Seperangkat Dusta 26
Senja hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Sasa. Baginya tak cukup hanya ungkapan soal cinta dari Byan. Ada banyak hal yang harus diyakinkan pria itu agar Senja percaya.
"Dan kamu mempercayai ucapannya, Sa?"
"Aku percaya. Kamu tahu aku bisa membaca gesture orang lain meski aku tidak kenal sekali pun, 'kan?"
Senja menarik sudut bibirnya.
"Apalagi kalau cuma menebak orang yang sedang kasmaran seperti Byan dan ... kamu. Itu tentu sangat mudah!" tuturnya dengan wajah jenaka.
Tak mempan dengan kelakar Sasa, Senja hanya tersenyum tipis.
"Aku tahu, pasti susah buatmu untuk percaya atau bisa dengan mudah menerima Byan lagi. Aku juga pada awalnya skeptis. Karena aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Aku bahkan pernah mengusirnya saat pertama kali dia ke rumah."
Perkataan Sasa kali ini membuat paras Senja berubah serius.
"Kamu ngusir?"
"Iya, aku mengusir seorang eksekutif muda, pemilik perusahaan properti yang mengisi hampir delapan puluh persen pembangunan di kota kita," jelasnya antusias.
Tampak Senja tak bisa menahan tawa. "Dan dia pergi? Waktu kamu usir?" Senja tahu jika Byan adalah orang yang paling besar gengsinya. Dia bisa membayangkan bagaimana Byan mati-matian menahan emosi karena diusir Sasa.
"Nggak. Dia nggak pergi, dan dia nggak marah!"
"Oh ya?" Senja tak percaya.
"Tapi justru reaksinya yang begitu itu yang bikin aku semakin kesal, tahu nggak!"
Senja menutup mulutnya, tawanya terdengar renyah. Cerita Sasa benar-benar telah membuat mood-nya kembali.
"Dia malah ngasi anakku cokelat, dan sedikit merayunya supaya memberi tahu di mana kamu berada."
Senja menaikkan kedua alisnya seakan tak percaya dengan penuturan Sasa.
"Seriusan ini! Tapi, 'kan, Vito nggak tahu kamu di mana, lagian dia juga terlalu kecil untuk tahu ruwetnya masalahmu." Sasa meneguk es lecinya yang sejak tadi masih utuh.
Sasa terus bercerita soal rumahnya yang setiap hari didatangi Byan.
"Dan kamu tahu, Senja? Suamiku sampai berpikir kalau aku sedang mempersiapkan membuat kejutan dengan membeli rumah lagi untuk kami di hari ulang tahun pernikahan bulan depan!"
Tawa Senja pecah mendengar Sasa bertutur.
"Lagian, yakali seorang owner langsung datang ke costumer yang papa ini kemudian menawarkan rumah jualannya," sambungnya ikut terbahak.
"Setelah aku jelaskan, akhirnya dia tahu dan sekarang ...."
"Jangan bilang kalau suamimu juga jadi bestie-nya!"
Sasa mengedikkan bahu. "Kurasa begitu, Senja. Karena mereka sering main tenis setiap akhir pekan," paparnya dengan wajah menyesal dengan bibir mengerucut.
"Oh, God!" Senja menepuk dahinya.
"Karena kata suamiku hari ini Byan ke luar kota, dan Omanya Vito lagi di rumah sejak pekan lalu, kurasa ini adalah kesempatan yang baik untuk ketemu kamu!"
Senja tersenyum lebar lalu mengangguk.
"Thanks, ya, Sa. Kamu adalah teman terbaikku yang pernah ada!"
Sasa mengibaskan tangannya. "Biasa aja, Senja, aku cuma ingin tahu kondisimu. Lebih tepatnya kondisi hatimu. Karena aku tahu banget seperti apa rasamu ke Byan."
"Aku sudah bisa berdamai dengan hatiku, kok, Sa."
"Maksudnya?"
"Aku sadar, ternyata memaksakan diri menunggu balasan untuk sebuah rasa itu adalah hal yang salah." Senja melempar pandangan ke arah jendela yang berada di sampingnya. "Semua peristiwa ini adalah pelajaran berharga. Pelajaran dari Tuhan untuk kita agar tidak terlalu percaya diri dan mengabaikan jika ada yang paling berhak mengatur hidup."
"Tapi, Senja, gimana kalau ternyata Tuhan menakdirkan jika Byan tetap jadi suamimu?"
Senja membalas tatapan Sasa. Kedua bibirnya tertarik kecil.
"Kurasa kamu memang benar-benar sudah dijanjikan satu rumah mewah di Griya Green Mutiara, Sa," candanya.
"Eh, sialan! Tapi boleh juga tuh!" Sasa tergelak.
"Sudahlah! Kita bicara soal lain aja, Sa." Senja tampak enggan melanjutkan pembahasan soal pernikahannya.
Akan tetapi, bukan Sasa namanya jika menyerah begitu saja. Karena beberapa hari dirinya terus berdiskusi dengan sang suami soal Byan dan Senja. Meski melalui pembahasan alot, tetapi suami Sasa telah banyak bercerita tentang keinginan Byan.
