereka ikuti masih suami istri, Sony. Kamu tidak berhak melarang atau bahkan marah pada adikmu."

"Nanti Papa coba telepon Byan. Semua akan baik-baik saja. Percayalah!"

**

Senja mematung mengedarkan pandangan dari dalam mobil. Di depannya sebuah rumah bercat putih. Rumah itu terlihat sangat cantik dengan aneka bunga menghias halaman. Seorang pria berkulit gelap dengan topi di kepala bergegas membukakan pagar hitam berukuran kira-kira dua meter.

"Selamat sore, Mas Byan, Mbak Senja," sapanya ramah.

"Sore, Pak No," balas Byan. Mobil perlahan masuk ke garasi.

"Rumah siapa ini?" Senja menatap Byan heran. 

"Rumah Mentari, Langit dan orang tuanya." Byan melepas sabuk pengaman sembari tersenyum.

Mata Senja sontak menyipit. Dia bahkan tidak pernah tahu siapa orang tua kedua anak yang baru saja disebutkan Byan.

"Mentari? Langit? Emang siapa orang tuanya? Mas nggak pernah cerita?"

Pria yang memiliki cambang tipis di rahangnya itu tersenyum lebar.

"Kamu akan tahu nanti. Ayo ikut aku!"

"Nggak! Aku nggak kenal siapa mereka, dan kenapa kamu ngajak aku ke sini?" tolak Senja.

Byan memiringkan tubuhnya menghadap sang istri. Ditatapnya Senja penuh kehangatan. Ada banyak bulan yang sudah terbuang percuma yang seharusnya bisa dia nikmati bersama sang istri. Akan tetapi, semuanya telah dia sia-siakan begitu saja. 

Sesal tentu saja tak pernah hilang dan akan tetap bercokol di hati, tetapi dalam dia berjanji akan menebus semua itu asal sang istri bahagia dan tentu saja bersama dengan dirinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top