Seperangkat Dusta 27


Sony berhenti memukul Byan setelah Senja memohon. "Cukup, Bang!" Dia menatap Sony dengan mata berkaca-kaca.

"Untuk apa kamu membelanya? Dia nggak pantas dilindungi!" Sony mengepalkan tangannya.

"Tapi Senja juga nggak mau Abang berurusan dengan polisi. Senja nggak mau ada yang jadi korban lagi, Bang!"

"Kamu seharusnya berterima kasih pada adikku, karena dia, aku masih bisa menahan marah." Mata Sony berkilat menatap Byan yang berusaha bangkit sembari menghapus darah di bibirnya.

Senja menatap iba pada sang suami. Dia mendekat, gak peduli masih ada Sony di sampingnya.

"Sudah kubilang, jangan pernah ke sini. Jangan pernah cari aku!" gumamnya kesal, tetapi dengan air matanya luruh juga. "Jadi memar di matamu itu juga karena abangku?" 

Byan tak menjawab, dia tersenyum lebar melihat paras khawatir istrinya.

"Senja, masuk! Dia baik-baik saja!" 

"Bang, Mas Byan memang salah, tapi dengan kondisinya seperti ini, rasanya tidak manusiawi kalau Senja membiarkannya sendiri." 

Sony masih meradang, meski tak menjawab. 

"Kalau ada yang paling marah dan sakit hati, itu adalah Senja, Bang. Tapi Senja berpikir ... jika sakit hati dan amarah ini terus dipupuk, lalu apa bedanya Senja dengan mereka yang sudah membuat Senja menderita?" 

Byan menunduk merasa tersindir ucapan istrinya.

"Senja selama ini berusaha untuk melepaskan semua dendam dan amarah. Berusaha menerima jika tidak semua yang kita beri akan mendapatkan reaksi yang sama. Senja sudah bisa menerima sampai ke titik itu, Bang." Suara Senja bergetar. "Luka ini masih ada, tapi sudah tidak lagi nyeri. Percayalah, Bang, kebencian akan sia-sia. Dia hanya akan menumbuh suburkan kebencian baru."

Mata Sony tak lagi berkilat, dia menatap Senja penuh rasa sayang sekaligus kagum. Adiknya benar-benar telah menjadi sosok bijaksana yang dirinya belum mampu untuk berada pada posisi itu. 

"Oke, terserah kamu, kamu boleh merawat luka dia, tapi kamu harus ingat, nanti malam Bram akan datang." Sony membalikkan badan meninggalkan mereka berdua.

Senja mengangguk lalu menarik napas dalam-dalam.

"Ikut aku, Mas. Kita ke paviliun!" Dia menunjuk ke arah rumah kecil yang terletak di samping villa.

Byan mengekor Senja. Meski harus babak belur, tetapi dia terlihat bahagia. Tentu saja karena akhirnya dia bisa kembali berdekatan dengan istrinya. Istri? Iya, istrinya. Istri yang belum pernah dia sentuh sama sekali hingga detik ini.

**

"Mas tunggu di sini, aku ambilkan air untuk mengompres lukanya!" Senja membuka pintu dan mempersilakan Byan duduk.

Pria itu hanya mengangguk lalu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut paviliun. Rumah mungil bercat putih dengan sofa berwarna senada membuat ruangan itu terasa lega. Jendela lebar yang langsung menghadap taman samping nan luas pun menjadi nilai tambah hunian mungil ini. 

Byan mengamati foto yang tergantung di dinding. Foto Adhitama dan seorang perempuan memangku bocah perempuan, disebelahnya anak laki-laki tengah berdiri. Mengamati perempuan di samping Adhitama, Byan bisa mengambil kesimpulan jika itu adalah mama dari Senja.

"Itu foto keluargaku." Senja muncul membawa peralatan untuk mengobati suaminya.

Byan menoleh lalu tersenyum.

"Mamamu?"

Dia mengangguk.

"Dia mirip sepertimu."

Senja tersenyum, lalu memberi isyarat agar Byan duduk.

"Kenapa Mas nggak bilang kalau lebam di mata itu karena Bang Sony?" Dia mulai mengompres luka di sudut bibir Byan.

"Bukan hal penting yang harus diceritakan." Byan meringis kesakitan. "Aku nggak mau seolah-olah sedang mencari belas kasihan, aku  bisa, kok, mengobati sendiri."

Senja menarik satu sudut bibirnya. Pria di depannya itu kembali pada mode gengsi.

"Oke, kalau begitu ... kamu rawat saja lukanya. Aku mau kembali bermain dengan Boby." Senja bangkit, tetapi tangannya cepat ditahan oleh Byan.

"Kamu mau ninggalin aku?"

Menautkan kedua alisnya, Senja membalas tatapan sang suami.

