Seperangkat Dusta 28


"Kamu mau apa?" Senja panik setelah pintu kamar terbuka.

"Aku mau kamu," jawabnya dengan senyum nakal dan menggoda.

"Jangan macam-macam, Mas!"

"Aku nggak macam-macam." Byan menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga. "Aku akan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan jauh sebelum semua ini terjadi, Senja. Apa itu salah?" Suaranya nyaris tak terdengar.

Byan terus maju mendesak sang istri hingga pintu kamar terdengar klik dan terkunci. Senja mencoba menghindar saat bibir Byan hampir menyentuh bibirnya.

"Maaf," tuturnya sembari menggeleng cepat.

Mata Byan yang penuh hasrat berubah sendu. Dia tahu tak semudah itu bisa mengambil apa yang selama ini dia sia-siakan. Akan tetapi, besar keinginannya untuk bisa kembali memenangkan hati Senja dan tentu saja keluarganya.

"Aku tahu. Nggak apa-apa, semua ini pasti butuh waktu. Meski sudah berjalan hampir sebulan lebih," ujarnya dengan nada menyesal. "Aku yang harus minta maaf, Senja. Kamu nggak salah, sama sekali nggak salah."

Sejenak kamar bercat putih itu hening. Byan memijit pelipisnya lalu menarik napas dalam-dalam.

"Oke, kalau gitu aku balik sekarang. Kamu jaga diri baik-baik. Maafkan kalau aku belum bisa jadi suami yang baik." Dia berbalik, melangkah menuju pintu.

Tampak jelas raut kecewa di parasnya.

"Mas Byan!"

"Ya?"

"Apa pintu itu Mas kunci tadi?"

"Iya, kenapa?"

Senja menepuk dahinya kemudian menggeleng.

"Pintunya rusak, dan ...."

"What?" Kening Byan berkerut.

"Iya. Pintunya rusak, tadi aku mau bilang begitu, tapi Mas ...." Senja menggigit bibirnya lalu menunduk.

Byan tersenyum lebar. Wajah kecewanya sirna seketika, karena merasa semesta kali ini berpihak padanya.

"Apa itu artinya kita akan di sini selamanya? Berdua saja?" Seringai nakalnya terbit.

"Nggak! Aku bisa telepon Bang Sony."

"Kamu yakin?"

Senja diam.

Byan mengedikkan bahu sembari tersenyum, karena dia tahu Senja tidak membawa telepon genggamnya. Pria beralis tebal itu menarik napas dalam-dalam, dia melangkah ke sofa lalu menghenyakkan tubuh di sana.

"Duduklah! Aku rasa ini waktunya kita bicara." Byan menepuk ruang kosong di sampingnya. "Aku janji, aku nggak nakal." Wajahnya jenaka menatap Senja yang masih berdiri di tempatnya.

"Apa lagi yang harus dibicarakan?" Senja melipat kedua tangannya di dada.

"Banyak. Tentang kita, dan masa depan kita."

Senja bergeming. "Duduklah, please." Kembali Byan mengulangi ucapannya.

Tak ada pilihan lain bagi Senja selain mengikuti titah sang suami.

Pria yang bibir dan matanya masih terlihat memar itu menghela napas lega.

"Makasih." Byan menatap Senja yang sejak tadi menyembunyikan wajahnya.

"Senja, seperti yang kamu sering dengar, mungkin aku sudah demikian keterlaluan terhadapmu. Aku tahu, apa yang aku lakukan memang mungkin berat untuk kamu maafkan." Suara Byan terdengar sangat berat.

"Kamu berhak menghukumku dengan caramu, aku siap menerimanya asal kamu bisa bahagia."

Byan menyugar rambut dan kembali menghirup napas dalam-dalam seakan oksigen di kamar itu tak cukup baginya.

"Apa jika usulan Bang Sony terlaksana itu membuatmu bahagia?" tanyanya memindai wajah Senja yang baru saja menoleh menatapnya.

"Usulan yang mana?" Senja memicing.

"Bang Sony ingin kita berpisah, 'kan? Apa itu membuatmu bahagia?"

Pertanyaan Byan mengejutkannya. Senja sebenarnya paham arah pembicaraan suaminya itu, tetapi dirinya belum mampu untuk mengatakan betapa dia masih belum bisa melepas perasaan cintanya pada Byan.

Senja merasa Byan masih harus menunjukkan usahanya untuk bisa lebih membuat dirinya yakin.

"Senja? Kenapa kamu diam?" Byan memiringkan kepalanya menatap Senja yang kembali menunduk. "Nggak perlu merasa kasihan padaku. Katakan saja apa memang berpisah denganku yang membuatmu bahagia?"

Senja merasa matanya menghangat. Dia tahu air yang menggenang itu akan segera jatuh. Penolakan Byan waktu itu kembali menari-nari di kepalanya.

Dirinya merasa menjadi perempuan yang paling menyedihkan di dunia ketika itu. Semua mimpi terpaksa harus dikubur dalam-dalam. Bahkan rasa cinta yang pada akhirnya sampai detik ini belum mampu dia singkirkan.

Sentuhan lembut jemari Byan yang mengusap air matanya membuat Senja menggeser tubuhnya menjauh.