"Aku tahu, kamu keberatan kalau kita terus membahas soal dia, tapi kamu jangan hanya diam. Kamu berhak mengungkapkan apa yang kamu inginkan. Masa depan kamu ada padamu, 'kan? Jangan mau diintervensi oleh siapa pun. Meski aku tahu niat Bang Sony baik, tapi apakah kamu merasa memang sudah benar-benar baik bagimu?"
"Aku ikut aja ke mana nanti arahnya, Sa. Tapi Byan memang harus dihukum atas semua yang dia pernah lakukan padaku."
Perkataan Senja membuat Sasa tak percaya.
"Maksudnya?"
"Dia harus berjuang keras untuk semua yang sudah berantakan."
**
Byan menatap Senja tanpa jeda dari kejauhan. Ada selaksa rindu bercokol di hati. Ada sejuta sesal yang membuatnya tak bisa memaafkan diri sendiri saat mengingat satu per satu rekam perlakuannya pada Senja.
Sudah tiga hari dia terus mengintai villa tempat tinggal Senja tanpa berani menghampiri. Kejadian satu pekan lalu cukup membuat memar di wajah saat dirinya mencoba mendatangi Sony dan meminta agar memberi ruang baginya dan Senja untuk menyelesaikan urusan rumah tangga mereka.
Namun, Sony rupanya benar-benar melakukan ancamannya. Abang Senja itu berulang kali melayangkan bogem ke wajah, perut, dan lengan Byan. Sony benar-benar menumpahkan amarah yang selama ini dipendam.
Byan sendiri sama sekali tidak melawan. Pria yang masih tertulis sebagai suami Senja itu membiarkan dirinya babak belur di tangan Sony.
[Masih betah cuma melihat dari jauh?]
Pesan dari Leo membuatnya sedikit tersenyum.
[Kamu nggak pengin cepat-cepat mendengar isi hati istrimu?] Kembali pesan Leo masuk.
Byan meletakkan ponsel ke dashboard, menyugar rambut, memakai kacamata dan melepas sabuk pengaman, lalu perlahan membuka pintu mobil. Cukup sudah tiga hari dia berada di seberang villa. Dia bersyukur bisa dan kenal dekat dengan suami Sasa yang akhirnya membocorkan di mana tempat tinggal Senja.
Senja yang tak menyadari jika suaminya sudah berada di dekatnya itu masih asyik bermain bersama Boby di halaman luas di depan villanya.
"Hei, Boby! Wait!" Kucing kesayangan Senja itu berlari meninggalkan Senja yang bingung karena Boby berlari ke arah luar.
Hal itu tentu saja tak disia-siakan oleh Byan. Cekatan dia menangkap kucing bermata oranye itu dan mendekapnya.
"Selamat pagi, Sayang," sapanya lembut dengan senyum menawan.
Mata Senja membeliak tak percaya melihat Byan di hadapannya.
"Mas Byan?" Dia mengedarkan pandangan ke segala seakan khawatir.
"Kenapa? Aku sendirian. Kamu mencari siapa?"
"Nggak, kok tahu aku di sini? Dari siapa?"
"Nggak penting dari siapa. Yang penting sekarang aku bisa bertemu kamu."
Senja mundur saat tangan sang suami hendak menyentuh pipinya.
"Maaf," ujar Byan kecewa.
"Sebaiknya kamu pulang, Mas. Urusan kita sudah selesai, 'kan? Kamu sudah tahu siapa sebenarnya Papa. Kamu nggak perlu membalas dendam pada papaku lagi."
"Senja, please, aku mohon. Aku sudah merasa terhukum dengan kita berjauhan. Aku nggak bisa, Senja."
"Kamu pulang aja. Akan jadi panjang kalau sampai Bang Sony tahu."
"Aku nggak peduli apa pun sekarang. Aku cuma ingin kamu."
Byan menurunkan Boby dari gendongannya.
"Kamu istriku, Senja, dan akan selamanya begitu."
Ada terasa hangat di dadanya mendengar penuturan sang suami. Akan tetapi, Senja berusaha untuk tidak terpengaruh oleh rayuan Byan.
"Kalau aku nggak mau? Apa kamu akan berhenti mencariku?"
"Nggak mau? Maksud kamu?"
"Kalau aku nggak mau tetap jadi istrimu, apa kamu akan pergi?"
Byan menarik napas dalam-dalam lalu melepas kacamatanya.
"Aku tahu akan begini jadinya, tapi aku yakin kamu tidak sungguh-sungguh mengatakan itu."
Senja mengangkat wajah memindai paras sang suami. Dahinya berkerut dengan mata menyipit.
"Mata kamu kenapa, Mas? Kenapa lebam?"
"Nggak apa-apa, cuma ada sedikit salah paham." Byan tersenyum tipis. "Kalau kamu memang nggak mau, aku akan memaksamu sampai kamu mau!" Kali ini dia sedikit memainkan kedua alisnya menatap Senja.
"Mas, aku serius tanya, mata kamu kenapa?"
Belum sempat Byan menjawab, suara Sony tiba-tiba muncul dan langsung mendorong Byan hingga pria itu terjerembab. Sony mendekat dan melayangkan tangannya ke pipi Byan.
"Bang Sony! Cukup!" teriak Senja saat Sony hendak kembali menampar suaminya.
**
Cihuyy ... ketemu nich😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top