"Bukannya tadi Mas bilang kalau bisa mengobati sendiri?"

Byan menarik cepat tangan Senja hingga perempuan bermata indah itu jatuh tepat di pangkuan suaminya. Sejenak dunia terasa berhenti bagi pasangan itu. Mata mereka saling memandang tanpa jeda. Senja kembali bisa menghidu aroma maskulin sang suami. Pun demikian dengan Byan

Aroma manis strawberry yang lama dia rindu kini kembali memenuhi indra penciumannya.

"Aku bisa merasakan detak jantungmu," bisiknya lembut sembari menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga.

Senja tersadar, dia buru-buru bangkit, tetapi gagal, karena Byan menahannya, dan tanpa menunggu persetujuan menyesap lembut bibir Senja. Awalnya dia berusaha menolak, tetapi tenaga Byan dan perasaan cinta Senja seolah memerintahkan untuknya memejamkan mata dan menikmati setiap momen yang diciptakan Byan.

"Aku mencintaimu, Senja Azalea Putri. Aku benar-benar jujur. Aku mencintaimu jauh sebelum aku tahu siapa kamu," ungkapnya sesaat setelah keduanya melepas pagutan.

Senja kembali mencoba bangkit, tetapi tenaga Byan terlalu kuat untuknya.

"Maaf, Mas, setelah semua yang kamu lakukan, aku rasa aku sudah kehilangan kepercayaan." 

Byan menarik napas dalam-dalam, kemudian membiarkan Senja beranjak dan duduk berseberangan.

"Aku tahu, aku akan buktikan itu, tapi aku belum kehilangan rasa cintamu, 'kan?"

Senja mengatupkan bibirnya. Kalau pun dia berbohong, sudah pasti Byan akan tahu. Karena apa yang terjadi barusan adalah hal sebaliknya. Senja terlalu lemah untuk menolak perasaannya.

"Tadi Bang Sony bilang soal Bram. Siapa Bram?"

Senja mengangkat wajah membalas tatapan lembut sang suami.

"Dia ... dia teman Bang Sony."

"Lalu? Apa urusannya denganmu?" Nada suaranya terdengar menyelidik.

Senja tak menjawab.

"Apa kamu mau dikenalkan sama dia? Jangan bilang kalau Bang Sony ingin kamu ...." Byan menghentikan kalimatnya. Otaknya bekerja cepat hingga bisa membaca apa yang direncanakan kakak iparnya.

"Ikut aku!" titahnya bangkit sembari mengulurkan tangan lalu menggenggam tangan Senja.

"Kemana?" 

"Aku mau ketemu dengan Bang Sony!"

"Untuk apa?"

"Biar bagaimanapun aku tetap suamimu dan akan terus begitu."

Senja menarik tangannya. "Apa-apaan sih, Mas! Lagian aku nggak akan begitu saja meng-iyakan usulan Bang Sony kalau sampai dia berpikir seperti yang kamu pikirkan."

Byan membalikkan tubuhnya. Matanya memindai sang istri. Sedikit senyum tercetak di bibirnya. Jawaban Senja bisa sedikit membuatnya lega. Meski lagi-lagi dirinya tidak boleh terlalu percaya diri dengan apa yang didengar barusan.

"Udah, lukanya udah selesai diobati, jadi sebaiknya Mas pulang." Senja melipat kedua tangan di dada.

"Pulang?" Byan mengayun langkah mendekat.

"Hu umh." 

Senja berjalan mundur membuat jarak. Akan tetapi, Byan tak lantas berhenti. Pria jangkung itu terus mendekat hingga sang istri berhenti tepat di pintu kamar yang tertutup.

Senja memejamkan mata karena mereka kini kembali tak berjarak. Telunjuk Byan perlahan mengangkat dagu perempuan di depannya. Seperti hendak mengulang kembali apa yang terjadi tadi, Byan mendekatkan bibirnya ke bibir sang istri.

"Mas mau apa!" Senja membuka mata dan mendorong pelan Byan. "Aku bilang mending Mas pulang! Jangan memperburuk keadaan. Abang Sony akan ...."

"Apa yang akan dia lakukan?" potong Byan. "Aku suamimu, Senja. Nggak ada yang bisa dilakukan Bang Sony kecuali kamu yang menginginkannya." 

Sentuhan lembut jemari Byan ke pipinya membuat Senja bergidik. Ada desir yang menciptakan rasa hangat dan nyaman pada hatinya. 

Senja kini kembali berada dalam kungkungan Byan. Mata pria itu menatap handle pintu dan segera otaknya bekerja. Dia memutar kenop pintu berharap apa yang dipikirkan benar-benar bisa terwujud. 

**

Hayoo ... apakah yang akan terjadi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top