"Maafkan aku, karena aku belum bisa membuatmu tersenyum." Byan seolah ikut larut dalam kesedihan. Dirinya sangat menyadari betapa dia telah terlalu bodoh untuk mempercayai dan memupuk dendam yang sama sekali tidak terbukti.

"Kamu diam? Apa itu artinya kamu bahagia jika berpisah?" Byan memejamkan matanya sejenak, dia berusaha menyembunyikan matanya yang berair.

Senja masih bungkam. Perempuan berkulit putih itu masih terus menunduk dengan jari-jarinya yang saling bertaut.

"Boleh aku cerita sedikit sebelum aku benar-benar pergi?"

Senja mengangguk.

"Aku lahir sebagai anak tunggal dari ayah. Aku bahagia memiliki orang tua yang sangat sayang padaku. Kehidupan rumah tangga mereka sependek yang aku tahu sangat harmonis." Byan menarik napas dalam-dalam. "Siapa pun orangnya pasti memimpikan mempunyai keluarga utuh, 'kan?"

Mengusap pipinya yang basah, Senja mengangguk.

"Tapi bahagiaku tidak bisa kurasakan lama, karena Ayah harus dipanggil pulang. Kecelakaan yang membuat aku kehilangan Ayah adalah pukulan terberat di hidupku. Bukan hanya aku yang hancur, tetapi ibuku." Dia mengusap matanya.

"Ibuku jadi pemurung semenjak Ayah wafat. Tak jarang kudapati beliau berbicara sendiri di depan foto Ayah."

"Beliau depresi, dan tidak bisa diajak komunikasi lagi, Ibu tidak hanya tubuhnya yang sakit, tetapi jiwanya juga. Sementara aku ... aku pun nggak kalah depresi waktu itu, tapi aku bersyukur masih diberi Tuhan kesadaran."

Senja pelan mengangkat wajah menatap Byan. Pria di depannya itu terlihat sangat terluka. Pria yang biasanya selalu menjaga imagenya, pria yang tak pernah menunjukkan sisi lemahnya, kini tampak sangat lemah.

"Sejak itulah ibu jadi sakit-sakitan, terlebih saat tahu perusahaan Ayah tak lagi bisa diselamatkan. Kehidupan kami hancur, terlebih Ibu. Beliau ditinggal oleh teman-temannya. Tidak ada satu pun yang mau berkawan seperti saat kami masih memiliki segalanya." Nada suaranya terdengar sangat dalam. Sesekali dia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan.

"Aku mengalami fase sangat patah ketika dokter angkat tangan dengan kondisi Ibu."

"Kamu tahu, Senja? Aku pernah jadi cleaning service di salah satu mal demi meneruskan kuliah dan membantu pengobatan Ibu, saat Om Romi belum datang menemui kami." Byan tersenyum kecut. "Aku bahkan hampir menjadi peliharaan tante-tante berduit kala itu demi bisa melanjutkan pengobatan dan kuliahku."

Senja membulatkan matanya mendengar penuturan Byan. Ada api cemburu yang tiba-tiba memantik emosinya.

"Kamu pasti tahu, 'kan? Bekerja seperti itu kita bisa dengan mudah mendapatkan uang yang sangat banyak." Byan kembali menarik ke dua sudut bibirnya.

"Lalu?" Senja mulai terpancing untuk mengikuti kisah hidup suaminya.

Byan menatap Senja saat perempuan itu bertanya.

"Lalu? Tentu saja itu tidak terjadi. Kenapa? Kamu takut jika aku pernah jadi peliharaan tante-tante berduit?" Byan bertanya dengan mata menggoda.

Sadar jika pertanyaannya barusan membuat Byan kembali menggodanya, Senja menggeleng dan memalingkan wajah ke arah lain.

"Nggaklah! Meski aku terdesak, aku tahu mana yang harus dan yang tidak seharusnya aku lakukan. Aku menolak, meski itu tidak mudah." Byan melirik Senja yang enggan menatapnya. Bibirnya tampak menyungging.

"Tidak mudah? Apa itu artinya kamu masih ingin melakukan hal itu?" Senja menoleh, dia masih terlihat ingin tahu sisi lain kisah hidup sang suami.

Byan tertawa kecil melihat ekspresi Senja. Jelas istrinya itu gerah dengan poin kisah yang baru saja meluncur dari bibirnya. Dengan mudah Byan bisa menangkap kecemburuan sang istri meski dirinya sudah mengatakan jika hal itu tak pernah terjadi.

"Kamu bertanya seperti seorang perempuan yang sedang cemburu." Byan menggoda.

"Dih! Nggak! Siapa yang cemburu? Aku cuma pengin tahu apa kamu benar-benar tidak mau atau hanya butuh waktu untuk berpikir jadi pria panggilan," elak Senja dengan pipi memerah malu. Dia lupa jika Byan sangat tahu seperti apa dirinya.

"Yakin nggak cemburu?" Kembali Byan menggoda sang istri.

"Nggak!"

"Okelah, tapi aku tidak menemukan jawaban nggak di matamu, Sayang."

Dipanggil sayang untuk kesekian kalinya membuat pipi Senja semakin merona. Dia seolah lupa jika hanya mereka berdua terkunci di kamar sementara matahari meninggi dan mereka masih belum makan apa pun.

"Lalu ... apa setelah itu kamu datang ke Om Romi?" Senja mengalihkan pembicaraan.

***

Dobel update done yes 🤍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top